Susu untuk Tuan Dexter
Dexter adalah anak tunggal keluarga Battenberg, sepasang bangsawan yang sangat dihormati di Cadiff. Mereka menempati sebuah kastil tua di atas bukit. Terdapat dua belas kamar tidur.
Setelah hujan salju agak reda, Emily bergegas ke sebuah toko tepat di depan apartemennya. Toko roti yang sudah menjadi penyedia sarapan paginya sejak tiga tahun lalu.
”Selamat pagi. Roti keju?” sapa penjual roti seraya tersenyum.
”Pagi. Benar. Tolong dua roti, ya, Jane,” balas Emily sembari melirik sebuah piring di atas etalase.
”Silakan ambil. Itu tester untuk varian baru kami,” kata penjual bersemangat.
”Terima kasih. Sampai besok.”
Emily meletakkan selembar uang kertas di atas etalase lalu bergegas pergi.
Hari ini adalah kuliah terakhir sebelum libur Natal. Ia tidak akan bolos. Profesor Cadoc adalah satu-satunya dosen favoritnya. Ia berbeda dari para dosen lainnya yang menurutnya angkuh dan otoriter.
”Hai. Aku sudah menunggu sejak tadi. Aku kira kau batal datang,” kata Dexter.
Seakan tidak mendengar sapaan tuan rumah, tanpa dipersilakan, Emily bergegas melangkah masuk dengan pandangan takjub. Dexter adalah anak tunggal keluarga Battenberg, sepasang bangsawan yang sangat dihormati di Cadiff. Mereka menempati sebuah kastil tua di atas bukit. Terdapat dua belas kamar tidur. Sebuah ruang makan cukup untuk tidak kurang dari lima puluh tamu undangan. Sebuah ruang tamu megah dengan lampu kristal menggantung di tengah, dan sofa beludru merah gelap melingkar di tengah ruangan.
”Ah… besar sekali. Seperti istana,” ujar Emily, masih dengan pandangan takjub.
Tidak jelas, apakah kalimat itu untuk Dexter ataukah dirinya sendiri. Seumur hidupnya, ia tidak pernah tinggal di tempat yang memiliki lebih dari dua kamar tidur. Orangtuanya adalah sepasang petani desa yang sangat sederhana. Berkat ketekunannya, Emily memperoleh beasiswa untuk kuliah di Belfast.
”Oh, kau juga bisa bermain piano selain melukis, ya?” tanya Emily
”Sedikit. Kami biasa bermain saat senggang,” jawab Dexter seraya meraih koper dari tangan Emily.
”Kami? Siapa?” tanya Emily. Tangan kirinya sibuk mengelus gramofon di sebelah piano.
”Ya. Kami,” jawab Dexter seadanya, enggan menjelaskan lebih lanjut.
”Ayo, kita makan. Spaghetti dengan ekstra keju. Kebiasaan menghangatkan makanan dengan oven mikrogelombang harus kita hentikan. Bisa kanker,” kata Dexter.
Mereka berdua kemudian bergegas beranjak dari ruang tamu menuju ruang makan. Mata Emily lama tertuju pada sebuah lukisan mungil di dinding koridor.
Malam telah berlalu. Mendengar langkah kaki, Dexter berdiri, menarik kursi makan di sebelahnya lalu mempersilakan Emily duduk.
”Selamat pagi. Bagaimana tidurmu?” tanya Dexter.
”Sedikit pusing. Hanya tidur tiga jam. Mungkin karena belum terbiasa dengan tempat baru,” jawab Emily.
”Mari sarapan. Roti gandum bakar. Dan telur rebus. Jus jeruk, kopi atau teh?” tanya Dexter.
”Punya susu?” Emily balik bertanya.
”Tentu saja. Ada banyak di lemari es. Tapi aku benci susu. Susu selalu sangat tidak bersahabat dengan pencernaanku,” jawab Dexter.
”Teh manis saja kalau begitu,” kata Emily.
”Boleh aku bertanya?” lanjutnya.
”Silakan saja,” jawab Dexter.
”Siapa wanita di lukisan itu? Sangat cantik,” tanya Emily.
”Oh… istriku. Mantan,” jawab Dexter datar sambil menuangkan teh untuk Emily.
”Maaf,” kata Emily dengan perasaan bersalah.
”Tidak apa-apa. Dia wanita hebat. Tidak semua orang yang kita temui akan bersama kita untuk selamanya. Beberapa hanya singgah sejenak, lalu pergi. Semua sudah digariskan,” jawab Dexter sambil menghela napas panjang.
Selepas sarapan Dexter pamit untuk pergi melukis di sebuah taman tidak jauh dari kastilnya. Khawatir Emily jatuh sakit karena kurang istirahat, ia melarang Emily ikut. Membutuhkan sedikitnya 45 menit berkendara untuk ke dokter atau rumah sakit terdekat. Menurut Dexter, tentunya akan sangat merepotkan.
