Karl-Edmund Prier SJ, Musik Nusantara untuk Gereja
Pastor Karl-Edmund Prier menerapkan inkulturasi dengan menggunakan sentuhan lagu-lagu daerah menjadi lagu-lagu baru gereja. Hal ini dilakukannya untuk membangkitkan kebanggaan masyarakat terhadap budayanya sendiri.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Setiap orang harus bangga dengan budaya bangsanya sendiri. Pesan penting itulah yang kemudian diperjuangkan Pastor Karl-Edmund Prier SJ (85), dengan melakukan inkulturasi pada musik liturgi gereja selama 52 tahun terakhir.
Perjuangan yang terus dilakukannya hingga kini, diakuinya sebagai sesuatu yang tidak mudah. ”Banyak orang di sini (Indonesia) hingga saat ini masih memilih menggunakan musik, lagu-lagu lama berbahasa Latin, dan berbahasa Eropa. Mereka menganggap musik dari Barat adalah yang terbaik, dan sebaliknya meremehkan lagu-lagu asli khas Indonesia,” ujar pastor berkebangsaan Jerman ini saat ditemui pada Sabtu (13/5/2023).
Menurut Prier, inkulturasi musik liturgi menjadi sesuatu yang harus dilakukan mengikuti apa yang ditegaskan dalam Konsili Vatikan II. Ketika kemudian muncul pertentangan dan penolakan terhadap hal tersebut, situasi itu dianggap sebagai tantangan perjuangan.
Dari hasil diskusinya dengan dosen pengajar dan penggubah lagu-lagu gereja Paul Widyawan, perjuangan inkulturasi ini dilakukan dengan membuat lembaga yang khusus mengurus dan membuat lagu-lagu gereja khas Indonesia.
Tahun 1971, itu diwujudkan mereka berdua dengan mendirikan Pusat Musik Liturgi (PML) di Yogyakarta. Kegiatan PML ini diawali dengan memanfaatkan ruang garasi di Kolese Santo Ignatius (Kolsani). Barulah pada 1974, PML mendapat satu ruangan di Puskat Yogyakarta.
Konsep inkulturasi musik liturgi kemudian diperkenalkan dalam Kongres Musik Liturgi di Jakarta pada 1973. PML berupaya menampilkan lagu-lagu baru, seperti lagu-lagu misa bergaya Sunda dan Manado. Sebagian di antaranya dimainkan dengan alat musik tradisional seperti angklung.
Musik-musik tersebut mendapat apresiasi tinggi dalam kongres sehingga PML mendapat mandat menggelar kongres musik liturgi di Yogyakarta tahun 1975.
Sebagai persiapan kongres itu, Prier berkeliling menemui aktivis musik gereja di Flores dan Sumba, Nusa Tenggara Timur. Perjalanan tersebut dilakukan untuk mengetahui relasi antara musik dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Semua pengalaman yang ditemukan ia gunakan untuk menyusun komposisi lagu gereja baru berdasar lagu-lagu tradisional setempat. Paul mengimbangi kerja Prier dengan menggubah lagu-lagu gereja bernuansa budaya berbagai daerah, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Jawa.
Konsep inkulturasi dalam musik gereja tersebut juga disebarluaskan Prier bersama Paul dalam 57 lokakarya musik di seluruh penjuru Nusantara dalam kurun waktu 1984-2015. Di setiap lokakarya, inkulturasi diperkenalkan dengan cara menawarkan sejumlah syair yang cocok untuk lagu gereja, kemudian dinyanyikan dengan memakai gaya lagu-lagu tradisional setempat.
Semangat inkulturasi kemudian juga diwujudkan bersama Paul dengan membuat buku Madah Bakti tahun 1980. Buku sebagai panduan perayaan Ekaristi di gereja ini memuat 450 lagu, yang terdiri dari 150 lagu misa bergaya Barat, 150 lagu misa dengan sentuhan khas daerah seperti dari Flores dan Jawa, serta 150 lagu baru berbahasa Indonesia berirama musik Barat.
Namun, dengan adanya pertentangan terhadap konsep inkulturasi, buku Madah Bakti diperbarui, dan kemudian digantikan buku Puji Syukur tahun 1992.
