RUU Energi Baru Terbarukan Masukkan Pasal Sumber Pendanaan
Pendanaan masih menjadi salah satu kendala pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia. Sejumlah pasal terkait sumber pendanaan dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan guna mengatasinya.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-undang Energi Baru Terbarukan memasukkan pasal tentang sumber-sumber pendanaan energi baru terbarukan. Pendanaan berperan strategis guna mendorong pengembangan energi baru terbarukan dalam rangka memenuhi target nol emisi yang dicanangkan Indonesia.
Menurut Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma, Indonesia mesti membangun energi terbarukan secara masif untuk mencapai target nol emisi. ”Pembangunan energi baru terbarukan (EBT) secara masif membutuhkan landasan hukum serta biaya yang tidak sedikit,” ujarnya dalam bincang-bincang virtual METI berjudul ”Apa Kabar RUU EBT?”, Jumat (13/8/2021).
Berdasarkan data yang dia himpun, Surya menyebutkan, investasi yang diperlukan di tingkat dunia untuk mencapai nol emisi (net zero emission) tahun 2050 mencapai 4 triliun dollar AS per tahun.
Sayangnya, kata Surya, saat ini mekanisme pembiayaan untuk pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia belum terjamah oleh perbankan. Teknologi dalam negeri yang belum berkembang membuat investasi energi baru terbarukan di Indonesia tergolong mahal.
Di hilir, belum ada standar harga sekaligus regulasi yang setara bagi energi baru terbarukan. Aspek-aspek itu mendorong kebutuhan regulasi mengenai energi baru terbarukan di tingkat undang-undang.
Terkait pendanaan, anggota Komisi VII DPR, Andi Yuliani Paris, mengatakan, DPR RI merumuskan tanggung jawab pemerintah daerah dalam Pasal 38 RUU Energi Baru Terbarukan. ”Dana EBT masih mengharapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan kewenangan ini, daerah diharapkan berkontribusi dengan mengalokasikan APBD untuk mencapai target sesuai rancangan umum energi daerah,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Alokasi dana untuk pengembangan energi baru terbarukan, lanjut dia, juga dapat berasal dari pungutan ekspor terhadap energi tak terbarukan. Selain itu, ada dana perdagangan karbon, sertifikasi energi baru terbarukan, serta sumber-sumber lain yang dianggap sah.
Dana energi baru terbarukan akan digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, insentif, dan kompensasi bagi badan usaha pengembang, penelitian dan pengembangan, serta peningkatan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia. Subsidi harga energi baru terbarukan juga akan memanfaatkan dana tersebut karena tarifnya belum bisa bersaing dengan energi tak terbarukan.
Selain itu, rapat panitia kerja terakhir menambahkan aspek keberpihakan pada produk dan potensi dalam negeri dalam pengembangan energi baru terbarukan. Aspek tersebut tertuang dalam Pasal 36 RUU EBT yang mewajibkan badan usaha yang mengusahakan EBT mengutamakan produk dan potensi dalam negeri. Produk dan potensi tersebut meliputi tenaga kerja, teknologi, bahan material, dan komponen lainnya.
Meskipun demikian, pasal tersebut menimbulkan dilema. ”Kalau ada kata ’wajib’, akan ada sanksi yang menyertai. Menurut laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, komponen dalam negeri untuk program-program pengembangan EBT masih berkisar 40 persen, paling tinggi 53 persen. Namun, kewajiban tersebut penting,” kata Andi.
Pasal-pasal tersebut selaras dengan tujuan pengembangan yang tertera pada Pasal 3 RUU EBT yang mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional di bidang energi baru terbarukan agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional.
Menurut dia, tujuan itu penting untuk menyiapkan kapasitas dan partisipasi sumber daya manusia dalam mencapai target-target porsi energi baru terbarukan, khususnya yang terdekat, yakni mencapai 23 persen dalam bauran energi nasional tahun 2025.
Akademisi Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Mukhtasor, berpendapat, RUU Energi Baru Terbarukan belum cukup untuk mendorong transisi energi di Indonesia. Perbaikan praktik-praktik pengembangan energi baru terbarukan yang ada di Indonesia harus menyertai kehadiran RUU EBT.
Dia menggarisbawahi, transisi energi membutuhkan landasan hukum yang memberikan kepastian. ”RUU EBT mesti mewadahi kepentingan sektor sosial, swasta, dan publik. Pasal-pasalnya harus mampu mendorong ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan energi nasional,” katanya.