Bisnis Dapur Kolektif Terus Berkembang Karena Efisien (ficer utk JENDELA 25/6)
Dapur kolektif masih menjadi pilihan untuk memudahkan melayani pemesanan dan pengantaran makanan secara daring. Tren perkembangannya tidak terbatas di Jakarta.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
Di Jakarta saat ini beroperasi sejumlah 70 cabang dapur kolektif atau cloud kitchen dengan lebih dari 500 bilik dapur. Demikian temuan berdasarkan riset konsultan properti Savills pada Maret 2021. Pasar dapur kolektif ini diperkirakan terus mendapatkan momentum ketika pengiriman makanan semakin diminati akibat pembatasan sosial karena pandemi Covid-19. Fenomena ini juga bukan hanya terjadi di Jakarta.
Dalam laporan itu, Savills menjelaskan, dapur kolektif bukanlah konsep yang sama sekali baru di Indonesia. Sebelumnya, model cloud kitchen dikelola tunggal dan dioperasikan oleh satu merek makanan dan minuman yang hanya berfokus pada pesan antar ataupun pesan dan langsung dibawa pulang. Model ini diadopsi oleh rantai bisnis makanan cepat saji seperti PHD (Pizza Hut) di ruko.
Kini, alih-alih satu bangunan untuk merek tunggal, konsep cloud kitchen mengadopsi dapur gaya kerja bersama yang mengakomodasi beberapa merek dari pemilik yang sama atau berbeda yang beroperasi di tempat yang sama. Tujuan utamanya adalah meminimalkan biaya karena penyewa tidak perlu menghabiskan banyak uang untuk tata letak fisik dan staf.
Head of Research and Consultancy Savills Indonesia Anton Sitorus saat dikonfirmasi Rabu (16/6/2021), di Jakarta, mengatakan, properti yang bisa dimanfaatkan untuk dapur kolektif bisa berupa gedung tua, gudang, ataupun ruko yang sekarang, karena pandemi Covid-19, utilisasinya rendah. Bagi pemilik properti, konsep dapur kolektif menguntungkan. Setelah itu, operator dapur kolektif bisa membangun dapur ataupun beberapa bilik dapur untuk menampung pemilik merek makanan dan minuman yang ingin bergabung.
Sebelum adanya dapur kolektif, pengiriman pesanan makanan dari mal sulit dilakukan karena waktu yang dibutuhkan pengemudi untuk parkir, memasuki mal, memesan makanan, dan mengantarkan. Dapur kolektif menjadi pelengkap yang hanya menerima pesanan antar. Hal ini membantu mengurangi waktu pengiriman dari restoran ke konsumen.
Skema bisnis yang ditawarkan oleh operator dapur kolektif memiliki risiko relatif yang lebih kecil dibandingkan dengan ruang ritel konvensional karena perjanjian yang fleksibel dengan investasi awal yang lebih rendah. Pemilik merek makanan dan minuman yang bersedia membuka cabang dapurnya di dapur kolektif punya peluang berkembang lebih pesat lantaran akan mampu menangkap lebih banyak konsumen.
Konsep dapur kolektif yang ada sekarang cenderung menyasar segmen pasar yang berbeda dari mal konvensional. Operator dapur kolektif cenderung menargetkan pemilik merek makanan dan minuman yang baru didirikan serta berskala UMKM. Sebab, pemilik merek makanan dan minuman berskala besar biasanya masih menyukai punya lokasi gerai atau restoran sendiri sekaligus mereka menjual pengalaman suasana bersantap.
Operator dapur kolektif cenderung menargetkan pemilik merek makanan dan minuman yang baru didirikan serta berskala UMKM.
Dalam risetnya, Savills turut menyampaikan bahwa sudah mulai ada kecenderungan pemilik merek makanan dan minuman yang lebih mapan memanfaatkan kehadiran dapur kolektif sebagai dapur satelit alias gerai pelengkap. Tujuannya adalah menjaring konsumen yang tinggal di daerah lebih terpencil. Kalaupun mereka tetap mengandalkan gerai mereka di mal, itu akan membuat proses pengantaran makanan ke konsumen semakin lama.
"Mengenai jenis makanan, kami tetap melihat tidak semua bisa dimasak di dapur kolektif. Sampai sekarang trennya begitu," ujar Anton.
Dari sisi konsumen, keberadaan dapur kolektif menjawab permintaan mereka akan kebutuhan pesan daring makanan. Mengutip hasil riset E-Economy SEA 2020 yang diterbitkan oleh Google, Temasek, dan Bain & Company, peningkatan pesan-antar makanan secara daring selama pembatasan sosial pandemi Covid-19 tahun 2020 dibanding tahun 2019 sebesar 34 persen.
