Konsep ”cloud kitchen” atau dapur kolektif masih asing bagi kebanyakan orang. Trennya mulai meningkat di kalangan pengusaha kuliner, terutama di masa pandemi Covid-19. Dapur ini tak ubahnya seperti ”restoran virtual”.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
Setiap kali warung bakso malangnya ramai disambangi pengunjung, perasaan Shinta Teviningrum campur aduk. Senang karena usahanya laris, tapi juga waswas. Sebab, ketika bisnisnya itu laku, biaya sewa gedung yang ia kontrak per bulan untuk membuka warung makan pun ikut menanjak.
Awalnya, saat pertama kali merintis warung bakso pada 1990 bersama suaminya, Shinta membuka 10 cabang di Jakarta, Bandung, dan Semarang. Namun, seiring dengan kondisi perekonomian yang naik-turun dan bisnis yang dipandang semakin laris, biaya kontrak gedung yang harus dibayar Shinta setiap bulan pun semakin tinggi. Shinta akhirnya menyerah.
”Ketika inflasi, harga sewa gedung naik sampai dua kali lipat. Satu demi satu cabang pun akhirnya tutup,” ucapnya saat sesi berbagi di acara webinar ”Tren Cloud Kitchen dan Bisnis Kuliner UMKM” yang diselenggarakan Indonesia Gastronomy Community (IGC) secara virtual di Jakarta, Kamis (9/7/2020).
Kini, di tengah pandemi Covid-19, pukulan terhadap beban biaya operasional terasa lebih keras dari biasanya. Sebagaimana banyak pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lainnya yang terpuruk, Shinta terpaksa menutup sisa cabangnya demi menghemat biaya sewa gedung dan hanya beroperasi di gedung milik sendiri.
Cita-cita ekspansi usaha bakso malang di tengah pandemi pun semakin sulit digapai. ”Kami sekarang di posisi bertahan saja,” kata Shinta.
Salah satu yang membuat usaha kuliner Shinta tetap berjalan adalah layanan pesan-antar yang sekarang semakin marak. Terlebih, pandemi membuat orang-orang lebih banyak mengurung diri di rumah. Namun, meski masih bertahan, menjaga arus kas dan menghemat biaya operasional tetap menjadi tantangan.
Di sinilah, konsep dapur kolektif, yang sering disebut dengan cloud kitchen atau ghost kitchen, menarik minatnya. ”UMKM itu sulit-sulit gampang, artinya lebih banyak sulitnya daripada gampangnya. Dengan cloud kitchen ini, saya harap bisa mengubah sulit-sulit gampang itu jadi gampang-gampang sulit, lebih banyak gampang daripada sulitnya,” tutur Shinta.
UMKM itu sulit-sulit gampang, artinya lebih banyak sulitnya daripada gampangnya. Dengan cloud kitchen ini, saya harap bisa mengubah sulit-sulit gampang itu jadi gampang-gampang sulit, lebih banyak gampang daripada sulitnya.
Konsep dapur kolektif memang masih asing di telinga kebanyakan orang, tetapi trennya mulai meningkat di kalangan pengusaha kuliner belakangan ini di masa Covid-19. Dapur kolektif tak ubahnya seperti ”restoran virtual” yang beroperasi tanpa fasilitas makan di tempat dan sepenuhnya mengandalkan layanan jasa pesan-antar.
Konsep dapur kolektif ini diminati para pelaku usaha kuliner dunia, seperti di China, Amerika Serikat, Inggris, dan Inggris. Negara-negara tersebut mudah menerapkan konsep tersebut karena tingkat penggunaan jasa layanan pesan-antar makanan-minuman sangat tinggi. Pada 2026, pasar cloud kitchen di dunia bisa mencapai 2,63 miliar dollar AS.
Di Indonesia, tren dapur kolektif mulai dikembangkan oleh beberapa operator kuliner, seperti GrabFood, GoFood, dan Yummy Corp. Konsep dapur kolektif lebih ditujukan kepada pelaku usaha kuliner yang ingin mengembangkan usaha layanan pesan-antar di tengah pandemi, tetapi dengan modal lebih irit.
Pada 2026, pasar cloud kitchen di dunia bisa mencapai 2,63 miliar dollar AS.
Biaya manajemen
Pengusaha kuliner tidak perlu menghabiskan biaya operasional untuk membeli atau menyewa gedung serta membayar listrik dan air bulanan. Fasilitas ruangan dapur, alat masak, juru masak, dan jasa pengiriman makanan akan disediakan dan dikelola manajemen operator dapur kolektif.
