Si Penggugat dari Surabaya, Aku Padamu K’tut…
Hebatnya Tantri memilih berjuang bersama tentara Republik. Medan perjuangannya antara lain di Surabaya dan Yogyakarta. Ia bahkan sempat bekerja sebagai pagawai di Kementerian Penerangan RI tahun 1950.
Gara-gara sepotong film di Hollywood Boulevard, Muriel Stuart Walker terdampar di sebuah pulau kecil nan ”primitif”. Ia diimingi-imingi kisah-kasih para dewa dalam film berjudul Bali, The Last Paradise. Sudah bisa dipastikan film itu salah satu dari beberapa film dan buku yang lahir karena kegelisahan para petualang Barat untuk menemukan surga di Timur. Setelah Perang Dunia I, orang-orang Barat sedang gundah gulana: antara membangun kembali puing-puing perang dan bertualang ke dunia lain untuk memulai kehidupan baru.
Muriel bersama orangtuanya bermigrasi dari Britinia Raya menuju California, Amerika Serikat, gara-gara kehancuran yang disebabkan perang. Ia berpikir dengan mengikuti orangtuanya ke daratan Amerika, kehancuran hatinya bisa tersembuhkan. Bahkan setelah menikah dengan Karl Jenning Pearson tahun 1930, Muriel tak jua menemukan pelabuhan hatinya. Secara iseng tahun 1932 di tengah hujan gerimis ia menyusuri Hollywood Boulevard sampai kemudian menemukan sebuah poster yang memanggil-manggil namanya. Setelah menyaksikan bagaimana ”keprimitifan”, kedamaian, dan kebersahajaan Bali dipresentasikan, anehnya Muriel seolah mendapatkan ”pencerahan”.
Begitu keluar dari pintu gedung bioskop, keputusannya sudah bulat, ia ingin menjadi bagian dari ”keprimitifan” dunia Timur, sebagaimana digambarkan dalam The Last Paradise. Bukankah surga itu yang dirindukan oleh begitu banyak orang setelah kecamuk perang hanya menyisakan reruntuhan?
Pekerjaannya sebagai penulis naskah film ia tinggalkan. Kekasih hatinya Karl, seorang lelaki Amerika yang begitu mencintainya, ia tinggalkan pula. Keputusannya sudah bulat untuk mengembara ke Timur dan menemukan sepotong surga yang tersisa di dunia. Film dokumenter pendek itu kemudian menentukan jalan panjang hidup Muriel di kemudian hari. Perang yang ia hindari di Barat ternyata berkecamuk juga di surga yang ia impikan.
Tahun 1932 ia tiba di Batavia. Tak mau menunggu waktu lama, ia beli sebuah mobil dan meneruskan perjalanan darat menuju Bali. ”Saya hanya akan membuka pintu mobil ketika kehabisan bensin,” katanya sebagaimana dituturkan dalam buku Revolt in Paradise. Soal buku ini aku punya kisahnya sendiri, sebentar lagi akan kukisahkan juga kepadamu.
Suatu hari mobilnya mogok di depan sebuah candi bentar (gerbang) berukir. Muriel mengira itu sebuah pura. Ketika ia mencoba masuk dan meminta pertolongan, ia salah duga. Tempat itu tak lain adalah Puri Klungkung, sebuah keraton yang dihuni oleh seorang raja bernama Anak Agung Gede. Secara kebetulan pula pangeran Puri Klungkung bernama Anak Agung Nura, yang pernah bersekolah di Leiden dan Universitas Heidelberg, Jerman.
Raja Klungkung percaya kehadiran Muriel di Bali seperti sebuah karma, sebuah suratan takdir bagi seorang perempuan atas dasar perbuatannya di masa lalu. Tak ada yang kebetulan. Muriel ditakdirkan untuk menjadi bagian dari sebuah bangsa yang sedang merangsek ke pintu gerbang kemerdekaan. Kedamaian di surga yang ia saksikan dalam Bali, The Last Paradise, sedang terusik oleh aroma penindasan dan penjajahan yang telah berlangsung berabad-abad.
Baca: Melihat Lebih Dekat Tokoh di Tepi Pusaran Sejarah
Tanpa pikir panjang Raja Klungkung kemudian ”menasbihkan” Muriel menjadi anak keempat dan diberi nama baru: K’tut Tantri. Sebagai orang luar, meski turut menikmati privilese kebangsawanan, Muriel tidak serta-merta bisa diberi gelar kebangsawanan seperti ”anak agung” atau setidaknya derajat yang disamakan dengan ”jro”, golongan Sudra yang masuk ke dalam keluarga Ksatria. Setidaknya itulah yang berlaku di Bali pada tahun-tahun 1930-an sampai revolusi kemerdekaan berakhir.
