Cloud-Kitchen, Ghost-Kitchen yang Memudahkan
Saat pandemi, inovasi bermunculan dari segala bidang, termasuk industri jasa boga. ”Cloud kitchen”, ”dark-kitchen”, atau ”ghost kitchen” makin luas penggunaannya di tengah pembatasan gerak warga di tengah pandemi Covid.
Pandemi Covid-19 mendisrupsi ritme hidup warga dunia. Namun, pada saat yang sama, bermunculan inovasi baru, termasuk pada industri boga. Untuk menikmati menu restoran, tak perlu bersusah payah melangkahkan kaki ke sana.
Ebb & Flow Group, sebuah perusahaan jasa boga di Singapura, cukup beruntung ketika mereka meluncurkan produk pertama mereka Wrap Bstrd sebelum Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi global. Penganan yang pada dasarnya mirip kebab dengan topping yang pilihannya menyesuaikan preferensi konsumen, kini laris manis di kalangan anak-anak muda di Singapura.
Setelah diperkenalkan pada awal 2020, kini menu Wrap Bstrd telah berkembang menjadi sembilan menu utama dengan pilihan topping yang berbeda-beda, termasuk topping yang diilhami oleh produk mi instan asal Indonesia: spicy chicken Indomie.
CEO Ebb & Flow Lim Kian Chun mengatakan, Wrap Bstrd adalah produk makanan yang tercipta berkat analisis big data dan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan. ”Ini adalah merek makanan dan minuman pertama Singapura yang sepenuhnya didorong oleh wawasan yang diperoleh dari kecerdasan buatan,” katanya kepada Thomson Reuters Foundation.
Baca juga: Karena Covid-19, sampai Kapan Harus Hidup Begini?
Berkeja sama dengan perusahaan teknologi SQREEM, Ebb & Flow menganalisis sekitar 200.000 data konsumen di Singapura, terutama yang banyak menghabiskan waktu di sekitar pusat bisnis pada jam kerja. Hasilnya, menurut Chief Investment Officer Ebb & Flow Phillip K Helfried, konsumen menginginkan makanan yang memiliki cita rasa makanan ala hawker, pusat penganan kaki lima di Singapura, menjadi bagian dari menu mereka. Pada saat yang sama, konsumen juga menginginkan agar tampilan penyajian makanan mengikuti tren kekinian, yang simpel dan mudah dibawa.
Kini, berkat penggunaan teknologi, terdapat 10 industri boga yang tergabung di bawah Ebb & Flow. Tidak hanya makanan cepat saji, tetapi juga salah satu prosen kaviar tergabung di dalam payung Ebb & Flow.
Tanpa restoran
Virus SARS-CoV-2 yang mudah berpindah dari satu manusia ke manusia lainnya membuat orang mengurungkan niat ke luar rumah, mencari udara segar, atau sekadar kongko-kongko dengan sahabat atau keluarga. Interaksi sosial secara langsung berkurang untuk menghindari meroketnya jumlah warga yang positif terpapar Covid-19. Berbagai larangan untuk berkumpul yang dikeluarkan otoritas setempat ditaati, dampaknya secara ekonomi sangat terasa.
Larangan berkumpul bukan berarti para pemilik restoran tidak bergerak. Mereka tetap bisa bergerak, menjalankan rutinitasnya mengelola restoran dengan sejumlah pembatasan, termasuk melarang pengunjung untuk makan di lokasi (dine-in), untuk mencegah penularan karena penumpukan konsumen. Banyak manajemen restoran bersiasat menyediakan jasa layanan take-out atau delivery, menggunakan jasa pengantaran daring, yang sudah jamak dilakukan sebelumnya. Kini, pandemi memaksa manajemen restoran yang konservatif dan tradisional mengambil tindakan drastis untuk tetap hidup dan menghidupi para pekerjanya.
Pandemi juga memaksa orang untuk berinovasi, termasuk di dalamnya para pengusaha di bidang food and beverage. Memanfaatkan perkembangan teknologi, mulai dari sistem pengantaran (delivery system), big-data, hingga kecerdasan buatan dari perusahaan teknologi, kini para pengusaha jasa boga (food and beverage) berupaya menyelamatkan industri makanan dan restoran di tengah pandemi.
