Imarai dan Bulir Cahaya
Imarai tak lagi mengingat sejak kapan bulir cahaya itu mulai ada di dekatnya. Saat ia terbaring di rumah sakit, dan setengah sadarkan diri, ia seperti sudah melihat bulir cahaya itu di dekatnya.
Ia berputar-putar di sekelilingnya bagai kunang-kunang. Menyala terang, lalu sesekali redup. Tapi karena tak yakin, ia pun tak mau terlalu memikirkannya.
Sampai suatu hari, di hari ketiga ia keluar dari rumah sakit, yang juga merupakan hari ketujuh setelah kematian ibunya, ia merasa begitu ketakutan. Teriakan laki-laki mengerikan itu didengarnya. ”Kemana kau, Anak sialan? Berani sekali kau menghabiskan semua makanan di kulkas?”
Ini membuat Imarai hanya bisa bersembunyi di lemari tua yang ada di kamar kosong. Di situ ia menangis. Dalam hati ia mencoba membela diri, bagaimana ia tak menghabiskan makanan di kulkas? Sejak ibunya meninggal, ia tak diizinkan lagi pergi ke sekolah. Itu artinya sepanjang hari ia ada di dalam rumah. Tentu tanpa uang, sehingga hanya bisa makan makanan yang ada di dalam rumah.
Di tengah ketakutannya menyatu dalam kegelapan itulah, bulir cahaya itu muncul di depan wajahnya. Berpendar perlahan-lahan, seakan sengaja menemaninya.
Sejak itu, bulir cahaya itu terus bersama Imarai. Ia akan terus berpendar sepanjang berdua saja dengan Imarai, namun begitu ada orang lain di sekitarnya, cahayanya akan redup.
Imarai biasanya berdiam diri cukup lama di lemari. Ia baru berani keluar saat mendengar suara mobil laki-laki itu meninggalkan rumah. Keadaan ini begitu menyiksa. Ia rindu ibunya. Kadang ia ingin sekali pergi dari rumah ini. Tapi kemana? Umurnya masih 10 tahun, dan sama sekali tak memiliki uang sepersen pun.
Jadi yang bisa diharapkan Imarai hanyalah agar laki-laki itu pergi selama mungkin. Sama seperti dulu sebelum ia datang ke rumah ini. Ya, setahun lalu, laki-laki itu pindah ke rumah ini, setelah menikahi ibunya. Tentu waktu itu, ia ramah dan baik hati. Namun hanya perlu satu minggu saja, Imarai tahu kalau laki-laki ini adalah sosok mengerikan. Hanya sebulan berselang, ia sudah berani merampas uang di dompet ibunya, dan hanya dua bulan berselang, ia berani menampar ibunya berkali-kali.
Rumah kecil yang dulu terasa begitu nyaman, seperti berubah menjadi neraka. Tapi setiap Imarai ingin berkata sesuatu, ibunya akan berkata lebih dulu,
”Ayahmu hanya sedang lelah, Sayang. Nanti ia akan kembali baik....”
Tapi Imarai tahu, laki-laki itu tak pernah kembali menjadi baik. Tabiatnya memang seperti itu.
Imarai merasa bulir cahaya yang selalu ada di dekatnya seperti makhluk hidup. Ia bisa bermain-main dengan rambutnya yang panjang, juga mau berdiam diri di telapak tangannya, bagai lovebird. Ini membuat Imarai tak lagi takut berada di rumah sendirian. Kegelapan yang dulu selalu membuatnya menangis tak lagi ditakutinya. Kini, yang ia takutkan hanyalah tamparan laki-laki itu.
Kala hanya seorang diri bersama bulir cahaya itu, Imarai selalu mengajaknya bercakap-cakap.
”Apakah kamu... kunang-kunang?” tanyanya.
Bulir cahaya itu meredup. Imarai menebak, itu artinya: tidak.
”Apakah kamu... malaikat?”
Bulir cahaya itu meredup lagi.
”Apakah kamu... peri?”
Kembali bulir cahaya itu meredup.
Imarai menghela napas panjang. ”Lalu siapa kamu sebenarnya?” tanya Imarai kehabisan pertanyaan.
”Tapi siapa pun kamu... kamu akan terus menemaniku kan?” tanyanya lagi.
