Pemerintah Siapkan Ratifikasi Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura
Perjanjian kerja sama strategis antara Indonesia dan Singapura akan segera diratifikasi. Ratifikasi direncanakan dalam bentuk undang-undang dan peraturan presiden.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mulai menindaklanjuti kesepakatan strategis antara Indonesia dan Singapura terkait dengan perjanjian ekstradisi, pengelolaan wilayah udara, dan pertahanan. Rapat koordinasi tingkat menteri digelar untuk mempersiapkan ratifikasi kesepakatan tersebut. Namun, Komisi I DPR meminta pemerintah untuk lebih dulu menjelaskan isi semua kesepakatan sebelum meratifikasinya karena substansi perjanjian dinilai merugikan dari sisi pertahanan.
Rapat koordinasi (rakor) tingkat menteri untuk menindaklanjuti tiga kesepakatan strategis antara Indonesia dan Singapura terungkap melalui keterangan tertulis Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara yang menyatakan bahwa Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Fadjar Prasetyo menghadiri agenda tersebut pada Selasa (15/2/2022). Agenda yang digelar secara virtual itu dihadiri oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Selain itu, juga dihadiri Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Menteri Perhubungan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Panglima TNI, Wakil Menteri Luar Negeri, dan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan.
Pertemuan tingkat menteri dilakukan untuk membahas ratifikasi kesepakatan strategis antara Indonesia dan Singapura.
“Rapat membahas tindak lanjut dari penandatanganan dokumen kerja sama antara Indonesia-Singapura tentang Realignment Flight Information Region (FIR), ekstradisi, dan pertahanan,“ tulis Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara (Dispenau).
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly dihubungi dari Jakarta, Rabu (16/2/2022), membenarkan penyelenggaraan rakor tersebut. Pertemuan tingkat menteri dilakukan untuk membahas ratifikasi kesepakatan strategis antara Indonesia dan Singapura. “Rakor untuk mempercepat proses ratifikasi,“ ucapnya.
Tiga kesepakatan strategis itu, kata Yasonna, akan diratifikasi ke dalam dua bentuk, yakni undang-undang (UU) dan peraturan presiden (perpres). Menurut rencana, perjanjian ekstradisi dan pertahanan akan dijadikan UU. Sementara pengelolaan wilayah udara (FIR) diratifikasi menjadi perpres. Namun, ia tidak menjelaskan pertimbangan pemilihan kedua bentuk regulasi itu.
Yasonna menambahkan, tidak tertutup kemungkinan proses ratifikasi akan dilakukan secara bersamaan. Akan tetapi, ia belum bisa menyampaikan target penyerahan draf RUU dan Raperpres ke DPR karena pihaknya masih memproses itu semua. “Kalau boleh bersamaan, kita lihat saja,“ ujarnya.
Sebelumnya, Yasonna dan perwakilan dari Singapura menandatangani dokumen kerja sama strategis yang meliputi perjanjian ekstradisi, pengelolaan wilayah udara, dan pertahanan di Bintan, Kepulauan Riau, 25 Januari lalu. Penandatanganan disaksikan oleh Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong. Meskipun tiga kesepakatan ditandatangani secara bersamaan, setiap perjanjian memiliki alur negosiasi dan proses ratifikasi yang berbeda-beda.
Sejak saat itu, pemerintah berkomitmen untuk mendorong percepatan proses ratifikasi agar ada dasar bagi penegak hukum untuk mengejar buron perkara pidana yang melarikan diri atau transit di Singapura. Sebab, selama ini pengejaran buron tak bisa dilakukan karena tidak ada perjanjian bilateral dengan Singapura.
Adapun perjanjian ekstradisi yang disepakati mencakup 31 tindak pidana, di antaranya pencucian uang, pendanaan terorisme, dan korupsi. Perjanjian bersifat dinamis karena menggunakan prinsip open ended untuk menentukan jenis tindak pidana yang dapat diekstradisi agar dapat mengantisipasi kejahatan lainnya pada masa mendatang. Selain itu, dilakukan pula perpanjangan ketentuan retroaktif dari 15 tahun menjadi 18 tahun, artinya ekstradisi masih bisa dimohonkan untuk para buron pada masa lampau.
