Gering Agung Wayan Natar
Sebenarnya, kami lebih banyak berdiam kini, terbawa suasana larut malam pun dibayangi kecemasan akan pandemi. Ia kerap bercakap sendiri, sementara aku mulai terbawa kantuk.
Kami telah bersahabat bertahun-tahun. Rutin, dua pekan atau tiga pekan sekali bertemu. Ruang sejuk dengan wangi samar cendana, berikut ranjang seprai putih yang tertata rapi, menjadi saksi bagaimana ikatan hangat pertemanan itu terjalin. Bukan semata jari tangannya terampil menyusup ke lekuk lelah tubuh, melainkan juga ia jenaka bercerita, melipurku setelah berhari-hari didera timbunan buku di perpustakaan, disertasi tak kunjung selesai yang menjemukan.
Pijat refleksi, keahliannya ini dipelajari sedini belia di kota Pemalang, Jawa Tengah. ”Titiyang masih umur 16 tahun dan teman-teman di sana terbiasa memanggil nama saya Nasir, bukan Natar,” cetusnya terkekeh, mengisahkan masa remajanya ketika harus meninggalkan Bali, belajar di sekolah yang diperuntukkan bagi penyandang disabilitas. Semasa tahun 70-an-80-an itu, tidak semua kota di Indonesia memiliki panti didik untuk tunanetra atau tunarungu.
”Di sanalah cinta pertama saya bersemi,” ujarnya sembari menekan sisi kiri ibu jari kakiku. Seketika aku memekik, keras sekali pijatannya ini.
”Nah, ini dia, Nyo terlalu banyak terbawa pikiran masa lalu, endapan kecemasan bawah sadar yang memicu psikosomatis,” tukasnya tergelak ketika aku makin mengaduh. Memang, entah kebetulan saja, aku sedang terhanyut risau. Teringat ibu yang kian menua dan tinggal sendirian di rumah tua kota masa kecilku.
Seakan mengetahui jalan pikiranku, Wayan Natar menyela di tengah keluh aduhku. ”Nyo mestinya menikah dengan seorang perempuan yang punya perbawa ngayomi. Semisal, ya, seperti Mahendradatta, permaisuri dari Raja Udayana itu.” Tercekat aku, dugaannya mendekati benar. Hingga usiaku lebih dari 45 tahun ini belum juga menyunting peruntungan, tak ada pertanda dara jelita dambaan segera akan tiba. Padahal, sudah berulang ibu mengharapkannya, terlebih sepeninggal ayah 20 tahun lalu. Selalu ia mengungkap hal yang sama, bahwa menikahlah agar ada yang membahagiakan diriku, juga cucu yang kelak dapat ditimang menemani ambang petang usianya.
***
Sekonyong-konyong menyusup pandemi, kami tak bisa jumpa lagi. Terkurung di rumah masing-masing, semua kegiatan rutin terhenti. Ibu segera diamankan, sehari-hari bersama adik perempuannya. Semula ia menolak berdiam di tempat bibi, setelah dibujuk berkali barulah dengan berat hati ia tinggalkan rumah yang dibangun ayah secara bertahap itu. Tanahnya dibeli sewaktu aku tengah di kandungan ibu, sebulan sebelum kedip mata pertamaku melihat dunia.
Demikian pula virus yang mengganas itu menghalangi pertemuanku dengan Wayan Natar. Sesekali kami berkirim kabar melalui pesan suara pada aplikasi WhatsApp. Sesekali terbaca juga komentar-komentar pendeknya di status media sosial, menyuratkan situasi kehidupan sehari-hari yang tidak mudah bagi para penyandang disabilitas di tengah rundungan pandemi yang entah kapan berakhir ini. Pembatasan sosial dan penerapan prokes sungguh membuat mereka tak berkutik, tak terbayangkan olehku bagaimana bisa menyintas serta makan minum sehari-hari.
Seolah memahami kecemasanku akan dirinya, Wayan tak hanya mengirim pesan suara, tetapi juga tulisan yang penuh canda seraya gencar berbagi seputar virus dan meme-meme lucu mengacu desas-desus konspirasi di balik merebaknya pandemi sejagat ini. Atau, suatu petang ketika aku tercenung membaca kajian sejarah bencana luar biasa letusan Gunung Agung, ia mengirimkan pesan suara dengan logat ala Jembrananya, ”Apakah gering agung ini adalah bagian dari politik Baliseering...?” Seiring tanya itu, derai tawanya mengalun di hapeku. Belum lepas tawaku, ia mengirimkan GIF sticker seorang anak kecil belagak jagoan tanpa tedeng aling-aling mendatangi dan mengayunkan tinju ke perut temannya. Tak tertahan lagi aku terbahak nyaring, pastilah ia juga tergelak membayangkan aku terpingkal. Ironi nan parodi seperti inilah yang membuat kami merindu bertemu.
Kukira siapa pun akan takjub, tak akan percaya bahwa ia hanya sekolah sampai kelas dua SMP saja, pengetahuannya begitu luas lintas batas. Tak jarang sembari menggosokkan minyak ke tangan dan leherku ia kerap mengusutku dengan pertanyaan dan bahasan yang kontekstual, isu politik, pemilihan presiden, gosip di balik peristiwa yang mengemuka. Demikian juga analisis para pakar dan budayawan tertaut transformasi sosial kultural masyarakat pada era pandemi. Belakangan baru kutahu, pengetahuan ini didapat berkat fitur yang ada dalam gawai Android miliknya. Teknologi canggih itu, seiring kecerdasan artifisial tak terbayangkan, telah menyediakan fasilitas aplikasi yang memungkinkan para disabilitas tunanetra dan tunarungu mengikuti informasi serta berita-berita terkini. Ya, gambar dan tulisan menjadi suara, kemudian suara bisa pula beralih menjadi pesan berupa tulisan.
