Karl-Edmund Prier, Menggali dan Memelihara Kekayaan Musik Daerah
Karl-Edmund Prier sangat berjasa dalam menggali dan memelihara kekayaan musik daerah di Indonesia.
Oleh
AGUS TRIDIATNO
·4 menit baca
Penganugerahan gelar doktor kehormatan (honoris causa) kepada Karl-Edmund Prier SJ oleh Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada tanggal 11 Mei 2023 menyadarkan banyak pihak akan jasa misionaris dari Jerman yang biasa dipanggil Romo Prier ini.
Romo Prier sangat berjasa dalam menggali dan memelihara kekayaan musik daerah di Indonesia. Ia telah mendalami pelbagai musik daerah dari ujung Sumatera sampai Papua dengan menyelenggarakan 57 kali lokakarya komposisi musik di sejumlah daerah.
Lagu-lagu daerah telah dihimpun dan diterbitkan dalam buku Nusantara Bernyanyi dalam sembilan jilid. Buku Madah Bakti yang memuat ratusan lagu peribadatan dengan beraneka ragam gaya musik daerah juga telah diterbitkannya. Buku ini sungguh monumental karena memungkinkan umat Katolik dari banyak daerah mengungkapkan iman mereka melalui lagu-lagu dari daerah lain.
Di usia 85 tahun, Romo Prier menulis 50 cerita singkat tentang hal-hal penting dalam hidup dan karyanya. Cerita-cerita itu diterbitkan dalam buku Hidup untuk Musik, 50 Cerita. Buku ini menjadi warisannya yang terakhir karena beliau wafat pada tanggal 21 Januari 2024.
Cinta pada musik daerah
Pengalaman baru dan sangat asing bagi Romo Prier adalah mendengar suara musik gamelan Jawa di gereja Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, tempat dia pertama kali ditempatkan sebagai misionaris. Pengalaman yang aneh itu kemudian menggugah dia untuk ingin tahu lebih mendalam tentang gamelan.
Keingintahuannya semakin besar pada waktu dia menemui gamelan supra, yaitu gamelan yang tone-nya sudah disesuaikan dengan musik diatonis Barat oleh Pastor Van Deinse SJ dari Belanda. Pengalaman itu terjadi pada tahun 1965, waktu dia dipindahtugaskan ke Semarang. Menurut Van Deinse, gamelan harus ”dimurnikan” dari unsur-unsur gaib, termasuk dengan menyamakan pitch nada-nadanya dengan musik diatonis. Prier bertanya-tanya, ”apakah ini cara terbaik untuk inkulturasi gamelan?” (hlm 23).
Pengalaman yang aneh itu kemudian menggugah dia untuk ingin tahu lebih mendalam tentang gamelan.
Keingintahuan Prier mulai terjawab ketika ia bertemu dengan tokoh musik dan tari Jawa, Cayetanus Hardjosoebroto. Bapak Hardjosoebroto yang pagar rumahya dihiasi dengan garis-garis para nada dan tangga nada slendro dan pelog itu banyak berkisah tentang upaya mengangkat musik gamelan menjadi musik peribadatan di gereja sejak tahun 1956 atas dukungan Uskup Soegijapranata. Hal ini mendorong Prier untuk lebih mendalami gamelan dan musik-musik daerah di Indonesia lainnya.
Perkenalannya dengan Paul Widyawan, seorang guru musik, seniman, dan pemimpin paduan suara, membuka lebar jalan ke arah karya-karya yang besar. Mereka berdua menyelenggarakan lokakarya di sejumlah daerah, menyelenggarakan pelatihan dirigen dan paduan suara, bereksperimen dengan pelbagai gaya musik daerah.
Paduan Suara Vocalista Sonora pimpinan Paul Widyawan menjadi laboratorium musik bagi Prier dan Paul Widyawan. Lagu-lagu daerah seperti ”Ondel-Ondel”, ”Jangkrik Genggong”, ”Bapak Pocung”, ”Laruik Sanjo”, dan ”Bengeung Jumpa” menjadi kegemaran kelompok-kelompok paduan suara di Indonesia karena pementasan yang diadakan Prier dan Paul. Bersama Vocalista Sonora, mereka melakukan lima kali tur ke Eropa untuk mementaskan musik-musik daerah Indonesia.
Perkenalannya dengan Pastor Appie van der Heijden SVD membawanya sampai ke Flores, mendalami musik dan lokakarya musik daerah NTT. Keterlibatannya dalam Seksi Musik KWI menyebabkan Prier bersahabat dengan rekan-rekan dari sejumlah daerah, seperti Pematang Siantar, Parapat, dan Nias di Sumatera Utara serta Nyarungkop di Kalimantan Barat, dan menyelenggarakan lokakarya di daerah-daerah tersebut.
Di Kalimantan Tengah, ia mendapat undangan dari Pastor FX Kuvang MSF untuk menyelenggarakan lokakarya di Buntok. Demikianlah, 57 kali lokakarya komposisi musik di sejumlah daerah di Indonesia dilakukannya. Prier juga membagikan pengalamannya ke negara-negara lain melalui Kongres Jungman Society, misalnya di Italia, Spanyol, Bangkok, Brasil, Slowakia, Spanyol, Hongaria, dan Australia.
Berbeda dengan banyak pemusik Indonesia, termasuk pemusik-pemusik daerah yang ingin mencampur unsur-unsur musik daerah dengan musik diatonik Barat, Prier justru ingin mempertahankan keunikan musik daerah ini sebagai kekayaan. Musik daerah di Indonesia pada umumnya hanya terdiri atas lima nada atau pentatonis. Menurut Prier dalam sebuah webinar, ”Biarlah lima nada itu tetap lima nada, jangan ditambah-tambah menjadi tujuh seperti musik diatonik Barat. Itulah misteri dalam musik-musik daerah. Unsur-unsur gaib dan Ilahi ada dalam musik-musik semacam itu.”
Prier justru ingin mempertahankan keunikan musik daerah ini sebagai kekayaan.
Romo Prier berjanji untuk mendiskusikan dan menulis misteri dan unsur gaib tersebut. Namun, misionaris kelahiran Weinheim, Jerman, pada tanggal 18 September 1937 itu tetap meninggalkan misteri, karena beliau sudah dipanggil Tuhan di awal tahun ini. Satu misteri juga ditinggalkannya, ketika ia berani dan tidak meninggalkan altar peribadatan yang sedang dipimpinnya ketika diserang oleh pemuda Sutiyono yang mengayunkan pedang ke kepalanya hingga berdarah-darah. Romo Prier menulis peristiwa Bedog, 11 Februari 2018, itu, ”sejak saya dipukul saya sudah memaafkan dia” (hlm 322).