Korupsi Dana Otsus Aceh, Tiga PNS dan Rekanan Tersangka Korupsi
Pengadaan benih jagung di Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh, yang menggunakan dana otonomi khusus diduga dikorupsi dengan menaikkan harga tender jauh dari harga beli di pasar. Akibatnya negara mengalami kerugian Rp 1 miliar.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Diduga mengorupsi dana otonomi khusus Aceh untuk pengadaan benih jagung hibrida NK 017, tiga pegawai negeri dan satu rekanan ditetapkan sebagai tersangka. Negara dirugikan Rp 1 miliar dari nilai kontrak Rp 2,8 miliar.
Kepala Kejaksaan Negeri Aceh Tenggara Syaifullah, dalam keterangan tertulis, Jumat (3/9/2021), mengatakan, mereka korupsi dengan cara menggelembungkan harga atau mark up. ”Pengadaan benih jagung hibrida tersebut menggunakan anggaran pendapatan dan belanja kabupaten yang bersumber dari dana otsus Aceh,” ujar Syaifullah.
Para tersangka adalah AB, mantan Kepala Dinas Pertanian Aceh Tenggara; SP pejabat pembuat komitmen; KN, kepala perkebunan; dan KP rekanan pemenang tender. Mereka memiliki peran masing-masing dalam kasus tersebut.
Pada Januari 2020, sebelum tender dilakukan para tersangka telah membuat kesepakatan harga dengan sebuah perusahaan penyedia benih jagung di Sumatera Utara, yakni Rp 62.500 per kilogram.
Pada September 2020, tender dibuka dengan harga perkiraan sendiri (HPS) Rp 98.000 per kilogram. Terdapat selisih Rp 35.500 dari harga pasar dengan HPS.
Sebelum tender dilakukan, para tersangka telah membuat kesepakatan harga dengan sebuah perusahaan penyedia benih jagung di Sumatera Utara.
Pada 27 November 2020, bibit jagung NK017 sebanyak 29,4 ton dikirim dari Medan ke Aceh Tenggara. Dengan harga beli Rp 62.500 per kilogram dikali 29,4 ton nilai totalnya Rp 1,8 miliar. Adapun nilai kontrak Rp 2,8 miliar. Artinya, ada selisih Rp 1 miliar antara nilai kontrak dengan realisasi.
Koordinator Masyarakat Transparansi Anggaran (MaTA) Alfian mengatakan, dana otonomi khusus kerap dikorupsi. Praktik korupsi paling marak dengan cara penggelembungan harga dan kegiatan fiktif. Pelaku korupsi mayoritas adalah pegawai negeri yang diamanahkan mengelola dana otonomi khusus.
”Integritas aparatur pemerintah rendah. Korupsi menyebabkan kemiskinan tinggi karena program untuk rakyat dinikmati koruptor,” ujar Alfian.
Alfian menambahkan, masih banyak kasus korupsi yang belum ditetapkan tersangka, seperti dugaan korupsi beasiswa, peremajaan sawit, dan sertifikasi tanah warga miskin. Alfian berharap kepolisian dan kejaksaan segera menetapkan tersangka kasus-kasus korupsi tersebut.
Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Aceh Indra Khairan menuturkan, korupsi tidak hanya merugikan negara, tetapi juga warga karena tidak mendapatkan manfaat dari program itu. Dalam kata lain, korupsi menghambat pembangunan dan peningkatan kesejahteraan warga.
Integritas aparatur pemerintah rendah. Korupsi menyebabkan kemiskinan tinggi karena program untuk rakyat dinikmati koruptor.