Sudah sekitar dua tahun ini Emily mengenal Dexter, yang delapan tahun lebih tua darinya. Ia adalah sepupu Jane, pemilik toko roti langganan Emily. Dalam setahun sedikitnya dua atau tiga kali Dexter ke kota dan tinggal bersama keluarga Jane. Jane selalu memperkenalkan Dexter sebagai kakak sepupu pendiam, tetapi pandai melukis.
Pertemuan mereka yang terakhir adalah satu minggu lalu saat Emily hendak membeli roti keju. Untuk kesekian kalinya, Dexter mengundang Emily bertandang di kastilnya.
Ada dua alasan mengapa Emily memenuhi undangan kali ini. Pertama, dengan melihat karya-karya lukis Dexter, ia berharap mendapatkan inspirasi untuk tugas akhirnya sebagai mahasiswi tingkat akhir Jurusan Seni Lukis. Kedua, biaya sewa apartemen semakin tahun semakin mahal. Tinggal di tempat Dexter selama libur akhir semester membebaskannya dari biaya sewa apartemen selama dua belas minggu. Emily berencana menabung demi membeli tiket kereta dan baju baru untuk kedua orang tuanya. Tahun depan ia akan diwisuda.
Pukul sebelas siang. Emily ingin menyusul Dexter, tapi tidak tahu arah. Ia kemudian memutuskan untuk berjalan di sekitar kastil. Baru sepuluh langkah dari pintu kastil, seorang wanita paruh baya menyapanya.
”Selamat siang, Nona,” sapanya, yang tidak lain adalah juru masak kastil.
”Selamat siang, Bu,” jawab Emily
”Anda cantik sekali, Nona. Sangat mirip dengan nona Helena.”
Emily tersenyum, mengangguk, lalu pamit. Dengan berhati-hati dia berjalan agar tidak tergelincir di tanah yang bersalju. Dengan hati-hati pula dia memastikan untuk mengingat nama itu: ”Helena”.
”Baiklah, seperti tokoh dalam karya Shakepeare A midsummer Night’s Dream,” gumam Emily.
Musim dingin membuat hari bergerak lebih cepat. Masih pukul empat sore. Tapi di luar sudah mulai gelap. Dan Dexter belum juga kembali.
”Terkadang ia pulang saat sudah benar-benar gelap. Atau bahkan setelah matahari terbit kembali. ”Silakan makan. Tidak usah ditunggu,” kata juru masak yang tiba-tiba muncul sambil meletakkan sepiring karbonara krim keju dan sepiring salad di meja makan.
Pukul tujuh pagi. Hari ketiga Emily tinggal di kastil. Udara pagi semakin dingin. Masih saja dia hanya tidur tidak lebih dari tiga jam pada malam hari. Terdengar ketukan. Dan Emily bergegas membuka pintu. Seorang anak laki-laki berwajah bulat dengan pipi memerah berdiri tepat di depan pintu kastil.
”Selamat pagi. Susu untuk tuan Dexter,” ujarnya sambil menyodorkan dua buah botol besar.
”Oh. Susu?” tanya Emily.
”Iya, susu. Maaf, Anda? Apakah tuan Dexter baik-baik saja?” tanya anak pengirim susu dengan wajah heran.
”Emily Beckett. Panggil saya Emily. Dia baik-baik saja. Tapi masih tidur.”
”Syukurlah.” Dan anak pengantar susu itu pun tersenyum senang.
”Sudah lama bekerja seperti ini? Apakah kau tidak kedinginan pagi-pagi berjalan kaki membagikan botol-botol susu?”
”Sudah setahun ini saya kemari untuk mengirim susu kesukaan tuan Dexter.”
”Kesukaan tuan Dexter katamu?” Dahi Emily berkernyit. Ia ingat Dexter alergi susu.
”Benar. Saya selalu kemari setiap Selasa dan Jumat. Tidak pernah gagal sekalipun!” tandasnya. Senyum bahagia kembali hadir. Kali ini melebur dalam aura bangga bagaikan seorang pahlawan.
Sudah lebih dari dua minggu Emily tinggal di kastil. Masih tidak banyak yang dia ketahui, kecuali dua hal. Helena, seperti dugaannya, adalah mantan istri Dexter. Sosok wanita anggun dengan selera berbusana berkelas. Lalu, Dexter adalah pria terdingin dan acuh tak acuh yang pernah dia kenal. Jika saja karena alasan ini Helena meninggalkan Dexter, bukan karena umur yang dihentikan oleh Sang Pencipta, Emily dapat memaklumi. Sebenarnya, mengapa mereka berpisah adalah satu-satunya pertanyaan yang tidak berani ia utarakan.
”Pakailah ini. Pasti muat,” ujar Dexter seraya menyerahkan mantel berwarna pastel dari bulu domba.
