Perbaikan Skor Indeks Demokrasi Belum Menyentuh Aspek Fundamental
Merujuk pada dua variabel yang masih lemah di Indeks Demokrasi 2021, yakni budaya politik dan kebebasan sipil, upaya perbaikan harus difokuskan ke sana.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, NINA SUSILO, RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perbaikan mendasar terhadap elemen-elemen demokrasi harus dilakukan pemerintah untuk memastikan Indonesia menjadi negara demokrasi sepenuhnya. Perbaikan demokrasi Indonesia sebagaimana terpotret dari hasil Indeks Demokrasi 2021 yang diluncurkanThe Economist Intelligence Unit masih rentan berubah dan belum membawa Indonesia keluar dari kategori negara ”demokrasi cacat”.
Indeks Demokrasi EIU 2021 menunjukkan skor rata-rata Indonesia 6,71. Angka itu lebih tinggi daripada skor tahun sebelumnya, 6,30. Dari skala 0-10, semakin tinggi skor, semakin baik kondisi demokrasi suatu negara. Dengan capaian angka itu, peringkat Indonesia dari 167 negara yang dikaji juga ikut naik, yakni dari yang sebelumnya ada di posisi 64, kini menjadi posisi 52.
Namun, Indonesia masih masuk kategori flawed democracy (demokrasi cacat). Merujuk pada tabel indeks EIU, untuk masuk kategori full democracy, skor rata-rata indeks minimal harus menyentuh angka 8. Sejumlah negara, seperti Perancis, misalnya, dengan skor rata-rata 7,99 juga masuk kategori flawed democracy.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, kenaikan skor indeks demokrasi itu sesuatu yang baik. Hanya saja, dengan angka 6,71 belum cukup untuk membuat Indonesia keluar dari ”demokrasi cacat”. Hal itu pun telah tecerminkan dari dua variabel yang diukur, yakni budaya politik (political culture) dan kebebasan sipil (civil liberties), yang cenderung belum memuaskan dari tahun ke tahun.
Pada Indeks Demokrasi EIU 2021, skor budaya politik Indonesia hanya 4,38; kebebasan sipil 6,18; keberfungsian pemerintah (functioning of government) 7,86; dan proses elektoral dan pluralisme (electoral process and pluralism) 7,92. Jika dibandingkan dengan indeks 2020, skor Indonesia naik pada tiga aspek, yakni keberfungsian pemerintah, yakni dari 7,50 menjadi 7,86; kebebasan sipil naik dari 5,59 menjadi 6,18; serta partisipasi politik dari skor 6,11 menjadi 7,22.
Namun, masih ada dua aspek yang stagnan dibandingkan dengan tahun lalu. Proses elektoral dan pluralisme tak bergerak di skor 7,92. Adapun indikator budaya politik juga masih berada di angka 4,38. Di kawasan Asia Tenggara, kualitas demokrasi Indonesia masih lebih rendah dari Malaysia (7,24) dan Timor Leste (7,06).
”Indeks demokrasi kita ini sangat rentan untuk berubah ketika ada dinamika yang terjadi di Tanah Air. Ini menandakan ada fundamen yang lemah dalam demokrasi kita. Peristiwa Wadas beberapa waktu lalu, misalnya, bisa saja akan membuat angka indeks itu di tahun depan berkontraksi. Oleh karena itu, masih ada celah atau kecacatan yang harus diperbaiki,” kata Isnur, Selasa (15/2/2022) di Jakarta.
Merujuk pada dua variabel yang masih lemah, yakni budaya politik dan kebebasan sipil, Isnur mengatakan, upaya perbaikan harus difokuskan ke sana. Dalam budaya politik, misalnya, perlu ada reformasi partai politik (parpol) sebab hulu dari berbagai upaya pembenahan persoalan politik di Indonesia, termasuk juga korupsi dan kelembagaan negara, ada pada pengelolaan parpol.
”Apakah parpol telah mencerminkan ruang demokrasi yang benar, apakah sumber daya manusia yang direkrut untuk pemerintahan sesuai ketentuan, dan bagaimana pengawasan parlemen itu berjalan. Semuanya terkait erat dengan budaya politik,” katanya.
Di sisi lain, kebebasan sipil perlu mendapatkan perhatian lebih, antara lain dengan mencegah sikap represif aparat negara menyikapi perbedaan pendapat di masyarakat, pemberian jaminan hak kebebasan berekspresi kepada masyarakat, dan pelibatan elemen masyarakat sipil dalam pembuatan kebijakan.
”Penegak hukum jangan menjadi alat kriminalisasi dan alat pukul menghadapi rakyat yang memperjuangkan hak konstitusionalnya. Sikap represif dan kekerasan dalam menghadapi masyarakat harus dihentikan,” kata Isnur.
Belum deliberatif
Direktur eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, indeks demokrasi EIU menunjukkan pula aspek demokrasi prosedural Indonesia baik, tetapi variabel yang terkait dengan jaminan kebebasan sipil dan prinsip-prinsip negara hukum masih lemah. ”Memang ada perbaikan dalam jaminan HAM dan kebebasan sipil, tetapi itu tidak dominan. Yang dominan adalah politik elektoral yang meliputi pemilu atau partisipasi masyarakat dalam politik elektoral,” katanya.
Dengan kata lain, demokrasi Indonesia masih demokrasi prosedural, belum demokrasi deliberatif. Sumbatan aspirasi masyarakat masih terjadi. Kritik publik melalui proses yudikasi, seperti uji materi (judicial review) Mahkamah Konstitusi ataupun penolakan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah di berbagai peristiwa, cenderung dianggap tidak serius oleh negara dan beberapa di antaranya direspons represif oleh pihak keamanan.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, di aspek proses atau prosedural elektoral juga sebenarnya masih ditemui sejumlah persoalan. Salah satunya ialah dalam memastikan pemilu yang demokratis dan jujur. Misalnya, berkaitan dengan daftar pemilih, persoalan yang muncul adalah ada pemilih yang tidak terdaftar, pemilih ganda, atau tidak ada pembaruan data pemilih.
Adapun terkait dengan budaya politik, indikator ini lebih kepada pendidikan politik. Publik harus diyakinkan bahwa demokrasi merupakan satu-satunya sistem yang paling teruji dan terpercaya. Karena itu, tingkat dukungan terhadap demokrasi akan memengaruhi indeks itu.
Lebih dari itu, keyakinan publik terhadap supremasi sipil di ruang-ruang publik juga perlu dijaga. Karena itu, Arya meyakini, jika pemerintah, para elite politik atau partai politik, justru mendorong penjabat kepala daerah di 2022 dan 2023 berasal dari TNI/Polri, itu akan memengaruhi indeks demokrasi ke depan.
Bergantung kepemimpinan
Untuk menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi sepenuhnya, menurut peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, diperlukan kepemimpinan yang memiliki kepedulian terhadap demokratisasi. Sebab, Indonesia saat ini praktis tidak mengalami hambatan dalam menjadikan dirinya sebagai negara demokratis sepenuhnya.
”Kalau komitmen kepemimpinan kuat, harusnya kita bisa lepas dari flawed democracy. Dari 6,30 menjadi 6,71 itu suatu prestasi tersendiri, meskipun sebenarnya masih jauh dari potensi yang mungkin kita wujudkan,” katanya.
Kepemimpinan yang dimaksud, menurut Firman, haruslah memperlakukan masyarakat sepenuhnya beserta hak-haknya yang dijamin oleh negara demokratis. Elemen masyarakat sipil harus pula diperlakukan sebagai mitra sejajar yang sifatnya kritis dan konstruktif.
”Pemerintah tidak perlu tegang dalam menyikapi kritik dan bersifat merangkul terhadap elemen masyarakat sipil,” ujarnya.
Menanggapi indeks demokrasi EIU, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, pemerintah mengapresiasi penilaian positif yang diberikan. ”Peningkatan skor antara lain terkait putusan MK dalam judicial review UU Cipta Kerja dan tindakan politik Presiden untuk merangkul semua kekuatan politik. Ini artinya pemerintah sangat menjaga independensi peradilan dan mengedepankan konsensus untuk kemajuan bangsa,” kata Moeldoko, Senin sore.
Kendati demikian, lanjutnya, pemerintah tidak berpuas diri dengan penilaian tersebut. Pemerintah tetap pada komitmen untuk terus menjaga dan merawat demokrasi di Indonesia supaya terus berkembang dengan baik. Perbaikan-perbaikan di berbagai aspek juga dilakukan. Untuk bisa mencapai semua itu, katanya, pemerintah bersama elemen-elemen strategis demokrasi, serta masyarakat perlu bahu-membahu mengupayakannya.