Penulis lakon Ahda Imran mengangkat kisah hidup K’tut Tantri dalam sebuah monolog berjudul Nusa yang Hilang. Monolog itu lantas dimainkan oleh aktris cantik Chelsea Islan dengan sutradara Kamila Andini. Ahda meringkas biografi Tantri selama lebih dari 15 tahun hidup di Timur menjadi naskah sepanjang 57 menit. Tentu tak mudah mengadon kisah cinta Tantri dengan Agung Nura yang berlatar revolusi fisik di Hindia Belanda.
Walau ada peresensi yang meragukan permainan Chelsea dalam memerankan karakter K’tut Tantri, bahkan disebut terlalu oriental untuk perempuan keturunan Eropa, setidaknya Nusa yang Hilang, telah menjadi serpih sejarah yang selama ini berada di tepian. Tak banyak yang tahu, kisah perjuangan yang telah diperankan K’tut Tantri selama revolusi fisik. Kebenciannya mulai membara kepada Belanda setelah mendengar banyak kisah pilu dari Agung Nura.
Rakyat di Bali, tempat sepotong surga itu tersisa, telah menderita selama berabad-abad di bawah Pemerintah Kolonial Belanda. Tantri juga mendapat cerita tentang Puputan Klungkung yang berlangsung tahun 1908, di mana seluruh pembesar kerajaan, termasuk raja I Dewa Agung Jambe, gugur untuk mempertahankan kedaulatan kerajaan dari serangan tentara Belanda yang dipimpin Jenderal Rost van Tonningen. Jenderal yang sama juga telah menaklukkan Kerajaan Badung tahun 1906. Peristiwa tanggal 20 September 1906 itu kemudian dikenal dengan nama Puputan Badung, di mana rakyat Badung bertempur habis-habisan untuk mempertahankan harga diri. Perang sampai tandas itu diakhiri dengan pembakaran Puri (keraton) Denpasar agar tak jatuh di bawah kekuasaan penjajah.
Pulau yang dibayangkan damai sebagaimana dilihatnya dalam film di Hollywood Boulevard, ternyata memendam cerita pedih. Tak ada pilihan, revolusi fisik adalah cara terbaik untuk mempertahankan diri dari ancaman bangsa lain. Potongan-potongan sejarah itu semakin membuat teguh tekad Tantri untuk berjuang di garis depan bersama para tentara Republik.
Baca: Panggung Internalisasi Tokoh Sejarah Tanah Air yang Terlupakan
Pada masa pasca-kemerdekaan, Tantri terlibat penuh dalam revolusi fisik di Surabaya. Atas permintaan Sutomo, kemudian dikenal dengan Bung Tomo, Tantri menjadi corong bagi anak-anak negeri untuk menyuarakan kekejaman kepada parlemen Eropa. Ia bahkan sangat membenci Inggris, bangsanya sendiri, karena telah turut menjadi bagian penindas di Indonesia. Tantri menjadi penyiar berbahasa Inggris di Radio Pemberontak, yang didirikan oleh Bung Tomo. Selain menebar semangat perjuangan kepada Arek-arek Suroboyo dengan membuat poster, Tantri juga menyebarkan berita-berita yang membuka kebusukan Belanda dan Sekutu.
Oleh sebab itu, Belanda membuat pengumuman bagi siapa pun yang bisa menyerahkan Tantri ke tangsi Belanda akan diberi hadiah 50.000 gulden. Dengan tak kalah garang Tantri membalas, ”Kalian tahu, uang gulden Belanda kini tidak laku lagi di Indonesia. Kami semua sudah memiliki mata uang sendiri. Tetapi jika Belanda mau menyumbangkan setengah juta rupiah pada bangsa Indonesia sebagai dana perjuangan kemerdekaan, saya bersedia datang sendiri ke markas besar kalian!”
Tantri menuliskan itu dalam otobiografinya Revolt in Paradise yang kemudian diterjemahkan menjadi Revolusi di Nusa Damai. Sungguh celaka, ketika sudah menjadi mahasiswa di Fakultas Sastra Universitas Udayana tahun 1984, aku belum secuil pun membaca kisah heroik K’tut Tantri. Mungkin karmaku berbeda denganmu. Sebagai anak petani yang hidup di desa, sejak kecil aku benar-benar jauh dari buku. Tak ada akses untuk memiliki buku, kecuali komik-komik bekas yang kesewa di kios baca. Itu pun secara sembunyi-sembunyi. Bukankah kisah ini sudah pernah kuceritakan kepadamu dulu?
