Digitalisasi Bantu UMKM Menyikapi Tren Pola Konsumsi Daring

UMKM perlu menyesuaikan model bisnis untuk menggarap peluang bisnis di pasar digital. Hal ini dibutuhkan seiring dengan tren perubahan pola konsumsi dari luring ke daring.

KOMPAS/JUMARTO YULIANUS

Pengunjung memperhatikan produk-produk kerajinan dalam pergelaran UMKM Karya Kreatif Banua-Go Digital di Atrium Duta Mall, Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel), Sabtu (6/3/2021). Pergelaran yang berlangsung pada 6-7 Maret 2021 tersebut diadakan Bank Indonesia Kalsel untuk mendukung digitalisasi UMKM di masa adaptasi kebiasaan baru.

JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 mendorong perubahan pola konsumsi dari yang sebelumnya dilakukan secara luring menjadi daring. Penyesuaian model bisnis melalui digitalisasi dibutuhkan agar pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah dapat menangkap kecenderungan konsumen di pasar.

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM), jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pada 2018 sebanyak 64,19 juta unit. Dari jumlah itu, baru sekitar 8 juta UMKM yang terhubung pasar digital hingga awal 2020.

Kemudian, pada Mei-Oktober 2020, melalui Gerakan Bangga Buatan Indonesia, jumlah UMKM yang terhubung ke pasar digital bertambah menjadi 2,7 juta UMKM. Pada 2021, sekitar 12 juta UMKM telah hadir dalam platform digital.

Kepala Bidang Organisasi International Council for Small Business (ICSB) Samsul Hadi, Rabu (24/3/2021), menuturkan, dibutuhkan upaya bersama untuk menghubungkan pelaku UMKM ke pasar digital. Apalagi sebagian UMKM, terutama yang berusia di atas 40 tahun, menghadapi tantangan untuk beradaptasi memanfaatkan teknologi digital dalam kegiatan bisnisnya.

”Saya rasa perlu dibuat model bisnis saling menguntungkan antara UMKM yang memiliki produk tetapi tidak akrab dunia digital dan pihak yang dapat membantu pemasaran secara digital tetapi tidak punya produk,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta.

Saya rasa perlu dibuat model bisnis saling menguntungkan antara UMKM yang memiliki produk tetapi tidak akrab dunia digital dan pihak yang dapat membantu pemasaran secara digital, tetapi tidak punya produk.

Menurut Samsul, kehadiran pemerintah, termasuk pemerintah daerah, dapat diwujudkan dengan memfasilitasi bertumbuhnya model bisnis tersebut. Dukungan lain, misalnya, berupa pemberian subsidi ongkos kirim atau diskon agar produk UMKM yang baru masuk ke pasar digital menjadi kompetitif.

”Semua pihak harus menyadari bahwa pertarungan di pasar daring itu luar biasa ketat. Produk sejenis bisa sangat banyak. Konsumennya pun sensitif dengan harga,” katanya.

Sebelumnya, Asisten Deputi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Kewirusahaan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Chairul Saleh menuturkan, ada kenaikan 15-20 persen lalu lintas konsumsi barang dan jasa dari luring ke daring di masa pandemi Covid-19. Kondisi ini menunjukkan pentingnya digitalisasi bagi UMKM.

”Semua harus berubah, menyesuaikan diri, dan beradaptasi dengan kondisi sekarang. Apalagi pandemi telah mengubah perilaku masyarakat,” kata Chairul dalam seminar daring ”Wirausaha Bangkit di Tengah Pandemi Covid-19: KUR Supermikro bagi Wirausaha Transisi dan Korban PHK yang digelar Komite Pengusaha Mikro Kecil Menengah Indonesia Bersatu”, Selasa lalu.

Pergeseran pola konsumsi dari luring ke daring, lanjut Chairul, perlu dimanfaatkan UMKM, semisal dengan masuk ke ekosistem laman pemasaran atau marketplace. UMKM perlu melakukan pergeseran model bisnis agar dapat menjadikan tantangan di masa pandemi sebagai peluang.

Baca juga: Masyarakat Lebih Bijak Berbelanja

Kompas/Priyombodo

Desi (kiri) dibantu karyawannnya mengemas produk tas dan dompet yang dipasarkan secara daring melalui pasar digital (marketplace) di kios miliknya di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (30/11/2020). Desi mengakui promosi di pasar digital mampu meningkatkan penjualan daring. Dalam sehari, ia mampu menjual sekitar 400 produk tas dan dompet melalui pasar digital.

Perubahan perilaku di tengah pandemi ini juga dapat membuka peluang usaha. Contohnya, peluang usaha layanan pemesanan dan pengiriman serta penyediaan makanan beku ketika masyarakat tidak leluasa makan di tempat di restoran.

”Perubahan pola kerja dari sebelumnya di kantor menjadi di rumah juga membuka peluang usaha jasa aplikasi digital. Kebutuhan di sektor kesehatan pada masa pandemi juga menciptakan kesempatan berusaha untuk memproduksi masker, penyanitasi tangan, pelindung wajah, disinfektan, dan alat pelindung diri,” kata Chairul.

Baca juga: Pelaku Usaha Mikro Keluhkan Syarat Agunan

Sementara itu, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, melalui siaran pers, Selasa, menuturkan, implementasi transformasi ekonomi digital yang menyeluruh merupakan kunci persiapan UMKM agar berdaya saing. Di sisi lain, UMKM juga masih menghadapi kendala literasi digital yang secara rata-rata masih rendah.

”Aspek ini meliputi kemampuan UMKM untuk melek digital, seperti mengoperasikan perangkat dan aplikasi, yang tentu berimbas pada efektivitas mereka dalam memanfaatkan teknologi digital,” ujarnya.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Mitra pengemudi Gojek tiba di Dapur Bersama GoFood Bintaro, Jakarta Selatan, untuk mengambil pesanan makanan, Minggu (20/9/2020). Dapur Bersama tersebut dibuat untuk memfasilitasi UMKM kuliner agar lebih cepat berkembang. Sejak didirikan pada Oktober tahun lalu, Dapur Bersama kini telah beroperasi di 27 lokasi di Jabodetabek, Bandung, dan Medan dengan jumlah outlet mencapai sekitar 250 usaha kuliner.

Teten menambahkan, isu lain yang dihadapi UMKM menyangkut kapasitas usaha dan kualitas produk agar bisa bersaing dengan produk usaha besar di laman pemasaran. Kapasitas usaha tersebut berkaitan dengan kemampuan berproduksi dalam skala besar dan ekonomis.

Ketua Umum DPP Himpunan Pengusaha Mikro dan Kecil Indonesia (Hipmikindo) Syahnan Phalipi berpendapat, literasi digital bernilai penting untuk membawa pelaku UMKM berkiprah di ranah digital. Literasi digital ini dapat ditempuh melalui pelatihan bagi UMKM.

Kebutuhan pelaku usaha mikro dan kecil untuk mampu mengakses dan memanfaatkan teknologi digital kian terasa saat pandemi Covid-19. Apalagi ketika saat pandemi Covid-19 terjadi pembatasan aktivitas dan interaksi fisik yang berdampak pada usaha UMKM.

Baca juga: Warung ”Bon Dulu” Melintasi Zaman