Bisnis Kuliner di Dapur Kolektif Makin Memikat
Pro-kontra keberadaan dapur kolektif tetap mengemuka meskipun keberadaannya di Indonesia sudah lebih dari setahun.
Riset konsultan properti Savills (Maret 2021) mencatat, saat ini terdapat 70 cabang dapur kolektif atau cloud kitchen dengan lebih dari 500 bilik dapur yang beroperasi di Jakarta. Pasar dapur kolektif ini diperkirakan terus mendapatkan momentum ketika pengiriman makanan semakin diminati akibat pembatasan sosial di tengah pandemi Covid-19. Fenomena dapur kolektif ini juga hanya terjadi di Jakarta.
Dapur kolektif bukan konsep yang sama sekali baru di Indonesia. Sebelumnya, model dapur kolektif dikelola tunggal dan dioperasikan oleh satu merek makanan dan minuman yang hanya berfokus pada pesan antar ataupun pesan dan langsung dibawa pulang. Model ini diadopsi oleh rantai bisnis makanan cepat saji, seperti PHD (Pizza Hut).
Kini, alih-alih satu bangunan untuk merek tunggal, konsep cloud kitchen mengadopsi dapur gaya kerja bersama yang mengakomodasi beberapa merek dari pemilik yang sama atau pemilik berbeda untuk beroperasi di tempat yang sama. Tujuan utamanya adalah meminimalkan biaya sebab penyewa tak menghabiskan lebih banyak uang untuk tata letak fisik dan staf.
Head of Research and Consultancy Savills Indonesia Anton Sitorus, Rabu (16/6/2021), di Jakarta, mengatakan, properti yang bisa dimanfaatkan untuk dapur kolektif bisa berupa gedung tua, gudang, atau ruko yang kini, karena pandemi Covid-19, utilisasinya rendah.
Bagi pemilik properti, konsep dapur kolektif menguntungkan. Sementara operator dapur kolektif bisa membangun dapur ataupun beberapa bilik dapur untuk menampung pemilik merek makanan dan minuman yang ingin bergabung.
Sebelum ada dapur kolektif, pengiriman pesanan makanan dari mal lebih sulit dilakukan karena pengemudi butuh waktu untuk parkir, memasuki mal, memesan makanan, dan mengantarkan. Dapur kolektif jadi pelengkap yang menerima pesanan antar. Ini membantu mengurangi waktu pengiriman dari restoran ke konsumen.
Skema bisnis yang ditawarkan operator dapur kolektif punya risiko relatif lebih kecil dibandingkan dengan ruang ritel konvensional karena perjanjian yang fleksibel dengan investasi awal lebih rendah. Adapun pemilik merek makanan dan minuman yang membuka cabang dapurnya di dapur kolektif punya peluang berkembang lebih pesat, bisa menangkap lebih banyak konsumen.
Konsep dapur kolektif yang ada sekarang cenderung menyasar segmen pasar yang berbeda dari mal konvensional. Operator dapur kolektif cenderung menargetkan pemilik merek makanan dan minuman yang baru didirikan serta berskala UMKM. Sebab, pemilik merek makanan dan minuman berskala besar biasanya masih menyukai punya lokasi sendiri agar mereka bisa menjual pengalaman suasana bersantap.
Dalam risetnya, Savills juga melihat mulai ada kecenderungan pemilik merek makanan dan minuman yang lebih mapan memanfaatkan kehadiran dapur kolektif sebagai dapur satelit alias gerai pelengkap. Ini demi menjaring konsumen di daerah lebih terpencil.
”Mengenai jenis makanan, kami tetap melihat tidak semua bisa dimasak di dapur kolektif. Sampai sekarang trennya begitu,” ujar Anton.
Dari sisi konsumen, keberadaan dapur kolektif menjawab permintaan mereka akan kebutuhan pesan daring makanan. Mengutip hasil riset E-Economy SEA 2020 yang diterbitkan Google, Temasek, dan Bain & Company, pesan-antar makanan secara daring pada 2020 dibandingkan tahun 2019 naik 34 persen.
