Koran ”Kompas”, 50 Tahun ”Membela” Asmat
”Foto ini layak (penghargaan) Pulitzer,” ujar seorang jurnalis media daring di sebuah grup Whatsapp Parlemen Indonesia. Foto itu karya jurnalis Kompas, Wisnu Widiantoro, di harian Kompas edisi Sabtu, 13 Januari 2018. Foto itu mewartakan bencana kesehatan di Asmat, Papua.
Tentu saja tidak mudah meraih Pulitzer. Apalagi, Pulitzer adalah penghargaan jurnalistik di Amerika Serikat. Namun, pernyataan seorang teman jurnalis itu boleh jadi terlontar karena foto karya Wisnu Widiantoro itu begitu menyentuh, terutama bagi siapa pun yang mempunyai anak, bahkan bagi siapa pun yang rasa kemanusiaannya masih tetap hidup.
Bencana kesehatan kali ini memang kembali melanda Asmat, sebuah kabupaten di Papua. Harian Kompas sejak Rabu (10/1), telah menurunkan berita dengan judul, ”Sebulan, 13 Anak Balita Meninggal”.
Data kematian anak balita di Kabupaten Asmat, yang diduga karena gizi buruk dan terserang penyakit itu, didapat oleh wartawan Kompas, Fabio Maria Lopes Costa. Fabio mengetahuinya setelah bertemu Uskup Agats Mgr Aloysius Murwito OFM di Jayapura.
baca: berita Kompas terkait bencana kesehatan di Asmat
Ketika dicek di Agats, ternyata hingga Sabtu (13/1), total ada 26 anak balita meninggal akibat terserang campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat. Karena pendataan belum berakhir, boleh jadi jumlah korban dapat bertambah.
Terbang dari Jakarta
Harian Kompas kemudian mengirim Fabio untuk terbang ke Asmat. Kompas juga menerbangkan Wisnu Widiantoro menuju Papua sejauh lebih dari 3.700 kilometer—lebih jauh dari jarak Jakarta-Hong Kong. Tujuannya, untuk mewartakan bencana kesehatan di Asmat sehingga ada bantuan dan penanganan yang lebih baik bagi warga setempat.
Fabio dipilih karena wilayah liputannya adalah Papua dan Papua Barat. Sementara Wisnu dipilih karena pada Agustus 2013, dia pernah meliput kehidupan masyarakat Asmat. Ketika itu, Wisnu kerap menjelajahi Asmat dengan bantuan Nelson, motoris Keuskupan Agats.
Meski perjalanan menuju Asmat tidak mudah, Kompas beberapa kali memberangkatkan wartawan dari Jakarta menuju Asmat.
Meski perjalanan menuju Asmat tidak mudah, selama 10 tahun terakhir, Kompas beberapa kali memberangkatkan wartawan dari Jakarta menuju Asmat. Tidak semua perjalanan itu memotret soal kesehatan warga Asmat. Ada beberapa perjalanan yang lebih mengambil tema soal infrastruktur, budaya, atau masa depan Asmat.
Namun, Sabtu, 14 Mei 2011, di halaman 24, wartawan Kompas, St Sularto dan Erwin Edhi Prasetya, menuliskan reportase yang menyinggung soal kesehatan. Reportase itu bahkan berjudul, ”Antara Kekayaan Alam dan Sarang Penyakit”.
Dalam reportase itu ditulis, ”Kemiskinan dan pola hidup tidak sehat telah memicu merajalelanya beragam penyakit (di Asmat), dari penyakit ’dunia ketiga’, seperti malaria, busung lapar, dan kusta, sampai penyakit ’modern’, seperti HIV/AIDS”.
Berdasarkan data Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Agats, penyakit yang paling banyak diidap masyarakat Asmat pada tahun 2010 adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dengan jumlah penderita 6.196 orang.
Penyakit malaria, yang banyak disebut orang sebagai penyakit dunia ketiga itu, juga masih mendominasi. Pengidap penyakit malaria tropika sebanyak 2.088 orang dan malaria klinis 3.157 orang. Diare sebagai penyakit yang muncul akibat kebiasaan hidup tidak sehat mencapai 2.568 kasus.
Padahal, saat menyusuri Sungai Pomatsj, Kompas menyaksikan sendiri kekayaan alam Asmat. Pohon sagu, misalnya, banyak tumbuh di hutan yang menjamin ketersediaan pangan. Sungai-sungai kaya dengan berbagai jenis ikan, udang, dan karakas atau kepiting. Binatang buas, buaya, tidak luput menjadi buruan warga karena dagingnya enak dan kulitnya bisa dijual.
Keanekaragaman hayati alam Asmat juga terlihat masih terjaga karena—setidaknya hingga tahun 2011, belum ada eksploitasi hutan di wilayah itu.
Meski demikian, masih dari reportase itu, di Asmat masih ada penyakit yang seharusnya sudah tidak ada lagi, yaitu kusta. Survei Dinas Kesehatan Asmat pada Oktober 2010 menunjukkan, ada 15 pengidap kusta di Kampung Momogu, Sawa Erma.
Dokter tak ada
Bicara soal kesehatan, 36 tahun lalu, wartawan Kompas, Rudy Badil, juga sudah mewartakan soal pelayanan kesehatan di Asmat.
Artikelnya terbit di koran Kompas, Selasa, 12 Oktober 1982, di halaman 1 dengan judul ”Obat Banyak, Mantri Sedikit, Dokter Tak Ada”.
