Istriku Anggota Mafia
”Apri la porta per favore (Tolong buka pintu, tolong).” Suara mengiba setengah merintih terdengar di depan pintu apartemenku.
”Apri la porta per favore (Tolong buka pintu, tolong).” Suara mengiba setengah merintih terdengar di depan pintu apartemenku. Istriku menggelengkan kepala sambil mengintip melalui peephole, lubang kaca bulat kecil pintu apartemen kami.
Tiba-tiba, tanpa bicara apa-apa, istriku membuka pintu apartemen kami dan menarik masuk seorang pria lanjut usia serta langsung menutup pintu apartemen. Belum habis kebingunganku, terdengar suara orang berlarian di tangga apartemen kami sambil berteriak-teriak, ”Non impicciarti, stai lontano (Kalau ingin selamat, jangan ikut campur.” Aku yang tadinya ingin mengintip lewat peephole ditarik istriku sambil memelototkan mata.
Tiba-tiba terdengar gedoran keras pintu apartemen di depan kami. Tak lama gedoran lebih keras menghantam pintu apartemen kami. Aku menyandarkan diri ke dinding sambil menahan napas. Tidak ada suara. Kami hanya mendengar suara orang berlarian ke lantai atas. Gedoran pintu di lantai atas terdengar membahana. ”Carabinieri, Carabinieri,” terdengar teriakan dari bawah. Tak lama kemudian kami mendengar suara berlarian dari lantai atas, dan suara dentaman pintu masuk apartemen yang ditutup dari luar.
Terdengar suara percakapan ramai, saling berbantah, dan gedoran pintu tetangga depan kami. Istriku menuntun pria yang kelihatan semakin pucat ke sayap belakang apartemen kami. Tak lama ia muncul membawakan teh yang langsung kuseruput, menenangkan debaran jantungku yang memang tidak pernah teratur, sejak dipasang ring lima tahun lalu.
Ketukan pintu apartemen kami menghentikan tegukan tehku. Istriku membuka pintu dan keluar. Terdengar pembicaraan patah-patah dalam bahasa Italia. Tidak banyak yang bisa kutangkap dari pembicaraan itu, sampai ucapan perpisahan, ”Grazie, buona notte.”
Setelah menutup pintu, istriku menghilang. Tak lama ia muncul menuntun seorang ibu memakai jilbab mengenakan coat istriku, menenteng plastik sampah. Tanpa berkata, ibu tersebut keluar, menghilang dalam kesunyian malam.
Malam itu kami praktis tidak bicara sepatah pun. Sampai aku berangkat ke kantor, istriku tidak menunjukkan wajah ingin berbicara. Aku hanya mencium pipinya dan menutup pintu apartemen kami. Tidak ada kejadian apa-apa. Hanya beberapa staf kantor kami terdengar membicarakan penggerebekan persembunyian gembong mafia di via Venetto, daerah elite kota Roma.
Seperti biasa aku pulang menyusuri kegelapan musim dingin dengan menyandang ransel melewati tembok tua kota Roma. Tidak banyak orang yang lewat. Hanya seorang pejalan kaki melangkah lurus ke arahku. Dengan refleks aku mengeluarkan tangan yang biasa kumasukkan ke saku celana.
Ketika berpapasan, tangannya bergerak cepat, menarik ranselku. Karena hampir terjungkal, aku menundukkan badan sambil menahan ranselku. Akibatnya ia tersungkur di aspal. Tanpa berkata, ia bangkit dan terus berjalan. Aku hanya terdiam, sambil mengatur napas. Beberapa orang lewat seolah tidak terjadi apa-apa. Pencopetan dan perampasan tas, kejahatan biasa di Roma. Tidak perlu teriak ketika dicopet karena polisi biasanya pura-pura tidak melihat.
Istriku tidak bereaksi mendengar cerita ranselku mau dirampas. Ia tetap tenggelam dengan gadget-nya. Makan malam tidak bisa menghentikan permainan kepala yang terus menghantuiku, mulai dari masuknya bapak tua ke apartemen kami, cerita penggerebekan mafia di via Venetto, hingga upaya perampasan ranselku.
Tiba-tiba istriku keluar. Hampir setengah jam kemudian ia muncul dan menjelaskan baru saja menarik uang dari ATM di samping apartemen kami. Namun, sejak itu istriku semakin sering menarik uang dari ATM, dan biasanya selalu setelah aku pulang kerja. Aku hanya menduga-duga berapa uang kami yang tersisa jika ditarik terus-menerus. Tapi tentu saja aku tak akan membahasnya karena pengeluaran kami begitu banyak, untuk kebutuhan sehari-hari, juga biaya sekolah anak-anak kami di Indonesia.