”Indonesia sekarang masih masa transisi digitalisasi dalam segala hal, termasuk berbisnis makanan dan minuman. Sementara kebiasaan konsumen telah berubah, yakni semakin mengandalkan layanan daring dengan tetap menuntut makanan berkualitas dan terjangkau. Konsep dapur kolektif, sejauh ini, masih cocok dan efisien,” tuturnya.
Baca Juga: Cloud-Kitchen, Ghost-Kitchen yang Memudahkan
Tren berlanjut
Pemilik bisnis makanan Mie Kedondong asal Surabaya, Clarissa Suwijono, saat dihubungi pada Rabu (23/6/2021) memperkirakan, seusai pandemi Covid-19, keberadaan dapur virtual akan tetap dibutuhkan pebisnis kuliner agar makin dekat dengan konsumen. Ia yakin kebiasaan membeli makanan dengan pesan antar daring yang pesat kala pandemi ini akan tetap berlanjut setelah pandemi.
Mie Kedondong berdiri sejak 1977 di Jalan Kedondong, Surabaya. Clarissa merupakan generasi kedua. Pada 2016-2017, dia mendapat tawaran kemitraan dari Grab Food. Tawaran itu langsung dia terima karena yakin bahwa masa depan bisnis kuliner akan lewat platform daring.
”Tanpa promosi di media sosial, keikutsertaan Mie Kedondong di Grab Food dan platform sejenis menaikkan omzet dua sampai tiga kali lipat. Semakin ke sini semakin banyak pendengung datang ke gerai asal atau pesan lewat daring, omzet naik lebih tinggi dari itu,” tuturnya.
Mie Kedondong memutuskan bergabung di dapur virtual Grab Kitchen untuk memudahkan meraih konsumen baru. Sementara konsumen lama yang loyal tetap lebih suka datang atau pesan daring ke gerai asal.
”Gabung di dapur kolektif Grab Kitchen itu cuma butuh proses seminggu, lalu setting peralatan dapur dan menaruh pekerja kami di sana butuh sehari. Kami pun malah bisa jualan makanan beku untuk melayani permintaan konsumen selama pandemi Covid-19,” kata Clarissa.
Bagi pemain bisnis kuliner baru, Mandu Mami, bergabung di dapur kolektif juga menguntungkan. Co-Founder Mandu Mami Regita Ollivia saat dihubungi, Sabtu (20/6), di Jakarta, menceritakan, usaha makanan jenis dumpling itu diluncurkan pada Maret 2020, setelah dia lulus kuliah. Setahun kemudian, dia mendapat tawaran kemitraan dari LookalKitchen.
”Usaha saya ini berada di Tanjung Duren, Jakarta Barat, dan melayani pemesanan daring. Saya promosi gencar di media sosial. Ketika banyak konsumen ikut memberikan penilaian positif, permintaan dari luar Jakarta Barat berdatangan,” ujarnya menjelaskan alasan menerima tawaran kemitraan dari LookalKitchen.
LookalKitchen telah menjalin kemitraan dengan sejumlah pebisnis kuliner yang bersedia berbagi ’dapur’ dengan pebisnis lainnya. Lalu, keuntungan dibagi di antara mereka.
Sebagai operator dapur kolektif, LookalKitchen telah menjalin kemitraan dengan sejumlah pebisnis kuliner yang bersedia berbagi ”dapur” dengan pebisnis lainnya. Lalu, keuntungan dibagi di antara mereka. Pengusaha seperti Mandu Mami hanya perlu melatih karyawan.
Mandu Mami menempati dapur yang dikelola oleh salah satu pebisnis kuliner di Kemang, Jakarta Selatan. Regita hanya perlu datang memasok suplai dumpling beku. Saat pesanan daring datang dari konsumen di sekitar Kemang, dapur Mandu Mami di Kemang yang akan melayani.
”Omzet tetap lebih besar datang dari gerai kami di Tanjung Duren, Jakarta Barat. Barangkali, konsumen lebih dulu tahu dibandingkan dengan di Kemang, Jakarta Selatan. Jumlah penjualan dari Kemang biasanya 50-100 porsi per hari, sedangkan dari Tanjung Duren lebih dari itu,” ujarnya.
