"Aku Ngenteni Tekamu..."
Kresna terkesima menyaksikan keberanian aktivis itu. Orang-orang bergumam mendengar ucapannya yang menolak ajakan Presiden, namun ingin memuliakannya pula.
Jodoh tidak buta. Tak pernah membuat majal kelembutan hati Ratih Sukowati. Malah memperkaya jiwanya.
Rama-Sinta, Ande-Ande Lumut, dan rupa-rupa cerita pembujuk tidur, yang diwariskan ibunya, menemukan kekuatan pada sebuah legenda Batak, yang diceritakan Gumontam Hutajulu, suaminya.
Acapkali, sepulang dari berbagai rapat dan aksi gerakan tani, suaminya itu, melepaskan lelah dengan menceritakan berbagai legenda kepada Ratih. Dari sekian banyak, Si Marsaitan menukik benar di hati sang istri. Dari legenda itu, Ratih menangkap dan terpesona akan pesan kesetiaan yang wajib dijaga sampai pun berkalang tanah. Juga cermin keberanian tiada bandingnya dari seorang perempuan. Walau ada darah yang tumpah.
Alkisah, Si Boru Sangkar Sodalahi berpura-pura jatuh cinta, malahan kawin dengan musuh yang telah memenggal kepala suaminya dalam sebuah pertarungan antar-kelompok yang berat sebelah. Untuk melecehkan lawan sehina-hinanya, kepala suaminya ditanam si pemenang di dasar paling bawah dari tangga batu yang diinjak untuk mendaki ke rumahnya.
Di rumah suami barunya itu Si Boru Sangkar Sodalahi menenun ulos lebih rajin. Siang malam. Tenunannya pun lebih bagus. Dengan kata-kata yang menghanyutkan, dimohonnyalah suami barunya itu membuatkan pewarna yang lebih bermutu. Terbuat dari ramuan alam. Sehingga sang suami sibuk sampai matahari tenggelam di balik gunung, sebagai tanda kasihnya pada pasangan yang baru, cantik, istri lawan yang dia tundukkan dengan pedang.
Apabila malam melingkup pucuk gunung, manja dia merebahkan kepalanya di pangkuan istrinya itu. Hanyut dalam elusan tangan dan gelombang bujuk-rayu si Boru Sangkar Sodalahi.
Pada suatu malam, dalam belaian kata yang menenteramkan, yang dibisikkan Si Boru Sangkar Sodalahi, saking lelahnya bekerja seharian, lelaki itu langsung mendengkur.
Si Boru Sangkar Sodalahi membelai jakun suaminya. Bukan hasrat surgawi yang menggelora, melainkan dendam yang dia peram untuk menebus kematian suaminya yang sejati: Tuan Sipallat. Terkesiap darahnya menyaksikan jakun yang turun-naik di batang leher yang rebah menyerah. Dengan siaga, dia menoleh ke sekeliling. Hanya pelita yang mengawasinya. Diam-diam disisipkannya tangan ke bawah tikar. Dari situ dihunusnya pedang pencabut nyawa suaminya. Bersit cahaya pelita terpantul di mata senjata yang telah menghabisi Tuan Sipallat. Geram dia menatap leher yang berserah diri di pangkuan. Secepat kilat ditebaskannya senjata itu. Kepala lelaki itu menggelinding. Darah bersimbah di peraduan, di mana cinta palsu baru saja berlalu.
Cepat dia tegak. Mengambil ulos ragi hidup dari peti pusaka. Bergegas dia menuruni tangga. Sambil menangis tertahan, dia gali tengkorak suami junjungan jiwanya dari dasar tangga. Sigap, namun takzim, dibungkusnya tengkorak itu dengan ulos purba tadi. Dia naik lagi ke rumah. Diraihnya tikar bernoda darah. Dengan jijik dibalutnya kepala musuh suaminya itu. Dan dia bergegas ke pusat marga Tuan Sipallat.
Sesampainya di huta, Si Boru Sangkar Sodalahi mengetuk gerbang yang membenteng. Kepada penjaga dia bilang ingin menyerahkan sesuatu. Kedua penjaga, yang mengenal wajah dan dosanya, kontan menghardik. Mengusirnya.
“Kami tak perlu apa-apa dari kamu. Tunggu kami pada waktunya datang ke tempatmu, mengambil apa yang kami perlukan,” sergah mereka. “Kepalamu dan kepala suamimu itu..!”
“Percayalah, saya takkan beranjak sebelum diizinkan masuk.”
Wali adat dibangunkan. Disusul perundingan yang dihadiri pemangku kaum. Si Boru Sangkar Sodalahi diperkenankan masuk.
“Malam ini saya membawa kembali leluhurmu. Kembali pulang ke rumah ini. Melunasi utang batin yang tertimpa di atas kepalamu semua!” ucap Si Boru Sangkar Sodalahi geram seraya melepaskan gendongan. Bersimpuh, dia menggelar tengkorak Tuan Sipallat di lantai.