Selain aktivitas istriku yang hampir tiap hari ke ATM, tidak banyak perubahan dalam kehidupan kami. Suasana di lingkungan apartemen kami juga normal-normal saja. Hanya portir apartemen pernah mengingatkan untuk selalu mengunci pintu apartemen karena salah satu apartemen diacak-acak siang hari. ”Terjadi karena saya pergi makan siang, jadi kompleks apartemen tidak terjaga.”
”Dengan CCTV tidak ada yang luput dari pengamatan saya,” katanya meyakinkan.
Semua berjalan normal, sampai portir apartemen kami ditemukan tidak bernyawa di ruang kerjanya. Polisi hanya menyatakan ia meninggal karena serangan jantung, dan anaknya yang biasanya menggantikannya langsung diangkat sebagai portir.
Meningkatnya kegiatan menjelang akhir tahun dan angin musim dingin yang mulai menggigit menyebabkan orang tidak begitu tertarik mendengarkan cerita. Juga tidak ketika aku menyatakan hampir saja dirampok dekat apartemen kami oleh tiga orang yang mengaku polisi, dan juga ketika ada orang yang berusaha membuka pintu apartemen kami, ketika istriku tinggal sendiri di rumah.
Pembicaraan mengenai mafia kembali heboh ketika pemakaman bos mafia disiarkan langsung oleh TV setempat. Napasku hampir berhenti ketika melihat foto bos mafia itu, persis sama dengan bapak tua yang masuk ke apartemen kami. Ketika kuperlihatkan fotonya di halaman depan koran lokal, istriku hanya berkata singkat, ”Memang dia, Casamonica.”
Aku tidak bisa memejamkan mata, sampai akhirnya istriku bercerita bahwa Casamonica yang diburu oleh Carabieneri dan kelompok pesaing klannya secara tidak sengaja masuk kompleks apartemen kami karena pintunya terbuka saat itu. Ia memberikan amplop berisi daftar nomor rekening serta daftar rekening penerimanya lengkap dengan kartu ATM-nya, yang diburu para mafia. Rekening penerima itu milik sejumlah politisi, dan juga sejumlah badan sosial, termasuk untuk pengungsi.
Menurut istriku, ia pergi setiap hari ke ATM untuk mentransfer uang ke sejumlah nomor rekening yang terdapat dalam daftar yang diberikan Casamonica. ”Enggak mungkinlah menarik uang tiap hari dari rekening kita,” tambahnya.
Aku hanya terdiam. Tidak tahu harus berkata apa. Semuanya terasa tiba-tiba. Apalagi membayangkan istriku, seorang WNI, memegang rekening mafia terkemuka Italia dan secara teratur membagi-bagikan dana yang terdapat di dalamnya ke berbagai rekening yang pemiliknya entah siapa, dan apa konsekuensinya jika transfer tidak dilakukan.
Pengelola uang atau cassiere adalah tokoh sentral dalam organisasi seperti mafia. Meskipun demikian, sangat jarang pimpinan mafia sekaligus menjadi cassiere. Menurut beberapa teman yang mencermati masalah mafia, biasanya terjadi sesuatu yang luar biasa jika nomor rekening dan daftar rekening klien sampai dipegang seorang pimpinan.
”Pengetahuan kamu mengenai mafia semakin dalam,” ujar salah seorang dari mereka, menimpali pertanyaanku mengenai cassiere. Mukaku memerah. Mereka tertawa dengan menambahkan bahwa tak mudah menilai seseorang terkait atau tidak dengan mafia di Roma.
Teman-temanku menambahkan bahwa untuk menghindarkan diri dari incaran mafia, orang biasanya tampil tidak mencolok. Toko-toko di sekitar via Condotti, pusat perbelanjaan populer, konon memasang harga rendah untuk barang display di kaca bagian luar tokonya kendatipun itu barang berkualitas dan mahal. ”Itu cara mereka agar tidak jadi target mafia,” terang mereka.
Ketika aku menyinggung bahwa bisa saja apartemen yang ditempati milik mafia, istriku separuh meradang, ”Jangan terlalu berlebihan berfantasi.”
”Sejak awal kita tahu mereka keturunan Lady Marina Ripa Di Meana yang memiliki beberapa kompleks apartemen di daerah elite Roma, dan ini salah satu yang diwariskan kepada anaknya,” tambahnya, sambil keluar.
Aku hanya duduk menonton acara TV dan tidak lama tertidur. Tiba-tiba aku merasa badanku diguncang-guncang keras. Ketika membuka mata, aku melihat istriku duduk di hadapanku dengan muka pucat. Ia bercerita baru saja kecopetan. Dompetnya berisi kartu kredit dan uang yang baru saja ditarik dari ATM serta kartu ID-nya hilang semua. Ia juga menyatakan telah ke kantor polisi melaporkan kecopetan, untuk pengurusan kartu ATM dan ID yang baru, serta juga telah memblokir kartu ATM-nya.
