Pemerintah di negara-negara yang ekonomi masyarakatnya masih timpang perlu mempertimbangkan pengenaan pajak atas kekayaan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara. IMF menilai cara ini adalah amunisi fiskal yang ampuh.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dana Moneter Internasional atau IMF menilai, penarikan pajak atas kekayaan atau wealth tax sebagai amunisi fiskal yang ampuh. Pemerintah suatu negara dapat memanfaatkan pajak kekayaan untuk menambal kebutuhan anggaran belanja jangka pendek di tengah seretnya prospek penerimaan pajak akibat pandemi Covid-19.
Dalam laporan ”Fiscal Monitor 2021” yang diterbitkan IMF tercatat, pemajakan atas kekayaan bisa menjadi alternatif jika pemerintah kesulitan mengumpulkan penerimaan melalui Pajak Penghasilan (PPh).
Dalam laporan itu tertulis bahwa para pemangku kebijakan, terutama di negara-negara yang ekonomi masyarakatnya masih timpang, perlu mempertimbangkan pengenaan pajak atas kekayaan untuk memenuhi kebutuhan anggaran belanja negara guna menopang pemulihan ekonomi.
Seruan IMF itu sebenarnya sejalan dengan rencana Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang akan fokus menyasar masyarakat kaya dan superkaya atau wajib pajak strategis sebagai sumber pendapatan baru di tengah seretnya prospek penerimaan pajak pada tahun ini.
Pemangku kebijakan, terutama di negara yang ekonomi masyarakatnya masih timpang, perlu mempertimbangkan pengenaan pajak atas kekayaan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara untuk menopang pemulihan ekonomi.
Dalam keterangan resminya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor optimistis pemerintah bisa mendeteksi seluruh kekayaan dari wajib pajak kelas ini. Hal ini dikarenakan jumlah masyarakat yang tergolong wajib pajak strategis sangat terbatas.
Direktorat Jenderal Pajak juga akan memaksimalkan penggunaan data yang didapat dari pihak ketiga dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. ”Sumber informasi itu yang menjadi salah satu dasar bagi kami untuk menilai kepatuhan wajib pajak-wajib pajak terkait,” kata Neilmaldrin.
Pajak kekayaan sendiri bukanlah instrumen fiskal yang populer diterapkan di banyak negara. Dari seluruh negara anggota Organisasi Kerja Sama Pembangunan Ekonomi (OECD), hanya empat negara yang mengenakan pajak kekayaan kepada wajib pajak mereka, yakni Norwegia, Perancis, Spanyol, dan Swiss.
Berkaca pada praktik penarikan pajak kekayaan yang diadopsi oleh Pemerintah Norwegia, pemajakan terhadap 1 persen populasi orang kaya dapat mengurangi ketimpangan dan peningkatan kekayaan pendapatan 0,4 persen-0,6 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Praktik penarikan pajak kekayaan juga harus diimbangi dengan kebijakan dalam hal penilaian aset serta kemampuan otoritas terkait dalam memanfaatkan data pihak eksternal. Kesulitan dalam penilaian aset dan pengumpulan informasi juga akan menjadi penghambat implementasi penarikan pajak ini.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto mengatakan, pemerintah memang perlu melakukan penelusuran dari kondisi riil kekayaan wajib pajak kaya ataupun superkaya.
Perbedaan yang mencolok antara pajak kekayaan dan PPh, lanjutnya, adalah PPh hanya mengacu pada penghasilan yang diterima oleh wajib pajak dalam periode tertentu. Sementara pajak kekayaan mengacu pada jumlah kekayaan atau harta yang dimiliki wajib pajak tersebut.
”Penarikan pajak kekayaan layak dipertimbangkan di tengah kondisi pandemi. Sebab, selama stimulus di tengah pandemi ini tidak jarang malah membuat yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin sehingga ketimpangan malah meningkat,” ujarnya.