Begitu pandemi mulai menepi, pembatasan sosial turun ke level 3, kami janji bertemu. ”Ayo, bos, kita pijat.” Jawabku seketika, ”Okelah, aman ya.” Maka, setiap minggu sekali kudatangi Dria Rupa yang sepi itu. Kami sepakat bertemu setiap jam 11 malam, menghindari banyak orang, agar leluasa berbincang. Ya, kupenuhi ajakannya ini meski tubuhku sebenarnya tak perlu benar rileksasi. Batinku, anggaplah sekalian punia, berderma, menolongnya.
Sebenarnya, kami lebih banyak berdiam kini, terbawa suasana larut malam pun dibayangi kecemasan akan pandemi. Ia kerap bercakap sendiri, sementara aku mulai terbawa kantuk. Mungkin menyadari itu, ia lamat-lamat menembang petikan wiracarita Mahabaratha, sesekali nukilan geguritan Sudhamala atau mungkin Selampah Laku. Aku tak tahu benar, ia yang menyebut-nyebut judulnya, sementara aku mulai tertidur terhanyut alun suaranya yang serak berat itu.
Begitulah, pertemuan kami, persahabatan kian terjalin ke batin. Sentuhan jari jemarinya lebih terasa mendalam kini. Terkadang ia sengaja menekan bagian tertentu tubuhku, katanya itu pusat saraf, yang akan membuat seseorang lebih rileks, diliputi perasaan damai. Bahkan, tak jarang kemudian aku tertidur hingga dini pagi. Terbangun, dan ia masih duduk di kursi di tepi ranjang, seakan tengah menjagaku. Pada suasana yang menyentuh haruku itu, kupandang matanya dalam-dalam, berkedip-kedip seakan mengetahui, atau tepatnya merasakan bahwa aku sedang memperhatikannya. Oh, umurnya jauh dari muda, sudah sepuh. Ada helai rambut putih di sana sini, menjadikan wajahnya semakin teduh, samar dan baur mengingatkanku pada ayah semasa kanakku dulu.
Suatu malam, belum lama ia memijat, jemari tangannya begitu saja terhenti. Segera kupalingkan pandang menatapnya. Ia tercenung, murung membayangi wajahnya. Belum sempat aku berucap, ia lebih dulu berbisik, ”Kenapa Baliseering, bukan Tegal Badeng?” Seketika senyap, lama aku tercekat tak bisa jawab. Lanjut ia meluap, ceritanya menderas tak putus bahwa ayah dan keluarganya termasuk korban tragedi 65, di mana warga satu desa yang dituding sebagai basis PKI di Bali Barat tersebut nyaris tumpas seluruhnya.
Tak ada linang di matanya, meski suaranya bergetar memuncak memendam isak. ”Bapak tak ditembak, tapi kakak yang dipaksa mengayun klewang itu... Saya melihatnya, melihatnya sendiri.” Seperti meracau, Wayan terus berbicara bahwa ia lari kemudian disembunyikan neneknya. Lalu kakaknya sejak itu sering berteriak-teriak tanpa sebab dan warga kota kecil tersebut menganggapnya gila. Sejak itu pula pengelihatan Wayan Natar perlahan kian mengabur, hingga segalanya suatu ketika menjadi gelap, penyap. Kedua matanya buta.
Lalu terdiam kami hingga pengujung pagi; sesuatu yang tak terucapkan, ketakutan terpendam selama ini, kini berdesakan dalam pikiran; ya, kenapa bukan Tegal Badeng?!
Catatan:
- Baliseering: atau Balinisasi, merupakan sebuah kebijakan politik pemerintah kolonial Belanda yang diterapkan di Bali pada akhir 1920an.
- Tegal Badeng: sebuah desa di Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Bali, dituding basis PKI dan warganya sebagian besar menjadi korban massal tragedi 65.
- Sesuatu yang tak terucapkan: istilah ahli sejarah adalah le non-dit des sociétés, yakni lapis-lapis kecemasan bawah sadar yang berwujud tabu-tabu, traumatis dan stigmatis, sebagian merasuk tidak disadari, sebagian lain sebentuk lalai abai yang menghalangi sikap kritis untuk memahami kenyataan sebagai kenyataan.
- Conversion Dissorder: gangguan konversi antara lain berupa kebutaan yang disebabkan oleh faktor psikologis
Warih Wisatsana lahir di Bandung. Pernah bekerja sebagai jurnalis, tetapi kemudian memutuskan hidup sepenuhnya sebagai penulis. Buku puisinya "Kota Kita" menjadi Lima Besar Anugerah Hari Puisi (2018). Warih memperoleh penghargaan Bali Jani Nugraha (2020) dari Pemerintah Provinsi Bali.
Isa Perkasa lahir di Majalengka 1964 kini tinggal di Bandung. Lulusan seni grafis ITB 1997. Beberapa kali mengikuti residensi seniman seperti di Jepang dan Amerika. Kurator di Galery Rumah Teh Taman Budaya Jawa Barat dan Galery Pusat Kebudayaan, Bandung. Mendirikan Institut Drawing Bandung di Bandung. Sejak 1998 sampai sekarang aktif berpameran baik tunggal maupun pameran bersama. Selain itu sering menggelar performance art.