Jaga Pertumbuhan Kawasan Ekonomi Khusus di Kepulauan Riau
Dua kawasan ekonomi khusus di Kepulauan Riau mulai bertumbuh sesuai dengan rencana awal. Namun, pemerintah dinilai masih perlu menata regulasi dan mengatasi persoalan infrastruktur agar pertumbuhan KEK terus terjaga.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Dua kawasan ekonomi khusus atau KEK di Kepulauan Riau mulai bertumbuh sesuai dengan rencana awal. Namun, para pengelola KEK tersebut menilai pemerintah masih perlu menata regulasi dan mengatasi persoalan kurangnya infrastruktur pendukung agar pertumbuhan KEK di Kepri terus terjaga.
Pada Juni 2021, pemerintah menetapkan KEK Nongsa melalui Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2021. Kawasan yang juga dikenal sebagai Nongsa Digital Park itu dirancang menjadi markas usaha rintisan yang fokus dalam pengembangan ekonomi digital.
Direktur Nongsa Digital Park Peters Vincen, Jumat (1/10/2021), mengatakan, KEK Nongsa ditargetkan dapat menyerap investasi hingga Rp 26 triliun dan menyerap tenaga kerja 16.500 orang pada 2040. Di kawasan itu kini telah terbangun sejumlah resor, perkantoran, akademi, pelabuhan feri internasional, studio animasi, dan lapangan golf.
”Terbaru telah selesai penandatanganan kontrak dengan dua investor serta kesepakatan dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menempatkan pusat data nasional di KEK Nongsa. Itu menambah investasi sekitar Rp 15 triliun,” kata Peters melalui pernyataan tertulis.
Saat ini, KEK Nongsa berdiri di lahan 62 hektar dan telah ditempati 100 perusahaan multinasional. Total realisasi investasi di sana mencapai Rp 16,2 triliun dan penyerapan tenaga kerja 1.530 orang.
Peters menyatakan, lokasi KEK Nongsa yang berada di Batam sangat strategis. Pulau Batam memiliki sejumlah keunggulan geografis seperti relatif aman dari bencana gempa bumi dan letusan gunung berapi. Batam juga terletak di Selat Malaka dengan jalur perdagangan tersibuk di dunia.
Terbaru telah selesai penandatanganan kontrak dengan dua investor serta kesepakatan dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menempatkan pusat data nasional di KEK Nongsa. Itu menambah investasi sekitar Rp 15 triliun. (Peters Vincen)
Oleh karena itu, menurut Peters, dalam waktu dekat KEK Nongsa juga akan mengembangkan bisnis di bidang data center hub. KEK Nongsa akan dibuat menjadi landing point tujuh jalur kabel fiber optik bawah laut yang menghubungkan Indonesia, Malaysia, Singapura, dan pantai barat Amerika Serikat.
Peters berharap pemerintah dapat memberikan sejumlah kemudahan untuk mendukung pertumbuhan KEK Nongsa. Salah satu yang paling diharapkan adalah kebijakan travel bubble. Pada masa pandemi Covid-19 ini, travel bubble sangat diperlukan untuk menjamin kelancaran perjalanan para investor mancanegara menuju Batam untuk merealisasikan rencana investasi mereka.
Selain itu, Peters juga berharap keringanan pajak daerah dapat segera terwujud sehingga bisa dinikmati oleh badan usaha dan pelaku usaha di KEK Nongsa. Ia menilai pemberian insentif fiskal dan pemangkasan birokrasi akan mendorong pertumbuhan investasi di KEK Nongsa juga perekonomian Batam pada umumnya.
Selain KEK Nongsa, di Kepri juga terdapat KEK Galang Batang yang berlokasi di Pulau Bintan. Kawasan industri itu ditetapkan menjadi KEK melalui Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2017.
Industri utama di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Galang Batang adalah smelter-grade alumina refinery PT Bintan Alumina Indonesia (BAI). Pabrik pengolahan bauksit itu ditargetkan dapat mengekspor 2 juta ton alumina per tahun pada 2027.
Kawasan industri Galang Batang berdiri di lahan 2.333 hektar. KEK Galang Batang ditargetkan menyerap investasi Rp 36,25 triliun dan menyerap tenaga kerja 20.000 orang pada 2028. Tiga tahap pembangunan KEK Galang Batang dimulai pada 2016 dan ditargetkan selesai pada 2030.
Direktur Utama PT BAI Santoni, Minggu (29/8/2021), mengatakan, pembangunan tahap I yang dimulai pada 2016 telah selesai pada 2020. Saat ini, smelter PT BAI dengan kapasitas produksi 1 juta ton alumina per tahun sudah mulai beroperasi.
Santoni menuturkan, saat ini realisasi investasi di KEK Galang Batang mencapai sekitar Rp 17 triliun. Adapun realisasi penyerapan tenaga kerja saat ini sudah 4.000 orang. Sekitar 20 persen tenaga kerja itu merupakan teknisi dari China.
Rencananya, pada tahap II periode 2020-2026 akan dibangun lagi smelter kedua dengan kapasitas produksi yang sama dan pembangkit listrik 2.850 megawatt. Adapun tahap III periode 2026-2030 adalah fase penyempurnaan fasilitas yang sudah ada.
Namun, menurut Santoni, proses pembangungan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Galang Batang masih terhambat. Penyebabnya, Indonesia merupakan salah satu dari 190 negara yang meyepakati Kesepakatan Paris tentang komitmen mengurangi gas rumah kaca.
Kawasan industri Galang Batang terletak di Pulau Bintan yang kecil. Menurut Santoni, mereka harus membangun pembangkit listrik sendiri untuk memenuhi kebutuhan pabrik. Namun, karena Kesepakatan Paris, pemerintah tidak mengizinkan pembangunan PLTU batubara lagi.
”Kalau tidak membangun pembangkit sendiri, kami dapat listrik dari mana? Tidak ada listrik berarti tidak ada industri. Sampai sekarang belum ada kemajuan. Listrik yang ada hanya cukup untuk PT BAI saja,” kata Santoni saat dihubungi.
Padahal, rencananya KEK Galang Batang juga akan dikembangkan untuk menggaet industri di luar peleburan alumina. Saat ini, beberapa investor telah menyatakan minat untuk membangun pabrik kertas, bahan kimia, dan manufaktur lain di Galang Batang. Namun, listrik yang tersedia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Menurut Santoni, pembangkit listrik yang ada saat ini hanya mampu memproduksi 80 megawatt. Pada 2022, mereka akan menambah kapasitas lagi 80 megawatt menjadi total 160 megawatt. Meski demikian, itu masih jauh dari kebutuhan awal 2.850 megawatt.