Simalakama "Aroma" TPA Sampah Ilegal
Tempat-tempat pembuangan akhir ilegal mengancam lingkungan dan kesehatan warga. Fenomena ini muncul karena kurangnya infrastruktur penampungan dan pengolahan sampah perkotaan.
Keberadaan tempat pembuangan akhir ilegal bak buah simalakama. Di satu sisi memberikan pendapatan bagi pengais plastik, di sisi lain menjadi petaka karena mencemari lingkungan. Komitmen dari semua pihak diperlukan untuk mengelola sampah sejak dari dini agar tidak terjadi penumpukan yang merusak lingkungan, kesehatan, dan juga estetika.
Marsih (43) dengan teliti memilah sampah yang baru saja didapatkan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang terletak di Desa Sumber Jaya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jumat (3/4/2022) bersama adiknya Coyo (35). Dengan sepatu boot, mereka berjalan di atas tumpukan sampah setinggi sekitar empat meter persis di pinggiran Kali Cikarang-Bekasi-Laut (CBL).
Mata mereka layaknya elang yang sedang mengincar mangsa, botol plastik yang tersembunyi di balik sampah lain tak luput dari pandangan. Dengan tongkat berkail, mereka mengambil sampah dan kemudian ia taruh di karung yang mereka gendong di punggung. "Sampah-sampah ini bisa saya jual, lumayan untuk makan," kata Marsih sembari memilah sampah.
Untuk setiap botol plastik yang didapat, Marsih memperoleh pendapatan Rp 2.000 per kilogram (kg). Dalam sehari, ia memperoleh sekitar 13 kg botol plastik yang artinya dia bisa memperoleh Rp 26.000 per hari. "Uang tersebut, saya gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup selama di Bekasi," kata Marsih yang jauh-jauh datang dari Bumi Ayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
Sebenarnya, tujuan utama Marsih ke Bekasi bukanlah menjadi pemulung. Ia melainkan menunggu panggilan dari sejumlah pemilik sawah untuk memanen padi. Untuk setiap petak sawah yang ia garap, dia bisa mendapatkan upah sekitar Rp 1,5 juta. Rata-rata, dalam sekali musim panen, ia bisa menerima panggilan memanen dari tiga pemilik sawah. Hasilnya bisa cukup untuk dibawa pulang ke desa.
"Sembari menunggu panen, saya mencari makan dari memilah sampah," ujar Marsih.
Namun sejak dua bulan lalu, TPA CBL dicap ilegal, alhasil, tidak boleh ada aktivitas lagi di area tersebut. Papan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bertuliskan larangan bagi setiap orang untuk melakukan kegiatan di TPA tertancap di pintu masuk. Portal pun dipasang di samping papan untuk menghalangi akses masuk warga.
Baca juga : Mengapa Kita Sulit Memilah Sampah?
Giatno (43) tidak berani lagi masuk ke dalam area tersebut. Karena dia menyaksikan ketua RT-nya digelandang oleh petugas KLHK dan kini mendekam di penjara. Ketua RT berinisial E itu diduga berperan koordinator lapangan dari setiap kegiatan yang ada di TPA yang sudah beroperasi sejak 2004 itu.
Selama ini, Giatno tidak pernah tahu jika TPA yang ada di dekat rumahnya itu ilegal. "TPA ini sudah ada sejak belasan tahun lalu. Jadi, saya kira TPA ini legal," katanya. Sebelum disulap menjadi TPA, area ini adalah kawasan rawa dan sawah.
Sebelum ditutup, aktivitas di sekitar TPA ini cukup ramai. Puluhan kendaraan bak terbuka dari berbagai wilayah di sekitar TPA, keluar-masuk membawa sampahnya. Giatno pun mengais rezeki dengan memilah sampah dari TPA itu. Dari sana, ia memperoleh penghasilan yang cukup untuk menghidupi keluarganya.
Walau banyak orang yang harus kehilangan mata pencahariannya, KLHK tetap ngotot menutup TPA ilegal tersebut. Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani menyebut kegiatan di TPA ilegal tersebut sungguh berbahaya. Selain dapat merusak lingkungan karena potensi pencemaran, kesehatan warga sekitar TPA pun terancam.
Sudah berdiri sejak 2004, di TPA ini tertumpuk sampah sebanyak 508.776 meter kubik dengan luas 3,6 hektar. Di TPA yang diapit oleh jalan tol ruas Cibitung-Cilincing dan kali CBL ini, juga sangat berpotensi longsor jika hujan tiba.
Di sana terkandung merkuri dan arsenik. Kondisi ini sangat berbahaya karena lokasi TPA tak jauh dari Sungai Cisadane
Kondisi ini mengingatkannya pada tragedi memilukan yang terjadi di TPA Leuwigajah Cimahi, Jawa Barat pada tahun 2005 lalu. Saat itu, nyawa sekitar 150 orang melayang percuma karena tumpukan sampah yang tidak dikelola dengan benar.
TPA ilegal juga terendus di tiga lokasi yang berada di Desa Kedaung Baru, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, Banten. Di sana tumpukan sampah dengan ketinggian hingga 10 meter. Keberadaannya pun menyebar ke beberapa titik.
