PLTB Sidrap Menyongsong Energi Hijau (jelajah energi)
Energi hijau dan ramah lingkungan sejatinya menjadi energi masa depan. Di Sulawesi, potensi energi baru terbarukan berbasis bayu dan hidro, cukup besar dan bisa menambah bauran energi terbarukan di Indonesia.
Tulisan untuk Jelajah Energi Nusantara
Tidak sedikit yang ragu saat proyek PLTB Sidrap pertama kali digagas 2012 lalu. Investasi besar, persoalan teknis dalam pembangunan, adalah sedikit diantara penyebab keraguan itu. Namun keyakinan dan kolaborasi semua pihak untuk membangun pembangkit berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT), membuat proyek ini jalan.
Sebanyak 30 turbin berkapasitas masing-masing 2,5 MW pada akhirnya berdiri di perbukitan di Desa Mattirotasi dan Desa Lainungan, Kecamatan Wattangpulu, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan.
Pembangkit bertenaga bayu ini melewati pekerjaan konstruksi sejak 2015-2016 dan dilanjutkan sejumlah tahapan ujicoba. Presiden Joko Widodo meresmikan PLTB Sidrap pada Juli 2018 lalu. Saat ini, dengan kapasitas 75 MW, PLTB Sidrap menjadi pembangkit bertenaga bayu terbesar di Indonesia bahkan Asia Tenggara.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, investor lain juga membangun pembangkit serupa di Jeneponto. Saat ini PLTB Tolo’ di Jeneponto pun sudah beroperasi.
Ada 20 turbin berkapasitas masing-masing 3,6 MW atau total 72 MW yang berdiri berjejer di areal persawahan di Kecamatan Binamu,Jeneponto. Pada PLTB Jeneponto, tiang turbin berukuran tinggi 133 meter dengan panjang bilah 63 meter. Pembangkit ini tercatat menjadi yang terbesar kedua di Indonesia.
Baca juga: Presiden Kunker ke Sulsel Resmikan PLTB Terbesar di Indonesia
Dengan kata lain,dari dua PLTB yang ada di Sulsel, total dayanya jika berproduksi penuh mencapai 147 MW. Walau demikian kontrak ke PLN tidak penuh. Di Sidrap misalnya, kontraknya 70 MW dan di Jeneponto, 60 MW.
Energi masa depan
Saat Kompas bersama tim dari PLN UIKL Sulawesi berkunjung ke PLTB Sidrap, Selasa (12/10/2021) lalu, angin bertiup tak begitu kencang. Bilah sepanjang 57 meter yang terpasang pada poros baling-baling setinggi 80 meter, nampak berputar mengikuti irama angin. Beberapa turbin hari itu sengaja dikunci karena petugas melakukan perawatan rutin.
Menjadi pembangkit berbasis angin, PLTB Sidrap memang acapkali menghadapi musim angin dan saat angin rendah. Ini adalah kondisi yang lumrah. Biasanya musim angin terjadi antara Mei- Oktober. Puncaknya adalah bulan Juli-September.
Tapi bukan berarti seluruh turbin tak bergerak sama sekali saat kecepatan angin rendah. Hanya saja putaran dan energi yang dihasilkan tak sama saat puncak musim angin. Biasanya masa seperti ini berada di musim peralihan. Saat tiupan angin rendah biasanya dimanfaatkan untuk melakukan perawatan pada turbin.
“Pergantian musim adalah kondisi terendah angin. Pada turbin ini, jika kecepatan angin belum sampai tiga meter per detik, belum bisa berputar. Disini rata-rata 10-12 meter per detik. Kalau lagi bagus-bagusnya, bisa 12-20 meter per detik,” kata Pribadhi Satriawan, Manajer Operasi PLTB Sidrap, Selasa (12/10/2021).
Pemilihan Sidrap sebagai lokasi PLTB, sudah melalui penelitian dan kajian panjang. Awalnya, PT UPC Renewables Indonesia (UPC) dan mitra lokalnya, PT Binatek Energi Terbarukan (Binatek) mendapatkan laporan yang disusun oleh LAPAN yang memberikan indikasi pendahuluan adanya kelayakan untuk memanfaatkan sumber daya angin di wilayah Sidrap untuk pembangkitan listrik.
Baca juga: PLTB Tolo Tambah Pasokan Listrik di Sulawesi
Saat itu UPC melihat potensi pasar di Indonesia yang masih terbuka, serta adanya teknologi desain turbin baru yang dapat memanfaatkan sumber daya angin di daerah-daerah tropis seperti Indonesia. Maka informasi ini ditindaklanjuti pada tahun berikutnya dengan memasang tiga menara meteorologi di daerah perbukitan di Desa Mattirotasi dan Desa Teppo di Kabupaten Sidrap. Setelah mendapatkan data angin selama tiga bulan, pada April 2013 UPC menyusun Studi Pra-Kelayakan untuk PT PLN Persero.