Baca Juga: Ekspansi ”Cloud Kitchen” Era Pandemi Covid-19
Perlu berkeadilan
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun berpendapat, model bisnis berbagi keuntungan yang ditawarkan oleh operator dapur kolektif kepada pemilik merek makanan dan minuman perlu transparan. Jika tidak, ada potensi pemilik merek makanan dan minuman yang kebanyakan UMKM bergabung di dapur kolektif merugi.
Menurut dia, wacana revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik pun mengedapankan UMKM harus mendapat perlakuan yang setara, berkeadilan, dan sejahtera dalam berusaha. Semangat ini harus dijaga oleh perusahaan teknologi yang mengakomodasi UMKM, termasuk perusahaan teknologi yang juga jadi operator dapur kolektif.
UMKM harus mendapat perlakuan yang setara, berkeadilan, dan sejahtera dalam berusaha. Semangat ini harus dijaga oleh perusahaan teknologi yang mengakomodasi UMKM, termasuk perusahaan teknologi yang juga jadi operator dapur kolektif.
Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bidang Restoran Emil Arifin juga mengingatkan, ada sejumlah pebisnis kuliner lama yang mengeluhkan potongan fee di dapur kolektif terlalu besar sehingga mereka merugi. Meski demikian, bagi pendatang baru berskala UMKM, keberadaan dapur kolektif bisa jadi menguntungkan.
Terlepas dari pro-kontra dapur kolektif, operator dapur kolektif LookalKitchen mengumumkan siap berekspansi ke Bandung, Surabaya, dan Medan sampai akhir tahun 2021. Sebelumnya, sejak Januari 2021 LookalKitchen beroperasi di Jakarta.
Sebanyak 20 merek makanan dan minuman yang memang berbisnis secara daring serta 50 dapur/restoran menjadi mitra LookalKitchen. Beberapa merek di antaranya, Dapoer Bang Jali by Denny Cagur, Enakdibungkus, dan Mandu Mami.
Co-Founder dan Chief Financial Officer LookalKitchen Daniel Song menyebut pembukaan dapur kolektif di luar Jakarta yang pertama kali adalah di Bandung.
”Semua pekerja yang bekerja di dapur kolektif sudah terlatih. Sebagai perusahaan teknologi, kami juga menyediakan sistem manajemen pemesanan, menu digital, dan pencatatan keuangan. Jadi, mitra dapur/restoran ataupemilik merek makanan dan minuman bisa terus tumbuh,” ucapnya.
LookalKitchen bekerja sama dengan sejumlah perusahaan teknologi yang melayani pengantaran makanan. Meski demikian, LookalKitchen tidak mengkhawatirkan ada persaingan dengan perusahaan teknologi yang melayani pengantaran makanan yang juga jadi operator dapur kolektif.
”Kami bekerja sama langsung dengan dapur/restoran, sedangkan operator dapur kolektif yang lain mungkin menyediakan ruangan untuk dibangun dapur kolektif,” kata Daniel.
LookalKitchen juga memiliki merek makanan in-house, seperti La Galbi, The Crepe Lab, dan Foli Kitchen. Operator ini juga berencana meluncurkan lebih banyak merek.
Mengenai mekanisme pembagian keuntungan, Daniel hanya menyebut mekanismenya sangat kompleks tergantung sejumlah faktor, seperti pembagian kerja antara pemilik merek makanan dan dapur/restoran serta transaksi yang terjadi.
Grab Kitchen kini mengoperasikan 46 dapur kolektif di Indonesia dan menjadi lokasi bagi lebih dari 200 mitra pebisnis kuliner.
Sementara Grab Kitchen kini mengoperasikan 46 dapur kolektif di Indonesia dan menjadi lokasi bagi lebih dari 200 mitra pebisnis kuliner. Pada awal tahun 2021, Grab meluncurkan kemitraan dengan Yummy Corp untuk mendukung lebih banyak pengusaha kuliner memperluas usaha mereka.
”Jaringan dapur kolektif kami telah hadir di Jakarta, Bandung, Bali, Medan, Surabaya, Makassar, dan Malang. Kami optimistis model bisnis dapur kolektif ini mempermudah merek kuliner lokal berekspansi,” kata Rio Aristo, Head of Grab Kitchen Grab Indonesia.