Dari hasil pemeriksaan dan uji klinis, tumpukan sampah yang ada di kawasan tersebut, juga terkandung bahan beracun, dan berbahaya. "Di sana terkandung merkuri dan arsenik. Kondisi ini sangat berbahaya karena lokasi TPA tak jauh dari Sungai Cisadane," kata Rasio.
Penegakan hukum pidana merupakan langkah tegas pemerintah untuk memberikan sanksi pada semua pihak agar tidak lagi menciptakan TPA ilegal tanpa melalui kajian. Sampai saat ini, sudah lima orang pengelola TPA di dua kawasan itu, yang ditetapkan sebagai tersangka. Penyelidikan tidak hanya berhenti pada pengelola, tetapi juga akan merangsek sampai ke pihak-pihak yang terlibat baik itu korporasi atau bahkan pemerintah daerah.
Baca juga : Pelaku Usaha Bersinergi dalam Pengelolaan Sampah
Bagi setiap orang yang tetap nekat membuat TPA ilegal, akan dijerat dengan Pasal 98 dan/atau Pasal 99 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penanggung jawab dan pengelola diancam dengan hukuman penjara maksimal 15 tahun dan denda hingga Rp 15 miliar.
Direktur Penegakan Hukum Pidana KLHK Yazid Nurhuda mengatakan, munculnya TPA ilegal di sejumlah wilayah dipicu adanya keuntungan dari setiap sampah yang diangkut. "Namun, kami belum mengkalkulasi berapa potensi kerugian negara dan risiko pencemaran yang dihasilkan dari setiap TPA ilegal yang berdiri," kata dia.
Hal ini juga bisa terlihat dari masih menjamurnya TPA ilegal bahkan di dekat area yang sudah ditutup oleh KLHK. Ada TPA yang sudah ditutup dan dipasangi papan peringatan, bukannya berhenti, malah bergeser ke titik yang lain.
Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), Bagong Suyoto menilai munculnya TPA ilegal disebabkan oleh tidak mendukungnya infrastruktur untuk menampung sampah yang dihasilkan.
"Semakin banyak tingkat populasi penduduk, semakin banyak juga sampah yang dihasilkan," katanya.
Peningkatan volume sampah itu tidak dibarengi dengan program pengelolaan sampah yang memadai. Beberapa orang yang dengan sukarela menyediakan lahannya untuk dijadikan tempat pembuangan sampah tentu dengan mengutip iuran.
Dari hasil pemeriksaan, setiap satu bak terbuka dipungut iuran sekitar Rp 2,5 juta-Rp 4 juta. Masalahnya, di tempat tersebut, sampah tidak dikelola, sebaliknya malah dibiarkan menumpuk di area terbuka (open dumping).
Idealnya satu desa satu TPS3R
Bagong mencontohkan kasus di Bekasi dimana kapasitas dari TPA Burangkeng tidak sebanding dengan jumlah sampah yang dihasilkan. Akibatnya, muncul ratusan TPA ilegal. Dia menaksir ada sekitar 81-115 TPA liar di Bekasi. "Demikian halnya dengan daerah lain yang juga memiliki banyak TPA ilegal karena kurangnya pelayanan di TPA yang legal.
Tidak hanya TPA liar yang terus menjamur, di Bekasi juga banyak ditemukan tumpukan sampah teronggok di pinggir dan median jalan. "Dikhawatirkan ketika TPA liar ini ditutup, masyarakat akan membuang sampah di tempat yang bukan seharusnya," kata dia.
Menurut dia, yang terpenting saat ini adalah membenahi infrastruktur dan pengelolaan sampah dengan memperbanyak tempat pengelolaan sampah-reduce, reuse, recycle (TPS3R) dan pusat daur ulang sampah (PDUS). ”Idealnya satu desa satu TPS3R,” katanya. Hal ini ampuh untuk mengurangi penumpukan di TPA karena sudah lebih dahulu dikelola oleh warga di desa masing-masing.
Memang bukan hal mudah untuk membangun infrastruktur pengelolaan sampah. Dibutuhkan dana sekitar Rp 5 miliar per unit. Namun, jika ada komitmen, termasuk intervensi Presiden Joko Widodo, visi tersebut bisa terwujud. Nyatanya, program ini tidak digarap serius. Pemerintah tidak melakukan pendampingan atau sosialisasi sehingga masyarakat tidak mampu mengelola sampahnya.
Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Novrizal Tahar berkomitmen untuk melakukan sosialisasi agar warga mampu mengelola sampah. Hal ini seturut dengan instruksi dari Presiden Joko Widodo untuk menerapkan pengelolaan sampah yang baik dan benar secara 100 persen pada tahun 2025.
Target tersebut memang cukup berat mengingat saat ini capaian pengelolaan sampah di Indonesia baru mencapai 60 persen. Dengan penegakan hukum ini diharapkan dapat memberikan efek jera dan pembelajaran bagi mereka yang ingin bergelut di bisnis TPA liar. "Ini juga menjadi tonggak awal pembenahan pengelolaan sampah agar tidak terjadi lagi penumpukan sampah dan pencemaran," ujar Novrizal.