”Pergilah ke ruang bawah tanah. Masih banyak pakaian dingin lainnya. Ambil saja sesukamu,” lanjutnya.
Sejak saat itu, Emily terobsesi oleh bayang-bayang Helena. Wanita itu tidak pernah lepas seinci pun dari setiap tindakan dan pikiran Emily. Setiap kali Dexter keluar rumah, ia bergegas menuju ruang berdinding batu bata merah sepuluh kali lebih luas dari kamar apartemennya. Emily betah berada di sana berjam-jam. Ia lupa akan misi mendapatkan inspirasi untuk tugas akhirnya. Ruang bawah tanah jauh lebih memesona.
Museum Helena, begitulah ia menamainya. Terdapat empat peti berisikan busana wanita dalam empat musim. Sederet piala. Satu cermin bening setinggi manusia dengan bingkai kayu berukir berdiri di salah satu sudut ruangan.
Di depan cermin yang terawat baik inilah Emily kerap mencoba satu per satu koleksi pakaian Helena sambil berjalan beberapa langkah maju mundur di depan cermin. Kadang ia berputar-putar di depan cermin sambil tertawa kecil. Kadang pula, berbalut baju milik Helena, ia duduk di lantai kayu berjam-jam melihat satu persatu koleksi foto Helena.
Sekarang dia tahu bahwa Helena Winsor lulusan terbaik Cambridge—universitas favorit para keluarga bangsawan Inggris. Dia juga seorang pianis andal dengan berbagai penghargaan dalam perlombaan piano klasik. Dan, ”Moonlight Sonata” karya Beethoven adalah komposisi musik kesukaannya. Satu lagi: susu, roti gandum bakar dan telur rebus adalah sarapan wajibnya sedari kecil. Tentu saja, sekarang merupakan sarapan wajib Emily selama di kastil.
”Jika saja diinginkan, aku mampu menulis sebuah buku. Biografi Helena: seorang gadis mungil ceria yang tumbuh menjadi seorang wanita cantik, anggun dan cerdas. Wanita idaman. Sempurna!” Guman Emily di kunjungan rutinnya di ruang bawah tanah.
Minggu kedelapan. Pukul setengah dua belas malam. Emily masih sigap terjaga. Seperti biasa, ia sibuk bercengkerama dengan kera-kera liar dalam alam pikirannya.
”Bagaimana mungkin mereka berpisah. Helena sangat sempurna.”
”Jangan-jangan dia jatuh cinta pada pria lain. Dexter tidak sepadan dengannya!”
”Bisa jadi!”
”Tapi dia tidak akan sejelek itu. Wanita berpendidikan. Tentu tahu mana yang baik, mana yang buruk.”
Para kera terdiam sejenak. Hening. Damai.
Lalu kegaduhan kembali hadir. Mereka kembali bersahutan.
”Pasti Dexter yang bermasalah. Dia sangat dingin.”
”Egois pula. Semua hanya berporos pada dirinya dan kepentingannya.”
”Benar sekali. Lumrah jika Helena tidak nyaman di sampingnya.”
”Dan pria yang dingin dan egois biasanya kasar dan suka memukul. Pasti dia pernah memukulnya. Atau bahkan sering.”
Waktu berlalu cepat. Sudah tiga bulan Emily tinggal di kastil. Hari ini Jumat, hari terakhirnya di kastil. Tiba-tiba terdengar ketukan. Emily bergegas membukakan pintu.
”Selamat Pagi,” sapa gadis mungil dengan pipi bulat memerah karena udara dingin.
”Selamat pagi,” balas Emily.
Sadar bahwa sepasang mata orang yang belum pernah dilihatnya tengah memandang dengan kebingungan, gadis kecil melanjutkan:
”Kakak saya sedang tidak enak badan. Saya menggantikannya.”
”Ya. Terima kasih.”
Dua botol susu telah berpindah tangan.
”Tapi… benarkah ini rumah tuan Dexter?”
”Iya, benar. Dia masih tidur,” jawab Emily.
”Oh baiklah. Maaf, boleh saya tahu nama Nona?” tanya gadis kecil lirih.
Tanpa sadar Emily menjawab:
”Nama saya Helena Winsor. Panggil saya Helena.”
Angin dingin menusuk tulang. Awan kumulonimbus membungkus langit. Badai salju akan segera datang.
Shierly Novalita Yappy, dosen Universitas Kristen Petra dan Universitas Ciputra, Surabaya. Tertarik mendalami psikologi sastra, dan cerpen pertamanya ini ditulis berbasis psikologi transformasi.
Hartono Wibowo, S.Sn Lahir di Wonogiri, Jawa Tengah. Lulusan ISI Yogyakarta, salah satu karyanya di koleksi museum Kepresidenan Balai Kirti Istana Bogor. Aktif mengajar dan menekuni restorasi lukisan sampai sekarang.