Pelaku usaha bisa mengembangkan bisnis kulinernya tanpa perlu membuka dapur dan merekrut karyawan baru. Tidak perlu lagi ada rasa waswas yang menyertai acap kali usaha sedang laku keras karena takut biaya kontrak meninggi.
”UMKM yang mau melebarkan bisnis tidak usah repot memikirkan tempat, karyawan, logistik, izin usaha, dan memantau ponsel menunggu order. Silakan fokus memikirkan pengembangan resep atau mencari inovasi resep baru. Sisanya kami yang mengurus dapur, kami yang bantu masak, kami yang mengurus order,” tutur Vishal Kumar, pendiri salah satu operator dapur kolektif, Yummy Corp.
Konsep dapur kolektif memudahkan brand kuliner membuka layanan pesan-antar ke sejumlah wilayah tanpa perlu membuka banyak cabang. Selama ini, layanan pengiriman makanan terbatas pada lokasi rumah makan. Pemilik usaha di Jakarta Selatan sulit memperluas pasarnya sampai ke wilayah Jakarta Utara karena mahalnya ongkos kirim dan lamanya durasi pengiriman makanan.
Meski lebih hemat, tetap ada harga yang harus dibayar. Bentuk kerja sama berupa bagi hasil antara pelaku UMKM kuliner dan operator dapur kolektif bergantung pada negosiasi dan kondisi tiap pelaku usaha. Besarnya biaya juga akan mengikuti skala usaha dan angka penjualan. Vishal menolak membuka besaran biaya yang harus dikeluarkan pelaku usaha kuliner untuk terjun ke jaringan dapur kolektif.
”Biasanya dari operator cloud kitchen di ujung nanti akan menetapkan biaya manajemen untuk menutupi biaya operasi dari proses masak sampai pengiriman,” kata Vishal.
Biasanya dari operator cloud kitchen di ujung nanti akan menetapkan biaya manajemen untuk menutupi biaya operasi dari proses masak sampai pengiriman.
Baba Rafi Enterprise adalah salah satu pelaku usaha kuliner yang sudah ”mencicipi” dapur kolektif. Jaringan waralaba kebab yang menaungi sejumlah brand seperti Kebab Turki Baba Rafi dan Container Kebab itu bisa memangkas hingga 50 persen biaya operasional melalui dapur kolektif dibandingkan membuka gerai baru.
”Dari kacamata ekspansi bisnis, kalau mau buka yang baru lagi pasti cost-nya besar, bahkan untuk satu cabang saja. Dengan jaringan cloud kitchen,memang bebannya lebih ringan dan terbagi,” ucap Hendy Setiono, CEO Baba Rafi Enterprise.
Kerahasiaan resep
Bagaimanapun, konsep dapur kolektif tetap menyimpan kelemahan. Kendala utama yang harus dihadapi pelaku usaha kuliner adalah mengembangkan dan mempromosikan brand agar tetap unik meskipun berada di bawah naungan aplikasi milik dapur kolektif.
”Memang kelemahannya, dengan begini, kami tidak dapat brand exposure sebagus membuka toko offline sendiri. Misalnya, kalau membuka sendiri, gerai kami bisa ada di beberapa titik SPBU dan dapat brand awareness dari masyarakat. Kalau lewat cloud kitchen, investasi yang harus kami keluarkan untuk promosi brand pun jadi lebih besar,” ujar Hendy.
Kekurangan lainnya adalah menjaga kekhasan dan kerahasiaan resep masakan yang ditawarkan. Ini menjadi salah satu kekhawatiran utama pebisnis kuliner sebelum terjun ke jaringan dapur kolektif. Berhubung menunya akan dimasak oleh juru masak yang ditunjuk operator dapur kolektif, pelaku usaha harus merelakan resepnya diketahui pihak lain.
Terkait hal ini, Vishal mengatakan, akan ada perjanjian kontrak untuk tidak membocorkan rahasia resep. ”Kami menjelekkan nama brand kami sendiri kalau sampai membocorkan hak intelektual teman-teman pelaku usaha,” katanya.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki mengatakan, di tengah pandemi ini, UMKM yang biasanya menjadi penyelamat negara di kala krisis ikut menjadi salah satu sektor yang paling terpukul. Konsep rumah produksi bersama atau sharing factory seperti dapur kolektif di sektor kuliner dapat menjadi salah satu solusi untuk menjaga geliat UMKM.
”Kalau berjalan sendiri, orang per orang, akan sulit untuk bertahan dan meningkatkan standar produksi. Konsep seperti ini bisa membantu UMKM yang sudah punya produknya, tetapi tidak punya dapur dan biaya lebih untuk ekspansi,” katanya.