Dalam kesepakatan pertahanan terdapat klausul yang memperbolehkan Angkatan Bersenjata Singapura menggelar latihan di wilayah Indonesia. (Syarief Hasan)
Merugikan
Dihubungi secara terpisah, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan, mengatakan, ratifikasi kerja sama strategis itu harus dibuat masing-masing. Tidak bisa digabungkan.
Akan tetapi, sebelum ratifikasi, substansinya harus ditinjau kembali. Tidak bisa dimungkiri, perjanjian ekstradisi untuk mengejar buron di luar negeri memang dibutuhkan. Namun, perjanjian itu ditandatangani bersama dengan kesepakatan tentang pertahanan dan FIR yang substansinya dinilai mengancam kedaulatan negara. Ia menyinyalir, ekstradisi disepakati untuk ditukar dengan dua perjanjian lainnya yang merugikan Indonesia.
Ia mencontohkan, dalam kesepakatan pertahanan terdapat klausul yang memperbolehkan Angkatan Bersenjata Singapura menggelar latihan di wilayah Indonesia. Tidak hanya latihan secara internal, tetapi juga bisa latihan bersama dengan negara lain. Sementara itu, Indonesia tidak bisa memasuki area latihan tersebut.
Dalam hal penerbangan, ujarnya, Indonesia juga berpotensi dirugikan karena ada pembatasan penerbangan bagi pesawat Indonesia di wilayah dalam negeri. “Kenapa kedaulatan kita diserahkan kepada negara lain. Kan, tidak perlu diserahkan begitu saja,“ kata Syarief.
Ia menambahkan, isi perjanjian yang sama pernah ditandatangani Pemerintah Indonesia dan Singapura pada 2007. Akan tetapi, pemerintah akhirnya tidak mengirimkan surat presiden ke DPR untuk pembahasan perjanjian ekstradisi karena tidak setuju dengan perjanjian pertahanan yang diminta Pemerintah Singapura.
Penjelasan detail
Syarief menilai, pihaknya membutuhkan penjelasan detail dari pemerintah mengenai pertimbangan penandatanganan dan rencana proses ratifikasi tiga kesepakatan strategis tersebut. Pasalnya, selama ini pemerintah dinilai bersikap tertutup. “Pemerintah tidak terbuka. Kami belum menerima penjelasan apa pun,“ katanya.
Komisi I sempat meminta penjelasan dalam rapat kerja dengan Menteri Pertahanan pada 27 Januari lalu. Penjelasan yang sama dimintakan dari Menteri Luar Negeri dalam rapat kerja pada awal Februari. Namun, jawaban para menteri dinilai tidak bisa menjawab keingintahuan anggota Parlemen. “Mereka hanya mengatakan statement sepihak, yakni menguntungkan Indonesia,“ kata Syarief.
Komisi I juga sempat mengusulkan pertemuan lintas fraksi dengan menteri-menteri yang tergabung dalam tim negosiasi. Akan tetapi, agenda tersebut terkatung-katung karena kasus Covid-19 yang merebak di lingkungan DPR.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dave Laksono, sepakat, meski pihaknya telah menanyakan pertimbangan pemerintah menandatangani kesepakatan strategis tersebut kepada dua menteri, belum ada penjelasan komprehensif yang didapatkan. Alih-alih segera meratifikasi dokumen kerja sama itu, sebaiknya dilakukan terlebih dulu pertemuan antara DPR dan semua menteri yang tergabung dalam tim negosiasi. “Jadi, sebaiknya semua menteri bisa membahas ini dengan detail,“ katanya.
Terkait dengan rencana pemerintah mempersiapkan ratifikasi, kabar itu belum sampai ke Komisi I.
Terkait dengan rencana pemerintah mempersiapkan ratifikasi, kata Dave, kabar itu belum sampai ke Komisi I. Oleh karena masa sidang yang hampir habis, kemungkinan jika ada pengajuan akan diproses pada masa sidang berikutnya.
Dihubungi terpisah, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, kesepakatan strategis Indonesia-Singapura sebaiknya tidak buru-buru diratifikasi. Pemerintah harus mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya kesesuaian substansi FIR dengan kehendak Presiden dan publik.
Isi perjanjian pertahanan juga perlu diperhatikan apakah tidak melanggar kedaulatan sebagaimana pernah dipermasalahkan pada 2007. “Jangan sampai mau meninggalkan legacy, tetapi malah menjadi omongan sepanjang masa,“ ucapnya.