Kali ini bulir cahaya itu berpendar lebih terang.
Di hari kedua puluh sejak ibunya meninggal, laki-laki itu pulang sambil membawa seorang perempuan yang memakai sepatu hak tinggi berwarna merah menyala, juga lipstik dengan warna yang sama.
Dari sekali melihat senyumnya, Imarai tahu ia pasangan serasi laki-laki itu. Sesama orang yang mengerikan!
”Jadi dia anak istrimu yang mati itu?” tanya perampuan itu masih sempat didengar Imarai.
”Kau tak berpikir mengajakku tinggal di sini bersama anak itu kan?”
”Sudahlah, jangan berlebihan! Bagaimana pun ini rumah ibunya. Aku tak bisa mengusirnya begitu saja. Apalagi... paman-pamannya masih rutin mengiriminya uang. Percayalah, dia tak akan menganggu kita. Aku akan menempatkannya di gudang belakang.”
Imarai terpaku. Kata terakhir laki-laki itu membuatnya bergidik. Gudang belakang yang ada di bagian paling belakang rumah ini, adalah bagian rumah yang paling mengerikan. Ia bahkan tak pernah ke sana. Melalui lorongnya saja, sudah membuatnya ketakutan.
Tapi laki-laki itu benar-benar melakukan apa yang diucapkannya. Ia menyeret Imarai ke belakang dengan paksa. Tak diperdulikan tangisan dan rontaannya.
”Mulai sekarang, kamarmu di sini! Kau boleh keluar kamar, kalau aku sedang tak ada di rumah. Kalau kau melawan, kugampar kau!”
Imarai hanya bisa menangis.
Saat laki-laki itu pergi, Imarai hanya bisa terduduk di sudut gudang. Sambil menghapus air matanya, ia mengeluh pada bulir cahaya yang ada di dekatnya,
”Kenapa ia bisa begitu kejam?”
Tapi tentu itu pertanyaan yang tak bisa dijawab bulir cahaya itu.
”Aku tak habis pikir, kenapa ibu bisa jatuh cinta pada orang seperti itu!”
Cahaya itu tetap tak bereaksi. Namun sesaat kemudian, ia bergerak ke sebuah buku. Dengan satu sentakan, buku itu terbuka di halaman tengah. Imarai melihat cahaya itu berputar-putar di satu kata yang ada di tengah buku itu: pergi...
”Kau ingin... aku pergi dari sini?” Imarai balik bertanya dengan ragu.
Bulir cahaya itu menjawab dengan memancarkan cahayanya lebih terang. Lalu ia bergerak lagi ke sebuah peti yang ada di sudut gudang. Imarai membukanya, di situ dilihatnya tumpukan surat untuk ibunya. Pengirimnya dua adik ibunya, paman-pamannya.
Imarai tersadar. Ya, hanya dua pamannya ini yang bisa menyelamatkannya. Selama ini keduanya baik padanya, sering membelikannya macam-macam mainan. Memang paman pertama tinggal jauh di luar negeri, sehingga ia tak mungkin mengunjunginya. Tapi paman kedua tinggal di kota lain. Walau tidak dekat, tapi sangat memungkinkan untuk didatangi.
Bisakah ia ke sana? Rasanya tak mungkin. Ia sama sekali tak memiliki uang.
Saat itulah bulir cahaya itu kembali berputar di atas buku yang terbuka tadi. Ia melingkari dua kata yang ada di situ: tunggu dan besok....
Saat suara mobil laki-laki itu terdengar meninggalkan rumah, bulir cahaya bergerak ke kamar laki-laki itu. Imarai yang mengikuti dari belakang, hanya bisa melihat bulir cahaya itu menyentuh lemari baju ibunya.
Imarai segera paham. ”Kau ingin menunjukkan sesuatu di sini?” ia segera membukanya.
Bulir cahaya menyala terang. Ia segera bergerak ke bagian paling bawah. Di situlah, Imarai menemukan sebuah laci tersembunyi. Ada sebuah kotak kecil di situ yang segera saja dibuka Imarai. Awalnya ia hanya menemukan barang-barang lama ibunya, seperti jam tangan rusak, kacamata yang kacanya sudah pecah, penjepit rambut, dan lainnya. Namun di bawah barang-barang itulah sebuah amplop berisi beberapa ikat uang terselip.