“Inilah junjungan kita, yang telah kutebus kehormatannya.” Dadanya tegak. “Kamu jadi saksi sekarang, apakah saya pengkhianat ataukah seorang istri yang setia sampai mati.”
Rapat terdiam bagai paku. Yang hadir menangis, meraung, memandangi tengkorak pemimpin mereka yang tergeletak dalam kebesaran ulos.
Selang beberapa lama, dilaksanakanlah upacara adat. Nama perempuaan yang gagah laksana kuda semberani menerjang gunung itu dipulihkan. Harkatnya di dalam marga dikembalikan. Anak yang dikandungnya dianggap sebagai darah daging mereka sendiri. Buah bisikan leluhur. Ketika lahir, jabang bayi itu diberi nama Si Marsaitan, untuk memuliakan keberanian bak saitan yang dimiliki Ibunya dalam membela kehormatan marga. Kaumnya. Juga daratan yang diinjak.
Pada hari, bulan, serta tahun pengejaran terhadap “orang-orang merah”, penumpasan terhadap para pembagi tanah kepada yang tidak punya, jasad Gumontam Hutajulu ditemukan mengapung di Brantas yang merah anyir. Tersangkut di bangkai akar pepohonan. Didorongkan ke arus dengan batang kayu, bambu, oleh para pemuja kekerasan yang bersorak di tepi bengawan. Gumontam mengapung bersama puluhan, kalau bukan ratusan, kawan-kawan senasib seperjuangannya.
Ratih menyembunyikan sembilu yang mengiris-iris hidupnya. Hatinya tertindih seberat gunung. Dia menitipkan putra tunggalnya kepada Ibunya. Dan memilih satu-satunya jalan yang tersisa dalam menuntaskan sisa hidup, dengan menyerahkan diri sebagai simpanan seorang letnan yang ikut memimpin pembinasaan Gumontam dan kawan-kawan. Betapa pun menyesakkan hidup, namun bakatnya sebagai sinden tidak ikut hanyut.
Dulu, orang-orang sekabupaten mengenalnya sebagai penyanyi utama panem bromo (paduan suara), yang menggelorakan aksi-aksi kaum tani melawan tuan tanah pembangkang landreform. Memasuki peraduan, saban malam, dengan hati yang tersayat-sayat, Ratih berdendang di dekat suami baru yang datang ke dalam hidupnya dengan todongan senjata:
Yen ing tawang ana lintang, cah ayu/ Aku ngenteni tekamu...
Hatinya tidak ikut mengalun membujuk lelaki yang rebah di sampingnya. Melainkan melayang menjemput Gumontam dan anak lanang mereka. Terkadang suaranya yang membuai membuat mata suami yang tidak diinginkannya itu terkatup sebelum gairah kelaki-lakiannya meradang. Saat itu Ratih bisa saja beringsut. Perlahan tak berderak. Membuka lemari. Menjangkau pistol untuk menyudahi kesengsaraan batin. Memuntahkan peluru ke jidat letnan busuk yang datang ke dalam hidupnya, yang dia sambut dengan rasa jijik yang disembunyikan.
Tapi tidak. Manakala si letnan mendengkur, lelah setelah seharian mengejar daging dan darah orang-orang yang tanpa bukti dituduh berkomplot membunuh para jenderal nun jauh di Jakarta. Dengan awas, sinden kita melangkah menghampiri pintu. Menguakkannya. Dan kabur menyongsong gelap malam. Jadi buronan, tertangkap, diperkosa.
Pada suatu malam, dengan ujung kedua jempol yang diikat di belakang, tertatih-tatih Ratih dibentak naik ke atas truk bersama belasan tahanan lelaki, perempuan. Dipaksa jongkok. Di bawah todongan muncung bedil dari empat pengawal, mereka dibawa berpuluh kilometer entah ke mana. Dalam gelap, di suatu tempat, muatan truk itu digiring turun satu-satu. Dikawal menerabas hutan karet. Tak lama kemudian terdengar rentetan peluru. Juga gedebam tubuh yang tumbang. Disusul desir tanah yang diayunkan untuk menimbuni Ratih dan kawan-kawan yang tidak dia kenal, yang dipertemukan nasib.
Bertahun-tahun kemudian, Kresna, sang putra tunggal, ketika sudah berusia setengah baya, menemukan Ibunya dalam deretan nama mereka yang ditembak, dibenamkan, ditimbuni, di sehamparan tanah perkebunan karet.
Kuburan massal itu terbongkar berkat pengakuan supir yang mengemudikan truk maut tempo hari. Sang kopral, ringkih, di usia 90-an, tak punya anak, apalagi cucu, dengan kesatria ingin mewariskan sesuatu kepada bangsa yang akan ditinggalkannya. Kepada para peneliti yang datang menemuinya, pensiunan kopral itu mengajak tamunya ke tepi satu jalan. Sambil berdiri, dia meminta maaf tak sampai hati menghampiri gundukan tanah yang ditumbuhi ilalang. “Saya sampai di sini saja,” katanya lemah. Gemetar jarinya menunjuk ke arah hutan karet.