"Indonesia sekarang masih masa transisi digitalisasi dalam segala hal, termasuk berbisnis makanan dan minuman. Sementara kebiasaan konsumen telah berubah, yakni semakin mengandalkan layanan daring dengan tetap menuntut makanan berkualitas dan terjangkau. Konsep dapur kolektif, sejauh ini, masih cocok dan efisien," imbuh dia.
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun saat dihubungi terpisah, berpendapat, model bisnis berbagi keuntungan yang ditawarkan oleh operator dapur kolektif kepada pemilik merek makanan dan minuman semestinya transparan. Jika tidak, ada potensi pemilik merek makanan dan minuman yang kebanyakan UMKM bergabung di dapur kolektif malah rugi.
Model bisnis berbagi keuntungan yang ditawarkan oleh operator dapur kolektif kepada pemilik merek makanan dan minuman semestinya transparan.
Menurut dia, wacana revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik pun mengedapankan UMKM harus mendapat perlakuan yang setara, berkeadilan, dan sejahtera dalam berusaha. Semangat seperti ini seharusnya dijaga oleh perusahaan teknologi yang mengakomodasi UMKM, seperti perusahaan teknologi yang juga menjadi operator dapur kolektif.
Ekspansi
Pada hari yang sama, operator dapur kolektif LookalKitchen mengumumkan siap berekspansi ke Bandung, Surabaya, dan Medan sampai akhir tahun 2021. Sebelumnya, selama kurun waktu Januari 2021 sampai sekarang, Looka Kitchen beroperasi di Jakarta. Sebanyak 20 merek makanan dan minuman yang memang menjalankan bisnis secara daring, serta 50 dapur/restoran menjadi mitra Looka Kitchen. Beberapa contoh merek makanan dan minuman yang dimaksud yaitu Dapoer Bang Jali by Denny Cagur, Enakdibungkus, dan Mandu Mami.
Co-Founder dan Chief Financial Officer LookalKitchen Daniel Song, menyebut pembukaan dapur kolektif di luar Jakarta yang pertama kali adalah di Bandung. Ini dikarenakan Looka Kitchen telah memiliki dapur dan staf.
"Semua pekerja yang bekerja di dapur kolektif sudah terlatih. Sebagai perusahaan teknologi, kami juga menyediakan sistem manajemen pemesanan, menu digital, dan pencatatan keuangan. Jadi, mitra dapur/restoran ataupun pemilik merek makanan dan minuman bisa terus tumbuh," ujar dia.
LookalKitchen bekerja sama dengan sejumlah perusahaan teknologi yang melayani pengantaran makanan. Meski demikian, Looka Kitchen tidak mengkhawatirkan ada persaingan dengan perusahaan teknologi yang melayani pengantaran makanan yang juga jadi operator dapur kolektif.
Sebanyak 20 merek makanan dan minuman yang memang menjalankan bisnis secara daring, serta 50 dapur/restoran menjadi mitra Looka Kitchen.
"Kami bekerja sama langsung dengan dapur/restoran, sedangkan operator dapur kolektif yang lain mungkin menyediakan ruangan untuk dibangun dapur kolektif," kata Daniel.
LookalKitchen juga memiliki merek makanan in-house, seperti La Galbi, The Crepe Lab, dan Foli Kitchen. Rencana jangka panjang, Looka Kitchen ingin meluncurkan lebih banyak merek.
Mengenai mekanisme pembagian keuntungan, Looka Kitchen cenderung tertutup. Daniel hanya menyebut mekanismenya sangat kompleks tergantung pembagian kerja antara pemilik merek makanan dengan dapur/restoran sampai transaksi yang terjadi.
Sementara itu, per Januari 2021, GoJek mengklaim, dapur kolektifnya yang bernama "Dapur Bersama GoFood" sudah berada di 27 Lokasi di wilayah Jabodetabek, Bandung, dan Medan. Kapasitas totalnya mencapai 350 usaha kuliner. Adapun Grab, per Februari 2021, menyebut telah bekerja sama dengan Yummy Corp. Kerja sama keduanya memberikan dukungan bagi pelaku usaha kuliner untuk membuka restoran virtual di lebih dari 80 lokasi dapur yang dioperasikan oleh kedua perusahaan. Kerja sama ini juga bertujuan untuk mendukung pelaku usaha kuliner dalam menciptakan konsep makanan baru yang dapat ditawarkan di platform GrabFood.