Kemajuan teknolgi yang akhirnya mengubah model bisnis juga dijalani oleh Ebb & Flow Group. Tidak sebatas menggunakan data dan kecerdasan buatan untuk menganalisis, Ebb & Flow Group mengembangkan industri boga mereka menggunakan model bisnis cloud-kitchen, atau dark-kitchen atau bahkan ghost-kitchen untuk menggambarkan model bisnir makanan tanpa restoran atau gerai di dunia nyata.
Baca juga: Pandemi Sadarkan Eksekutif Perusahaan Akan Makin Pentingnya Hidup Seimbang
Cloud kitchen, dark kitchen, atau bahkan ghost-kitchen bukanlah sebuah dapur yang gelap, berantakan, dapur yang dikerjakan oleh para hantu atau bahkan dapur yang berada di atas awan. Sederhananya adalah usaha jasa boga tanpa memperlihatkan keberadaan fisik orang-orang yang mengelolanya. Usaha jasa boga ini menawarkan produknya melalui jasa pengiriman yang terpusat melalui platform dan aplikasi khusus.
Bisnis model jasa boga ini sering kali dioperasikan dari sebuah gudang, bangunan semi-industri di pinggiran kota, atau bahkan kontainer yang disulap menjadi dapur semipermanen atau bahkan permanen. Di sanalah para chef atau koki meramu masakannya sebelum dikirimkan ke konsumen berdasarkan pesanan yang didapat melalui aplikasi tertentu.
Pada level yang paling sederhana, model bisnis ini mirip dengan bisnis model co-working space atau ruang kerja bersama, semacam dapur kolektif, seperti yang ditawarkan Karma Kitchen di Inggris atau Cloud-Kitchens di Amerika Serikat. Di dalam satu ruangan atau di lantai yang sama terdapat beberapa jenis usaha berbeda dengan pemilik yang berbeda. Yang memisahkan mereka hanyalah sekat atau pembatas ruangan untuk membedakan satu entitas dengan entitas lainnya.
Namun, kini berkembang model baru cloud-kitchen, yaitu satu dapur mengusahakan berbagai jenis masakan dari pengusaha jasa boga yang berbeda. Para pengusaha makanan memercayakan resep masakan dan mereknya dikelola oleh satu pengelola ghost-kitchen, mulai dari meracik makanan hingga proses pengantaran ke konsumen, menggunakan platform Zomato, Uber Eats, Deliveree atau aplikasi layanan jasa pengantaran lainnya.
Ali Potia, analis pada perusahaan jasa konsultan McKinsey, mengatakan, model bisnis cloud-kitchen mendapatkan momentum untuk berkembang pada masa pandemi ini. ”Sekarang model tersebut berada pada titik kritis untuk beralih ke konsumsi rumah,” kata Potia.
Dia mengatakan, kini pihaknya mulai melihat desain menu berdasarkan data dan harga serta yang dikustomisasi sesuai dengan keinginan pelanggan. Bagi mereka, ini adalah masa depan.
Nilai ekonomi tinggi
Pandemi telah mengubah cara dan gaya hidup warga dunia, terutama yang tinggal di kot-kota besar. Kota akan terlihat berbeda karena lebih banyak orang berkegiatan, mulai dari bekerja hingga belanja, dari rumah.
Baca juga: Ekspansi ”Cloud Kitchen” Era Pandemi Covid-19
Riset Allied Market Research di India memperkirakan bahwa industri cloud-kitchen global pada 2027 akan bernilai 71 miliar dollar Amerika Serikat, naik hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2019 lalu. Lembaga perbankan Swiss, UBS, pada laporannya tahun 2018 menyebutkan, jasa layanan pengantaran makanan, sebagai sebuah entitas bisnis sendiri, diperkiraka bernilai 10 persen dari pasar layanan makanan global tahun 2030 yang bernilai 350 miliar dollar. Kondisi didukung oleh model bisnis cloud-kitchen dan jasa pengantaran makanan yang terjangkau dan efisien serta tidak ketinggalakn orang-orang muda yang tidak memasak.
Di Asia, khususnya Asia Tenggara, aplikasi jasa pengantaran, seperti Uber, Grab, dan GoJek telah bermitra dengan sejumlah pengusaha jasa boga cloud-kitchen. Gojek telah bekerja sama dengan perusahaan dapur virtual India Rebel Foods untuk menciptakan 100 dapur cloud di Indonesia. Selain Grab dan Gojek, di Indonesia juga terdapat satu operator lagi yang mengoperasikan konsep cloud-kitchen, yaitu Yummy Corp.
