Tema kebijakan fiskal tahun 2022 adalah pemantapan pemulihan sosial-ekonomi sebagai fondasi untuk pelaksanaan reformasi struktural yang lebih optimal.
Oleh
Dimas Waradiitya Nugraha
·3 menit baca
Tema kebijakan fiskal tahun 2022 adalah pemantapan pemulihan sosial-ekonomi sebagai fondasi untuk pelaksanaan reformasi struktural yang lebih optimal.
Setidaknya ada lima hal esensial yang akan dilakukan pemerintah terkait kebijakan fiskal 2022. Pertama, melanjutkan upaya pemulihan ekonomi dengan tetap memprioritaskan sektor kesehatan untuk mendorong efektivitas penanganan Covid-19.
Kedua, menjaga keberlanjutan program perlindungan sosial untuk memperkuat fondasi kesejahteraan sosial serta mencegah kenaikan kemiskinan dan kerentanan akibat dampak Covid-19. Ini termasuk memperkuat daya ungkit UMKM dan dunia usaha agar mampu bangkit kembali lebih kuat serta berdaya tahan.
Ketiga, mendukung peningkatan produktivitas dengan perbaikan kualitas sumber daya manusia. Caranya dengan memajukan kualitas pendidikan, penguatan sistem kesehatan yang terintegrasi dan andal, serta penguatan program perlindungan sosial sepanjang hayat.
Keempat, optimalisasi pendapatan, penguatan belanja lebih baik, serta inovasi pembiayaan menjadi kunci dalam rangka konsolidasi kebijakan fiskal yang adil dan berkelanjutan. Lalu, yang kelima, menjaga agar pelaksanaan kebijakan fiskal pada 2022 dapat berjalan optimal.
Mengacu pada konsep tersebut, pemerintah memproyeksikan defisit APBN 2022 berkisar 4,51 persen-4,85 persen dari produk domestik bruto (PDB). Adapun estimasi pendapatan negara tahun depan akan semakin meningkat ke kisaran 10,18 persen hingga 10,44 persen PDB.
Dengan persentase ini, maka nominal pendapatan akan berada dalam rentang Rp 1.823,5 triliun hingga Rp 1.895,4 triliun, meningkat dari target pendapatan negara dalam postur APBN 2021 sebesar Rp 1.743,6 triliun.
Reformasi
Demi mendukung arah kebijakan fiskal 2022, salah satu langkah yang akan dilakukan pemerintah adalah melakukan reformasi perpajakan sekaligus memperkenalkan jenis pungutan baru. Reformasi dilakukan untuk menciptakan sistem perpajakan yang sehat dan adil.
Melalui akselerasi pemulihan ekonomi, reformasi struktural, dan reformasi fiskal, pemerintah berharap kebijakan fiskal pada 2022 dapat berlangsung efektif, bijaksana, dan berkelanjutan.
Konsolidasi fiskal juga harus dimulai agar ruang fiskal tetap terjaga ketika defisit APBN sudah harus kembali dipersempit mulai 2023.
Undang-Undang (UU) Nomor 2 tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 mengamanatkan defisit APBN kembali di bawah 3 persen PDB pada 2023.
Ini sebenarnya bukan tugas yang mudah, terlebih bagi Indonesia yang masih harus mengeluarkan stimulus untuk memulihkan perekonomian nasional.
Namun, konsolidasi fiskal pemerintah melalui reformasi perpajakan dapat dipastikan akan sedikit menghambat pertumbuhan pada 2022.
Posisi pemerintah memang serba sulit karena sebelum pandemi Covid-19 pun, kondisi penerimaan negara melalui perpajakan juga tidak optimal.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu mengoptimalkan belanja negara. Anggaran stimulus untuk penanganan Covid-19 yang minim serapan harus segera dipindah alokasinya untuk program lain yang lebih membutuhkan dana.
Transisi
Pekerjaan rumah selanjutnya untuk kebijakan fiskal adalah transisi dari periode pandemi ke pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Untuk melalui transisi ini, reformasi perpajakan akan meliputi dua aspek perbaikan, yakni aspek administratif dan aspek kebijakan.
Reformasi administrasi meliputi penguatan institusi dan sumber daya manusia, integrasi sistem informasi dan basis data perpajakan, simplifikasi administrasi, penajaman fungsi pengawasan untuk ekstensifikasi-intensifikasi perpajakan, serta penegakan hukum yang berkeadilan.
Sementara reformasi kebijakan diarahkan untuk perluasan basis pemajakan dan mencari sumber baru penerimaan. Hal ini dilakukan, antara lain, dengan penyempurnaan pemungutan PPN dan mengurangi regresivitasnya, penguatan kebijakan pengenaan Pajak Penghasilan, khususnya bagi orang pribadi, serta potensi pengenalan jenis pungutan baru, khususnya terkait pemajakan eksternalitas terhadap lingkungan.
Saat ini, pemerintah memang masih akan sulit meningkatkan penerimaan dari sisi perpajakan karena aktivitas ekonomi baru mulai berputar kembali. Pada akhirnya, dalam jangka pendek bisa jadi pemerintah baru akan fokus dalam meningkatkan kualitas belanja.
Langkah yang bisa dilakukan adalah dengan penganggaran tak bersisa atau zero based budgeting. Caranya dengan melakukan efisiensi birokrasi dan fokus pada program prioritas.
Keberadaan Indonesia Investment Authority (INA) juga perlu dioptimalkan untuk mengurangi pembiayaan investasi pemerintah dari utang. Utang yang mengecil pada gilirannya akan mengurangi beban bunga utang yang harus dibayar pemerintah.