Kresna menyalin nama-nama korban di kuburan massal itu ke layar telepon selulernya. Daftar itu dia temukan pada status Facebook sebuah yayasan di Jakarta, yang bergerak mencari kuburan massal, mulai dari Jawa, ke Sumatera, sampai Nusa Tenggara Timur.
Tak terhitung berapa kali dia yakinkan mata dan hatinya bahwa Ratih Sinden, sebagaimana yang tertera di layar telepon pintarnya itu, adalah Ibu kandungnya. Sejumlah orang tua yang dia tanya juga membenarkan. Hilir-mudik dia ke berbagai kota dan desa. Memastikan bahwa nama itu sungguh perempuan yang melahirkan dan menitipkannya kepada neneknya, ketika ibu kandungnya itu dikuasai seorang letnan.
Dari telepon seluler, dia juga tahu ada aksi yang berlangsung setiap Kamis di seberang Istana Merdeka, mendesak Presiden mengakui adanya ratusan kuburan massal di seantero negeri. Aksi yang sudah berlangsung lebih 600 kali.
Dalam pencarian Ibu, yang hanya tinggal sebuah nama, Kresna berangkat ke Jakarta.
Dengan nama Ibunya yang terus berdegub di dalam hatinya, Kresna berdiri di belakang puluhan aktivis Kamisan di pojok Monumen Nasional. Sudut taman itu gelap oleh kaos hitam para pengunjuk rasa. Sekitar 200 meter dari tangga Istana Merdeka. Terdengar lagu-lagu penyemangat. Juga puisi yang garang maupun yang sendu. Poster-poster berkibar seperti hendak dilayangkan, tidak hanya ke bubungan Istana, juga ke langit ketujuh. Menuntut berbagai pembinasaan manusia sejak 1965 diselesaikan dengan mengakuinya, untuk menyembuhkan luka peradaban. Hati dan bibirnya bergetar ketika Kresna membaca, dan mengeja nama Ibunya baik-baik pada sebuah poster.
“Kawan-kawan,” seorang bertubuh agak kecil, rambut lurus dikocar-kacirkan angin, meminta perhatian.
“Tadi pagi ada telepon dari Istana. Presiden meminta kita datang menemuinya di Istana Bogor siang ini. Tapi kita tolak. Kita ingin dia menemui kita di sini. Di sini..., kawan-kawan. Hanya selangkah dari tangga Istana untuk berjabat tangan dengan kita. Dan itu akan lebih melambungkan namanya di mata dunia, kepada siapa dia pernah berjanji untuk menuntaskan masalah pembinasaan yang keji di negeri ini.”
Kresna terkesima menyaksikan keberanian aktivis itu. Orang-orang bergumam mendengar ucapannya yang menolak ajakan Presiden, namun ingin memuliakannya pula. Menenangkan diri, menghela napas, Kresna memberanikan diri mendekati pegiat yang telah merebut hatinya.
“Bapak, bantulah... Saya datang dari jauh untuk ikut dalam acara ini. Mencari Ibu saya.”
“Saudara dari mana?”
“Pati... Pati, Pak...”
Tangkas dia merogoh handphone. “Pak, lihat ini, Ratih Sinden. Dia Ibu saya. Itu nama julukannya. Dia pesinden. Nama aslinya Ratih Sukowati. Bapak saya dulu tukang bagi-bagi tanah kepada petani tak bertanah.” Dia membiarkan layar handphone menganga, disimak si pemberani.
“Ibu saya itu kabur, Pak. Bapak saya dibunuh. Ibu saya direbut tentara. Saya dititipkan pada nenek saya.”
“Apa yang dapat saya lakukan?”
“Saya tidak mimpi mau ikut ditemui Presiden. Saya cuma ingin kalau Bapak nanti melakukan pencarian, penggalian kuburan massal di Pati, ajaklah saya. Tolong, Bapak. Saya hanya ingin Ibu saya. Walau itu sekadar tulang-belulang.”
Kresna menyodorkan nomor kontaknya. Dalam riuh-rendahnya kendaraan yang melintas, angin sore menyisir rambut si aktivis. Orang Pati yang membekasi hati itu membiarkan telepon genggam tetap terkepal di tangannya. Layarnya tetap menyala. Dengan nama seorang pesinden yang mati dibunuh terpampang di situ.
Martin Aleida terutama menggubah cerita pendek dan laporan jurnalistik. Memoarnya, Romantisme Tahun Kekerasan, terbit awal Maret 2020.
Davawi, kelahiran 9 Februari 1995. Peserta Terbaik I dalam Workshop Penyutradaraan Tingkat Dasar dan Peserta Terbaik II pada Workshop Penyutradaraan Tingkat Menengah oleh Pusbang Film, Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Ri (2017). Karya Video Art-nya turut hadir dalam Pameran Apresiasi Perupa Muda Indonesia 2019 diselenggarakan oleh Kemdikbud RI (Agustus 2019).