Phuminant Tantiprasongchai, pendiri TiffinLabs yang berkantor di Singapura, menilai, pandemi telah mengubah wajah industri jasa boga. Pengiriman makanan, kata dia, menjadi kebutuhan dan bukan sebuah barang mewah lagi. ”Bahkan, untuk orang tua,” kata Phuminant.
TiffinLabs sendiri telah menciptakan sembilan merek, mulai dari pasta hingga kentang goreng, berdasarkan analisis big data dari calon konsumen. Namun, dikutip dari laman resminya, TiffinLabs menyatakan bahwa usaha mereka bukanlah usaha dengan model bisnis cloud-kitchen, bukan bagian dari jaringan restoran, dan bukan perusahaan jasa pengantaran. TiffinLabs mengklaim bahwa mereka adalah masa depan konsep makan di tempat (seperti konsep dine-in di restoran) dari ”dapur” yang ada di lingkungan terdekat dengan konsumen.
”Kami membuat konsep restoran, menguji dan membuat menu yang sesuai dengan preferensi konsumen. Bahkan, kami mengidentifikasi lokasi yang tepat untuk dapur kami,” kata Phuminant.
Nir-interaksi
Dampak pandemi sudah terasa. Asosiasi Nasional Restoran India memerkirakan 40 persen usaha restoran di negara ini tutup buku. Di Indonesia, berdasarkan data Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), di Jakarta saja, jumah restoran yang tutup mencapai angka 30 persen.
Pandemi memaksa industri jasa boga beradaptasi: menambahkan meja di trotoar atau tempat parkir untuk bisa bertahan. Atau, memanfaatkan teknologi, menjajakan penganannya ke platform penyedia jasa layanan pengiriman. Namun, tidak semuanya melihat layanan pengiriman sebagai obat mujarab.
Baca juga: Manusia Tak Berbakat Jaga Jarak Fisik
Pemilik usaha mengeluh tentang tingginya biaya yang dikenakan para agregator. Sementara pekerja restoran juga menentang rendahnya upah yang dibayarkan. Sebagian besar pekerja restoran adalah pekerja kontrak atau paruh waktu.
Selain masalah keekonomian, beberapa juga mengkhawatirkan rendahnya kohesi sosial dan rasa kebersamaan jika restoran dipaksa beralih ke model bisnis yang baru.
Anurag Katriar, Presiden Asosiasi Nasional Restoran India, menunjukkan hal-hal yang harus ”dibayar” oleh pengusaha jasa boga jika memanfaatkan teknologi dan mengubah model bisnisnya, mulai dari komisi yang terlalu tinggi, diskon besar-besaran oleh pemilik platform, pengolahan data yang tidak transparan, hingga kontrol pemanfaatan data konsumen.
Anurag tidak melihat layanan jasa pengiriman dan model bisnis yang baru akan menggantikan peran restoran.
“Makan di luar masih merupakan pengalaman istimewa, perayaan kecil dengan keluarga dan teman yang tidak bisa ditiru dengan memesan,” katanya.
Pandemi memang memberikan efek tak terduga pada industri makanan, khususnya makanan jalanan. Dua pusat makanan jalanan di Chinatown atau Kota Tua di Bangkok, Thailand, tidak akan cukup menampung rasa lapar para ”tukang jajan” lokal.
”Pergi ke Chinatown pada malam hari atau Kota Tua saat makan siang, dan mereka benar-benar penuh,” kata Chawadee Nualkhair, blooger makanan di Bangkok. Lokasi yang biasanya dipenuhi turis asing kini dipadati oleh warga lokal.
”Sementara tempat makan mewah di Bangkok tampaknya menahan napas saat ini, makanan jalanan tampaknya mengalami sesuatu yang terlahir kembali,” kata Chawadee.
Namun, bagi pengusaha makanan dengan modal kecil dan terbatas, menurut Potia, bisnis model cloud-kitchen dan sejenisnya bisa membantu mereka bersaing. ”Pasar akan beradaptasi sendiri,” kata Potia.
Dia juga mengatakan, tempat makan yang unik dan menawarkan sesuatu yang berbeda akan bertahan. ”Akan selalu ada ruang untuk makan di lingkungan sekitar,” kata Potia. (Reuters)