Selanjutnya data angin selama setahun kembali dikumpulkan dan pada Februari 2014 UPC melanjutkan penyusunan Studi Kelayakan lengkap untuk PLN. Pada Agustus 2015, kontrak Power Purchase Agreement Proyek PLTB Sidrap 75 MW ditandatangani bersama oleh PLN dan UPC.
Sejak proyek ini rampung dan dinyatakan layak setelah menjalani berbagai uji coba, PLTB Sidrap masuk dalam sistem transmisi PLN di Sulawesi Bagian Selatan (Sulbagsel). Di Sulawesi, sistem kelistrikan dan interkoneksi terbagi atas dua bagian yakni Sulawesi Bagian Utara (Sulbagur) yang meliputi Sulawesi Utara, Gorontalo dan sebagian Sulawesi Tengah. Adapaun Sulbagsel meliputi Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara dan sebagian Sulawesi Tengah.
Pembangkit bayu di Sidrap dan Jeneponto menyumbang sekitar lima-tujuh persen dari total daya 2.279 MW yang ada di wilayah Sulbagsel. Saat ini beban puncak di Sulbagsel mencapai 1.600-an MW.
Anton Sugiarto, Senior Manager Operasi Sistem, PLN UIKL Sulawesi mengatakan, EBT adalah salah satu kekayaan sumberdaya alam di sistem Sulbagsel. Sejauh ini berdasarkan RUPTL, setidaknya masih ada potensi untuk PLTB hingga lebih 400 MW. Sebanyak 350 di Sulsel dan masing-masing 30 MW di Sulbar dan Sulut.
Diluar potensi angin, Sulawesi juga punya potensi air yang cukup besar. Saat ini yang sudah dimanfaatkan untuk pembangkit diantaranya PLTA Sulewana di Poso, Sulteng yang dibangun oleh PT Poso Energi. Sekitar 315 MW sudah masuk dalam sistem Sulbagsel dan dalam beberapa bulan ke depan, pembangunan tanap III akan rampung dengan kapasitas lebih dari 200 MW. Artinya PLTA Sulewana akan menyalurkan 515 MW ke PLN.
Di Sulsel ada pula PLTA Bakaru dengan kopasitas 130 MW. Sejumlah PLTA lain juga masuk ke sistem PLN Sulbagsel dengan kapasitas masing-masing bervariasi dari belasan hingga puluhan MW.
Baca juga: Makassar Ditopang Jaringan Transmisi Bawah Tanah
Anton mengatakan potensi EBT di Sulawesi terutama Sulbagsel memang cukup besar. Dua yang paling potensial adalah bayu dan air. Potensi hidro bahkan mencapai 5,4 Giga Watt dan yang dimanfaatkan baru sekitar 700-an.
“Khusus untuk Sulawesi EBT ini ada yang dari hidro, hidro power, ada yang dari panas bumi (biotermal) kemudian bayu dan surya. Saat ini total mix energinya itu hampir 30% atau 860 MW. Artinya ini sudah melampau target bauran nasional yang 23 persen,” kata Anton.
Anton tak memungkiri pembangkit berbasis EBT ini masih memiliki kendala dan keterbatasan disana-sini. Pada PLTA misalnya kondiisi lingkungan, hulu dan daerah aliran sungai, pembukaan lahan hingga iklim, sangat berpengaruh pda ketersediaan air. Sementara pada bayu, selain soal iklim, musim angin dan angin rendah, peralatan yang ada saat ini belum dilengkapi kompensator.
“Karena alatnya tergantung angin, jadi ketika angin tiba-tiba berhenti, fluktuasi beban dari pembangkit ini cepat sekali drop. Kondisi drop ini bisa mengganggu stabilitas sistem. iItulah salah satu strateginya harus dilengkapi dengan konpensator seperti baterai energi storage atau pembangkit respon cepat. Diharapkan dengan adanya EBT hibrid ini kestabilan sistem tetap terjaga dan juga harga jualnya tidak naik dan tetap kompetitif,” katanya.
Dia mengatakan ditengah keterbatasan itu, PLTB tetap diperlukan karena masa depan energi adalah energi hijau. Energi dari bayu masih diperlukan hingga bauran EBT bisa mencapai 50 persen.
Dalam RUPTL 2021-2030, PLTB tetap masuk dalam program pembangunan kelistrikan. Di Sulsel rencananya pada 2024, 60 MW dan 2026 70 MW.
“Apakah masih kami yang mendapat kepercayaan itu, tergantung pemerintah. Intinya kami susah siap untuk pengembangan. Lokasinya ada, penelitian juga sudah ada. Jika PLN bilang jalan, ya kami kerja,” kata Probadhi Satriawan, Manajer Operasi PLTB Sidrap.