Daerah misi
”Di wilayah-wilayah tertentu di daerah misi, terdapat bangsa-bangsa yang memiliki tradisi musik sendiri, yang memainkan peran penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hendaknya musik tersebut mendapatkan penghargaan selayaknya dan tempat sewajarnya, baik dalam membentuk sikap religius mereka maupun dalam menyesuaikan ibadat dan sifat perangai mereka.”
Teks dari Konstitusi Liturgi Konsili Vatikan II itulah yang menjadi pemacu semangat Romo Prier mendalami musik khas Nusantara, ketika dirinya ditugaskan sebagai misionaris ke Indonesia pada tahun 1964.
Setelah tahun 1971 mendirikan PML, teks Konstitusi Liturgi itu dia buktikan dalam rangkaian perjalanan berkeliling Indonesia. Dimulai dengan terlibat dalam rapat kerja seksi liturgi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) di Kalimantan, di mana Prier bertemu tokoh-tokoh musik setempat.
Musik dengan tempo tinggi dan dimainkan demikian profesional tersebut kami saksikan hanya dengan berkas sinar lampu dari mobil jip yang kami tumpangi.
Tahun 1984, penelusuran di Kalimantan ia lanjutkan dengan menggelar lokakarya dengan melibatkan warga setempat yang tidak tahu cara membaca not. Lokakarya itu dilakukan dengan langsung menyanyikan syair lagu gereja memakai lagu tradisional di daerah tersebut. Metode ini ternyata berhasil dan ia terapkan dalam kegiatan lokakarya komposisi musik di berbagai daerah di Indonesia.
Di luar lokakarya, Prier juga intens mengunjungi daerah-daerah terpencil dengan tujuan menggali dan mengangkat budaya lokal ke dalam musik gereja.
Di Kepulauan Mentawai, dia menemukan lagu-lagu khas yang dinyanyikan oleh dukun yang disebut Sikerei. Prier menyebut lagu-lagu itu sebagai healing music. Di Flores, dia bertemu suku Keo yang memiliki musik khas yang dimainkan dengan alat musik bambu serupa kentongan.
”Di daerah pelosok tanpa ada jaringan listrik, ketika itu kami mendapatkan pengalaman luar biasa menyaksikan penampilan orang suku Keo. Musik dengan tempo tinggi dan dimainkan demikian profesional tersebut kami saksikan hanya dengan berkas sinar lampu dari mobil jip yang kami tumpangi,” ujarnya. Musik suku Keo itu ia sebut musik berkelas yang diyakini akan mendapat apresiasi luar biasa jika dipentaskan di negara asalnya, Jerman.
Pengalaman unik dan menarik juga dia alami saat berkunjung ke Pulau Nias dan Kepulauan Aru.
Tetap cinta
Tahun 2018, Prier menjadi salah satu korban peristiwa penyerangan Gereja Santa Lidwina di Bedog, Sleman, DIY. Dirawat selama seminggu di ICU RS Panti Rapih, dia kini masih menyimpan ”kenangan” peristiwa tersebut berupa bekas luka di kepala. Sekalipun tindakan medis sudah membuat luka itu tertutup, dia pun sampai sekarang sering memakai topi untuk melindungi bekas luka itu dari hawa dingin.
Seiring dengan usia yang kian menua, kondisi kesehatan fisiknya secara keseluruhan juga mulai menurun. Meski demikian, kondisi itu sama sekali tak mengubah kecintaan dan intensitas keterlibatannya dalam musik Nusantara.
Kini, bekerja sama dengan kelompok-kelompok musik dari berbagai daerah di Yogyakarta, Prier meneruskan pelestarian musik tradisional tersebut. Ia memerintahkan tiap-tiap kelompok mengirimkan musik instrumental khas daerah masing-masing. Musik itu kemudian dipublikasikan di kanal Youtube PML-YK Official.
Dia juga mendengarkan musik daerah sebagai bagian kesenangan pribadinya. Lagu-lagu Sunda, misalnya, adalah jenis lagu yang digemari dan selalu diputarnya saat menikmati istirahat siang menjelang sore. ”Irama lagu-lagu Sunda sungguh menenangkan,” pujinya.
Karl-Edmund Prier
Tempat, tanggal lahir: Weinheim, Jerman, 18 September 1937
Pendidikan:
-Studi Filsafat di Muenchen, Jerman, tahun 1959-1962
-Studi Teologi di Institut Filsafat dan Teologi (FTW) Yogyakarta
Pekerjaan : Pastor dan Pimpinan Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta