Memaknai Volatilitas Demokrasi Indonesia…
Gambaran skor indeks demokrasi Indonesia secara longitudinal menunjukkan karakter volatilitas yang tinggi. Sejumlah peristiwa yang terjadi di dalam negeri mudah memengaruhi perubahan skor rata-rata itu.
Skor rata-rata indeks demokrasi Indonesia 2021 yang dicatat oleh The Economist Intelligence Unit meningkat 0,41 dibandingkan dengan 2020. Hal ini merupakan kabar baik di tengah situasi tidak mudah yang dihadapi Indonesia di tengah pandemi. Namun, kabar ini belum sepenuhnya memuaskan karena indeks itu sekali lagi menegaskan kerentanan demokrasi Indonesia yang volatil dan mudah terombang-ambing pada dinamika internal.
Dari lima indikator yang diukur The Economist Intelligence Unit(EIU) untuk menentukan indeks demokrasi, skor Indonesia naik pada tiga aspek, yakni keberfungsian pemerintah dari 7,50 menjadi 7,86, kebebasan sipil dari 5,59 menjadi 6,18, dan partisipasi politik dari 6,11 menjadi 7,22.
Selain itu, masih ada dua aspek yang stagnan dibandingkan dengan tahun lalu. Proses elektoral dan pluralisme tak bergerak di skor 7,92. Adapun indikator budaya politik juga masih berada di angka 4,38. Dengan capaian ini, di kawasan Asia Tenggara, kualitas demokrasi Indonesia masih lebih rendah dari Malaysia (7,24) dan Timor Leste (7,06).
Jika dilihat dari rekam jejak indeks demokrasi Indonesia yang dicatat oleh EIU sejak 2006, capaian pada 2021 bukanlah yang tertinggi. Indonesia pernah meraih skor indeks 7,03 pada 2015 atau masa-masa awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Pada 2016, skor indeks itu menurun menjadi 6,97, atau hampir sama dengan skor pada 2014 (6,95). Selanjutnya, skor indeks itu stagnan pada 2017 dan 2018, yakni 6,39.
Pada 2019, skor sempat naik 0,09 sehingga menjadi 6,48. Namun, tren kenaikan tipis ini tidak berlanjut karena skor indeks Indonesia kembali melorot menjadi 6,30 (2020). Baru pada 2021, skor itu memberikan harapan dengan kenaikan 0,41, menjadi 6,71.
Kendati demikian, angka 6,71 di era Jokowi ini bukan yang tertinggi setelah capaian 2015. Sebab, pada 2013, Indonesia pernah meraih 6,82, dan 6,76 di 2012. Sebelumnya, skor Indonesia 6,53 (2011), 6,53 (2010), 6,34 (2009), dan 6,31 (2006). Era 2006-2013 adalah masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono.
Secara umum, gambaran indeks ini menunjukkan karakter volatilitas yang tinggi. Sejumlah peristiwa yang terjadi di dalam negeri mudah memengaruhi perubahan skor rata-rata itu. Seperti juga disebutkan dalam catatan indeks EIU 2021, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan tindakan politik Presiden untuk merangkul semua kekuatan politik memberikan dampak pada kenaikan signifikan variabel indeks yang diukur.
Melihat fenomena ini, Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, indeks demokrasi Indonesia itu menunjukkan kerentanan demokrasi Indonesia. Alasannya, perubahan yang terjadi itu cenderung didominasi oleh aspek-aspek prosedural, bukan fundamental atau substansial. Aspek-aspek mengenai prosedural elektoral dan proses-proses politik lebih cenderung baik dan menyumbang kontribusi positif pada skor indeks.
Baca juga : Skor Indeks Demokrasi Indonesia Membaik, tetapi Tantangan Masih Besar
Hal ini menjelaskan pula mengapa skor pada variabel kultur politik dan kebebasan sipil cenderung belum memuaskan, sementara skor pada aspek yang lebih formal, yaitu proses elektoral dan pluralisme, keberfungsian pemerintah, dan partisipasi politik, sudah membaik. Namun, aspek-aspek subtansial terkait dengan kebebasan sipil, hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, dan pendidikan politik, sebagaimana tercakup dalam variabel kultur politik dan kebebasan sipil, cenderung masih lemah.
Skor 6,71 itu boleh jadi terlalu tinggi dari situasi sebenarnya yang terjadi di lapangan. Karena dengan praktik demokrasi prosedural, banyak aspirasi dan kebebasan sipil tidak dapat diwujudkan dengan baik.
”Ini pula yang menyebabkan kita masih dalam situasi flawed democracy (demokrasi cacat) karena hari ini yang kita rasakan adalah demokrasi prosedural, bukan demokrasi deliberatif. Banyak aspirasi masyarakat yang sebenarnya tersumbat, bahkan kalau tidak tersumbat ya dibungkam,” katanya, Selasa (15/2/2022), di Jakarta.
Jika dilihat dalam kaca mikroskopis, menurut Ismail, skor 6,71 itu boleh jadi terlalu tinggi dari situasi sebenarnya yang terjadi di lapangan. Karena dengan praktik demokrasi prosedural, banyak aspirasi dan kebebasan sipil tidak dapat diwujudkan dengan baik. Peretasan dan ancaman kepada publik, salah satunya dengan maraknya pendengung (buzzer) di media sosial (medsos), harus pula dilihat sebagai ancaman demokrasi deliberatif.
”Belum lagi kalau kita melihat lebih dalam terhadap perlindungan minoritas, peradilan yang berimbang (fair trial), serta pengamanan kebijakan negara yang overdosis,” kata Ismail.
Tidak terpenuhi
Jika dilihat lebih luas terkait dengan naik turunnya indeks demokrasi di era Jokowi, delapan tahun ini, anggota Dewan Penasihat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Herlambang P Wiratraman, mengatakan, ada faktor harapan yang tidak terpenuhi di benak publik. Hal ini terlihat juga dari tren penurunan yang terjadi sejak 2015.
Pada 2015, indeks demokrasi Indonesia mencapai skor tertinggi, yakni 7,03. Hasil itu bisa dimaknai sebagai penanda adanya harapan yang tinggi dari publik terhadap Jokowi. Ia dianggap sebagai orang yang berasal dari luar sistem politik.
Baca juga : Perbaikan Skor Indeks Demokrasi Belum Menyentuh Aspek Fundamental
”Pada saat itu, harapan besar ada di pundak Jokowi. Mekanisme-mekanisme yang selama ini tersekat dalam kuasa oligarki seolah tiba-tiba tidak menjadi arena yang begitu kuat. Dia juga menjadi simbol bagi sosok yang berada di luar sistem,” katanya.
Akan tetapi, perlahan-lahan, harapan itu membentur realitas. Indeks demokrasi yang naik turun, stagnan, dan belum pernah mencapai skor 7 lagi sejak 2015, menurut Herlambang, menunjukkan ruang demokrasi dan kebebasan sipil di era Jokowi tidak seperti yang diharapkan pada saat ia pertama kali menjabat setelah Pemilu 2014.
”Kecenderungannya bahkan turun dan menunjukkan impunitas yang menguat dari tahun ke tahun,” katanya.
Perlahan-lahan, harapan itu membentur realitas. Indeks demokrasi yang naik turun, stagnan, dan belum pernah mencapai skor 7 lagi sejak 2015, menurut Herlambang, menunjukkan ruang demokrasi dan kebebasan sipil di era Jokowi tidak seperti yang diharapkan pada saat ia pertama kali menjabat setelah Pemilu 2014.
Pada saat yang sama, menurut Herlambang, oligarki berhasil melakukan konsolidasi kembali. Struktur negara disesaki oleh politik yang dilekati dengan kekuatan oligarki. Konsolidasi itu menghasilkan model kekuasaan yang cenderung otokratis, Kekuasaan itu dimanifestasikan dalam pembentukan legislasi yang memberi keuntungan kepada kekuatan oligarki.
”Misalnya, UU Cipta Kerja dan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” katanya.
Lakukan pembenahan
Dengan situasi yang ada, menurut Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes, ada beberapa hal yang bisa dibenahi oleh pemerintah.
Aspek proses elektoral yang rendah, misalnya, harus dibenahi dengan memastikan pemilu demokratis dan jujur. Hal itu dapat dilakukan, misalnya, dengan memvalidasi daftar pemilih, netralitas birokrasi, independesi penyelenggara, dan upaya mengatasi politik uang.
”Nah, hal-hal tersebut menurut saya sangat memengaruhi indeks demokrasi kita ini karena, kan, basisnya survei publik. Jadi, itu ikut memengaruhi persepsi orang pada demokrasi dan pemilu yang seharusnya berjalan fair,” kata Arya.
Terkait budaya politik, Arya melihat indikator ini lebih pada pendidikan politik. Publik harus diyakinkan bahwa demokrasi merupakan satu-satunya sistem yang paling teruji dan tepercaya. Karena itu, tingkat dukungan terhadap demokrasi akan memengaruhi indeks itu.
Untuk itu, penting pula dilihat seberapa besar demokrasi mampu membawa keuntungan terhadap pertumbuhan ekonomi. Artinya, jika sistem yang demokratis dapat meningkatkan kesejahteraan publik dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dukungan terhadap demokrasi juga akan meningkat.
Lebih dari itu, keyakinan publik terhadap supremasi sipil di ruang-ruang publik juga perlu dijaga. Karena itu, ia meyakini, jika pemerintah, para elite politik, atau partai politik justru mendorong penjabat kepala daerah berasal dari TNI/Polri, itu akan memengaruhi indeks demokrasi ke depan.
”Kalau pemerintah enggak aware soal itu, dan misal meng-endorse kebijakan itu dan dikritik publik dan masyarakat sipil, dugaan saya, pasti skor demokrasi kita tahun depan akan jeblok. Karena salah satu indikator mengukurnya soal supremasi sipil itu,” ucap Arya.
Membenahi aspek elektoral proses, menurut dia, bisa dimulai dari proses pemilihan anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu. Sebab, para calon anggota penyelenggara pemilu itu akan memastikan bahwa proses pelaksanaan pemilu dan pilkada berlangsung secara baik, demokratis, dan adil.
”Bagaimanapun, tentu harus dipilih orang, pintu masuk pertama, tentu harus dipilih orang-orang yang memang berkompeten, berpengalaman, dan berintegritas. Tiga isu itu menjadi penting,” tutur Arya.
Kedua, perlu semacam prosedur standar operasi (SOP) yang ketat soal pengawasan pemilu, khususnya politik uang. Sebab, persoalan ini seakan sudah mengakar di setiap penyelenggaraan pemilu. SOP juga perlu dipikirkan dalam menangani ujaran kebencian yang muncul dalam proses elektoral. Apalagi, kompetisinya nanti di Pemilu 2024 tentu akan semakin ketat, begitu pula soal netralitas birokrasi.
Berkaitan dengan budaya politik, itu bisa dilakukan dengan pendidikan politik. Pemerintah daerah harus mampu memastikan bahwa kebijakan yang diambil demokratis, misal berkaitan dengan kebijakan-kebijakan ekonomi. Para kepala daerah harus mampu memastikan terjadinya peningkatan kesejahteraan publik, lalu juga mengurangi ketimpangan sehingga publik menyadari adanya pilkada, pileg, dan proses demokrasi dan semakin percaya sistem demokratis itu dapat meningkatkan kesejahteraan.