”Orang Asmat amat akrab terserang penyakit. Sejak lahir sampai meninggal, selalu diancam berbagai jenis penyakit, baik endemik maupun penyakit ’impor’,” begitu tulis Badil. Dia sempat menyaksikan sendiri kematian demi kematian yang melanda orang Asmat.
Badil mengikuti perjalanan Frater Uce H Pramudya, calon pastor yang ketiban tugas tambahan sebagai ”mantri”. Badil menulis, di dalam ranselnya, frater itu menyelipkan buku berjudul Where There is No Doctor.
Di dalam ranselnya, frater itu menyelipkan buku berjudul Where There is No Doctor.
Ketika itu, ungkap Badil, satu kecamatan hanya dilayani dua mantri untuk menyehatkan ribuan masyarakat. Hampir tiap hari, pasien harus antre dan sabar menunggu pengobatan. Segumpal sagu kering, telur ayam, udang atau ikan asap menjadi uang pengganti obat.
Setelah perjalanannya ke Asmat, Badil terkesan mencintai Asmat. Asmat bahkan menjadi salah satu topik bahasan favoritnya saat berbagi pengalaman dengan wartawan muda Kompas. Mulai dari soal budaya, kehidupan, hingga kisah-kisah lucu. Salah satunya kisah lucu adalah akibat minimnya transportasi ke Asmat pada awal tahun 1980-an, dia menipu petugas bandara.
Karena penerbangan terbatas, Badil harus menunggu jadwal penerbangan ke Asmat selama berhari-hari. Suatu hari, dia mengecek kondisi di bandara. Waktu itu ada pesawat menunggu seorang pastor yang hendak terbang dari Jayapura ke kawasan Asmat. Badil yang mendapatkan informasi tersebut langsung mengaku-aku sebagai pastor tersebut sehingga diprioritaskan terbang ke Asmat. Beberapa minggu kemudian, sang pastor menemui Badil di Asmat sambil marah-marah karena ditinggal pesawat. Badil pun hanya tertawa.
Memajukan Irian
Namun, jauh sebelum Badil ke Asmat, wartawan Kompas lain, yakni J Widodo, sudah berkelana hingga Papua, yang ketika itu dikenal sebagai Irian Barat. Perjalanan Widodo 50 tahun lalu terinspirasi dari perjalanan Michael Rockefeller, anggota keluarga Rockefeller, salah satu keluarga terkaya di muka bumi, yang hilang di tanah Papua.
Dalam catatannya, Michael Rockefeller menulis, ”Suku Asmat yang tinggal di sekitar Agats, di pantai selatan Irian Barat, sekarang ini diliputi semacam tragedi. Mereka mulai meragukan nilai-nilai dari peradabannya sendiri, dan menginginkan apa pun yang asalnya dari pengaruh Barat”.
Adapun Widodo di akhir artikelnya, Sabtu, 7 September 1968, menulis, ”Kewajiban kitalah sekarang untuk memeras otak dan keringat dan segala keahlian untuk memungkinkan peradaban kita yang sudah maju ini untuk memajukan Irian Barat (Papua)”.
Tentu saja, selama 50 tahun terakhir, berbagai upaya telah dilakukan demi Papua dan demi Asmat. Di bawah era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, infrastruktur Papua terus dibangun dalam kecepatan dan tingkat keberhasilan yang tidak pernah kita lihat sebelumnya di era-era pemerintahan yang lalu.
Harian Kompas atas inisiatif sendiri juga mengecek pembangunan Trans-Papua, lagi-lagi dengan mengirim langsung sejumlah wartawan dari Jakarta. Meski situasi keamanan di beberapa titik dianggap tidak 100 persen aman dari gangguan keamanan, reportase tetap dilakukan. Harian Kompas ingin memastikan infrastruktur benar-benar terbangun di tanah Papua.
baca: artikel mendalam Kompas soal infrastruktur di Papua
Pembangunan infrastruktur?
Tahun 2018, misalnya, dijadwalkan terbangunnya jalan Trans-Papua dari wilayah Wamena, Kabupaten Jayawijaya, hingga daerah Mamugu di Kabupaten Asmat. Panjang jalan itu mencapai 284 kilometer.
Akan tetapi, terlepas dari soal pembangunan infrastruktur, melihat fakta bencana kesehatan yang kini terjadi di Asmat, tampaknya kita harus merenungkan kembali tulisan Rudy Badil pada tahun 1982 itu.
Di bagian akhir dari artikel ”Obat Banyak, Mantri Sedikit, Dokter Tak Ada”, Badil menulis pelayanan kesehatan tidak kalah pentingnya dari pembangunan fisik. ”Pengobatan merupakan alat kontak paling mujarab untuk membawa masyarakat ke arah hidup lebih baik,” tulis Badil mengutip pernyataan dari Frater Uce.
Lima puluh tahun sudah, Kompas membela Asmat. Berkali-kali, perjalanan ribuan kilometer ditempuh untuk mewartakan kabar dari Asmat, Papua. Baik kabar baik maupun kabar buruk, reportase itu didanai sendiri oleh harian Kompas semata-mata demi kebaikan warga Asmat.
Kali ini, perjalanan kembali ditempuh. Mudah-mudahan, bencana kesehatan yang kali ini diwartakan Kompas langsung dari Asmat, langsung dari lapangan, dapat segera diatasi. Semoga.