Namun, sejak itu, istriku jadi tidak berani keluar apartemen malam-malam. Ia semakin tenggelam dengan gadget-nya. Hanya pagi-pagi sekali ia suka keluar rumah. ”Lebih aman melakukan transfer pagi hari,” terangnya.
Aku tidak menanggapi, hanya menyatakan akan keliling Roma pagi ini. Istriku menyatakan akan ikut segera pulang setelah selesai mentransfer uang.
Pagi itu mentari menyeruak cukup terang kendatipun angin musim dingin masih terasa menggigit. Dengan mobil kantor, kami pelan-pelan menyelusuri obyek wisata yang biasanya dipadati turis. Ketika mendekati belokan Piazza del Collosseo ke arah Colloseum, mobil kami serasa terbang ditabrak truk sampah yang muncul tiba-tiba. Istriku berteriak, ”Aduh kepalaku, sakit...,” rintihnya.
Aku hampir kehilangan kesadaran dan melihat beberapa orang tiba-tiba masuk ke mobil kami dan langsung mengambil tas istriku. Dengan perlahan aku membuka seat belt, dan menarik istriku keluar.
Tidak ada yang membantu kami. Orang-orang hanya menonton. Sekitar setengah jam kemudian datang polisi dan mobil ambulans. Kami dibawa ke rumah sakit terdekat. Dokter menyatakan istriku hanya memar kulit kepalanya dan tidak memerlukan perawatan. Polisi menyatakan mobil kami hanya penyok bagian kiri, tanpa kerusakan berarti. Tak ada penjelasan mengenai orang-orang yang masuk ke mobil kami dan mengambil tas istriku.
Di rumah, istriku yang masih memijit kepalanya menyatakan tidak ada barang berharga dalam tasnya. Kendatipun masih terasa pusing, aku mengingatkan istriku mengenai banyaknya rentetan peristiwa yang terjadi sejak ia menjadi cassiere. ”Mungkin daftar rekening tersebut harus diserahkan agar tidak terjadi hal yang lebih membahayakan,” desakku. Istriku tidak berkata apa-apa, dan tidak lama kemudian ia menghilang ke luar apartemen kami.
Tiga hari kemudian terjadi kehebohan di media dengan terungkapnya sejumlah rekening politisi terkemuka Roma yang menerima transfer reguler dari mafia. Beberapa anggota Parlemen mengundurkan diri akibat penemuan itu. Ketika aku menanyakan apakah itu daftar rekening yang dipegangnya, istriku hanya berkata singkat, ”Mudah-mudahan tidak ada masalah lagi.”
Seminggu kemudian, ketika sedang bekerja sampai larut malam, istriku menelepon bahwa dirinya sudah lebih dari satu jam terjebak dalam lift. Aku meminta staf kantor menghubungi portir apartemen kami. Staf kantor kami yang menyatakan tidak bisa menghubungi portir apartemen kami langsung menelepon perusahaan pengelola lift apartemen kami.
Malam itu, seperti biasa aku naik tangga dan tidak menggunakan lift yang memang sering macet. Ketika membuka pintu, apartemen kami sangat gelap karena tidak ada lampu yang menyala. Aku berteriak memanggil istriku. Tidak ada jawaban. Di kamar semuanya sama seperti biasa. Dan ketika merebahkan diri di tempat tidur aku langsung terlelap. Paginya aku tidak melihat tanda-tanda istriku di rumah.
Aku segera menemui portir apartemen kami yang menyatakan tidak mengetahui keberadaan istriku. Menurut dia, setelah pukul 18.00 ia meninggalkan pos jaganya dan tidak mengetahui ada yang terjebak di lift. Staf kantor kami menyatakan hanya menelepon nomor emergency perusahaan pengelola lift dan setelah itu tidak mendengar apa-apa lagi. Polisi yang mencatat laporanku menyatakan hanya bisa mencatat informasi orang hilang setelah tiga hari dari kejadian.
Des Alwi adalah lulusan FISIP UI (1985) dan School of Humanities, Asia Research Centre, Murdoch University (1993). Kini bekerja sebagai staf di Direktorat Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup, Ditjen Multilateral Kemenlu. Pernah bekerja sebagai wartawan majalah Fokus (1982-1984) dan harian Bisnis Indonesia (1985-1987).
Hadi Soesanto lahir di Jember. Lulus studi di Fakultas Seni dan Desain Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, 1994. Aktif mengikuti pameran lukisan di dalam dan luar negeri sejak 1987. Menerima penghargaan dari The ASEAN Art Award pada 1999. Pada 2015, mengorganisasikan penyelenggaraan Yogyakarta International Art Festival di Yogyakarta, diikuti 52 seniman dari 22 negara.