Suatu hari, seorang teman kecil bernama Putu Suhartika (kini sudah menjadi seorang doktor) datang kepadaku. Sebagai seorang mahasiswa Sastra Inggris, ia butuh referensi novel asing. Aku bilang, aku punya novel berjudul Dr Zhivago karya pemenang Hadiah Nobel dari Uni Soviet bernama Boris Pasternak. Kalau tertarik ia boleh meminjamnya. Tanpa basa-basi lagi, ia berjanji akan memberiku hadiah sebuah buku. Akhirnya kami bertukar buku, ia mendapatkan Dr Zhivago dan aku diberi sebuah buku bersampul tua berjudul Revolusi di Nusa Damai. Istimewanya, buku itu rupanya telah dihadiahkan oleh seseorang kepada orang lainnya ketika ia berada dalam tahanan.
”Itu buku dari ayahku, yang dihadiahkan oleh seseorang ketika ia berada di tahanan,” kata Suhartika. Hal yang harus kau tahu, ayah Suhartika tak lain seorang kepala sekolah legendaris di SMP Negeri 1 Negara, di mana dulu aku bersekolah dan sekelas dengan Suhartika. Bahkan, Bapak pernah bercerita, kepala sekolah itu pernah mengajarnya di SGB (Sekolah Guru Bawah) dulu.
Kegarangan dan keberanian Tantri telah membuat media-media Asia, terutama Singapura, memberinya julukan ”Surabaya Sue” alias ”Si Penggugat dari Surabaya!”.
Kira-kira pada pertengahan tahun 1980-an, setelah membaca buku hasil pertukaran itu, barulah aku mengenal kisah perjuangan K’tut Tantri. Kelak saking kagum dan menghormati perjuangannya untuk bangsa Indonesia, aku menulis sebuah puisi untuknya: //…Entah kenapa aku percaya, K’tut. Pada buku-buku/yang kau tinggalkan/revolusi itu sampai juga di surga/di mana dewa-dewa bertempur melumat nafsu para bhuta/Satu per satu dari kita, kelak memasuki pintu berukir/yang dikuak Sang Hyang Penjaga/Mungkin ada sisa surga, mungkin…/setelah amukan amarah membeku jadi bunga-bunga/dan genangan darah meruap jadi cita-cita yang tertunda…//.
Selain kisah romantis tentang cinta yang tak harus memiliki, seperti juga coba dimainkan dengan penuh gairah oleh Chelsea Islan, buku itu berisi kegarangan Tantri dalam melawan penindasan. Ia berteriak dari mikropon radio yang menjadi satu-satunya alat perjuangan untuk memberi semangat para pejuang sekaligus mengutuk setan-setan penjajah. Suaranya menjelajah jauh sampai ke Singapura, Australia, bahkan parlemen di Eropa. Kegarangan dan keberanian Tantri telah membuat media-media Asia, terutama Singapura, memberinya julukan ”Surabaya Sue” alias ”Si Penggugat dari Surabaya!”
”Bangsa-bangsa di dunia yang berbahasa Inggris perlu mendengar tentang perjuangan kita. Mereka harus disadarkan, bahkan ini bukan revolusi sosial dan pemerintahan kami bukan boneka Jepang,” tulis Tantri dalam buku otobiografinya.
Oh ya, Tantri pernah meringkuk beberapa bulan dalam tahanan tentara Jepang, karena dinggap sebagai mata-mata Amerika, yang jadi musuh Jepang. Karena sakit sebelum Jepang menyerah, ia dikirim ke rumah sakit. Saat itulah, para pejuang di Jawa Timur memberinya pilihan: Ia bisa kembali ke negaranya dengan kawalan tentara Republik atau berjuang bersama melawan Sekutu.
Baca: Kisah K\'tut Tantri, Perempuan Amerika yang Bantu Sebarkan Perjuangan Indonesia lewat Radio
Hebatnya Tantri memilih berjuang bersama tentara Republik. Medan perjuangannya antara lain di Surabaya dan Yogyakarta. Ia bahkan sempat bekerja sebagai pagawai di Kementerian Penerangan RI tahun 1950.
Tantri meninggal di sebuah panti jompo di Sydney, Australia, pada 27 Juli 1997 dalam usia 99 tahun. Aku memang tak sempat bertemu dengannya. Meski sungguh-sungguh terlambat membaca kisahnya, setidaknya lewat tulisan ini aku mengenang dan mencatatnya sebagai seorang perempuan tangguh; bertahan melintasi badai di sebuah negeri Timur nan eksotis. Maaf K’tut surga terakhir yang dijanjikan dalam film yang kau tonton di Hollywood Boulevard itu diinterupsi oleh revolusi. Sebuah revolusi yang kau turut kobarkan sendiri demi menegakkan harga diri dan hak berdaulat yang harus dihormati oleh semua bangsa merdeka di dunia. Jangan khawatir, aku selalu padamu, K’tut….