Imarai terkejut. Ia tahu, ini bukan uang yang sedikit. ”Aku... bisa pergi dengan uang ini!” serunya.
Bulir cahaya itu menyala terang.
Tanpa membuang waktu, Imarai berlari ke kamarnya. Diambilnya tas dan baju secukupnya. Ia juga tak lupa membawa makanan yang ada dan botol minumannya. Setelah semuanya siap, ia segera melompati jendela kamarnya, karena semua pintu di rumahnya memang dikunci laki-laki itu.
Begitu berada di luar, Imarai berlari secepat mungkin meninggalkan rumah. Dadanya terasa berdesir. Ini pertama kalinya ia keluar rumah seorang diri. Ada sedikit perasaan takut, namun selebihnya ia merasa begitu gembira. Satu-satunya kesedihannya hanyalah ia harus meninggalkan rumahnya, di mana semua kenangan tentang ibunya ada di situ.
Imarai menguatkan hatinya. ”Apakah aku harus menuju terminal?” tanyanya sambil mendekap sebuah buku, yang dirasa akan diperlukannya selama perjalanan nanti.
Bulir cahaya itu menyala terang.
Imarai pun segera berlari menuju ke terminal. Detik-detik kemudian terasa lancar, seakan Tuhan ingin membayar derita yang dialaminya selama ini. Hingga akhirnya Imarai tiba di kota yang dituju. Malam sudah begitu larut, tapi bulir cahaya terus menuntunnya menuju sebuah rumah. Di situlah, Imarai mengetuk pintu.
Seorang laki-kaki yang nampak terkantuk-kantuk membuka pintu. ”Siapa ya?” tanyanya sambil memicingkan mata. ”Kau... Imarai?”
”Paman...” Imarai sudah menghambur memeluknya.
Malam ini, Imarai tertidur dengan sangat lelap. Ia tak menyadari bulir cahaya yang semula ada di sampingnya, pelan-pelan meredup dan lenyap tak berbekas.
Empat puluh hari yang lalu, sebuah truk bermuatan penuh semen menabrak sebuah mobil hingga hancur tak berbentuk. Perempuan yang mengendarai mobil itu terluka sangat parah, namun ia masih mencoba keluar dari mobilnya yang ringsek, dengan darah yang tak henti mengalir.
Seiring itu, sesosok bayang-bayang samar berwarna putih turun dari langit, mendekati perempuan itu.
Perempuan yang menyadari kehadiran itu, menengadah dengan sisa tenaganya.
”Jangan ambil... nyawaku dulu...” suaranya tercekat. ”Anakku... anakku... aku harus melindunginya...”
Bayang-bayang putih itu tak bereaksi. Sudah kerap ia melihat orang-orang yang enggan meninggalkan dunia ini. Tapi entah kenapa, perempuan ini nampak berbeda. Ia bukan ketakutan karena harus meninggalkan dunia ini, ia ketakutan dengan alasan yang lain.
Bayang-bayang putih itu menengadah sejenak, di depannya seakan muncul layar yang mengulang seluruh kehidupan perempuan ini. Sejak kelahirannya, masa kecilnya, hingga kematiannya hari ini. Satu bayangan yang terekam dengan jelas adalah saat ia berenang sepanjang malam untuk menyelamatkan penumpang-penumpang kapal yang terbalik.
Bayang-bayang putih itu terdiam, ”Kau sudah menyelamatkan 40 nyawa manusia selama hidupmu...” suaranya terdengar pelan. ”Aku akan memberi kesempatan padamu...”
Lalu bayang-bayang putih itu lenyap. Perempuan itu tersenyum, namun belum tuntas senyumnya, napasnya tersentak. Detik selanjutnya, kepalanya sudah terkulai. Dari mulutnya yang setengah terbuka, keluar sebulir cahaya yang langsung mengangkasa. Bulir cahaya itu bergerak menuju sebuah rumah, tempat seorang gadis kecil yang sedang meringkuk ketakutan dalam lemari tua di kamar kosong...
***
Yudhi Herwibowo. Menulis cerpen dan novel. Novel terbarunya: Sang Penggesek Biola, sebuah roman Wage Rudolf Supratman (Imania)