Sapardi dengan sebuah selebarannya ini ingin selalu mengingatkan rakyat dan membebaskannya dari tirani demokrasi.
Oleh
IGNATIUS NAWA TUNGGAL
·3 menit baca
Kepenyairan Sapardi Djoko Damono (1940 – 2020) terasa tajam dan menggigit ketika menelisik dunia politik lewat lubang intip tirani demokrasi. Di pengakhiran sebuah buku, ia menuliskan, presiden sebagai manusia terpilih harus mau dan mampu melawan sihir partai, sekaligus memiliki nyali melawan caleg yang diumpamakan kucing dalam karung.
Jika tidak demikian, imbuhnya, kita pasti akan merasa sia-sia saja telah memilihnya. Begitulah, terlepas dari polemik dan perdebatan sebagai tindakan pengkhianatan atau bukan, baru-baru ini kita menyaksikan Presiden Joko Widodo menyatakan sikap berbeda dengan partai politik yang mengusungnya. Jokowi mau dan mampu melawan sihir partai itu.
Tentu tulisan Sapardi ini terlepas jauh dari polemik tersebut. Sapardi menuangkan gagasannya itu pada buku terbitan 2014, atau 10 tahun silam. Pria kelahiran Kampung Baturono, Surakarta, Jawa Tengah, pada 20 Maret 1940, ini menuangkan tulisan yang ia sebut sebagai karangan terkait demokrasi yang kompleks. Kompleksitasnya sebagai sesuatu yang sulit dipahami dan hubungan yang saling kait-mengait satu hal dengan yang lainnya.
Di negeri kita ini demokrasi yang ditumbuhkan ukuran dari ‘sana’ dijegal oleh demokrasi lain yang dianggap berasal dari negeri sendiri, yang tentunya lebih sesuai dengan keinginan dan harapan penguasa.
Kumpulan karangannya itu dibukukan dan diterbitkan Editum pada 2014. Baru-baru ini diterbitkan ulang Gramedia Pustaka Utama sebagai cetakan pertama pada Februari 2024. Judul buku itu, Tirani Demokrasi: Sebuah Selebaran.
Pemilu
Sapardi di bagian awal membuka percakapan tentang pemilihan umum atau pemilu pertama kali diselenggarakan pemerintahan Indonesia merdeka pada 1955. Ketika itu, usianya baru beranjak 15 tahun dan belum memiliki hak politik untuk memilih wakil rakyat.
Ada antrean panjang. Belum ada istilah pesta demokrasi. Bahkan, kata demokrasi belum dikenal luas. Berbeda setelah berselang hampir 60 tahun sesudah pemilu 1955, pada 2014, di saat ia mulai menuliskan perihal demokrasi ini.
“Di awal abad ke-21 ini setiap hari kita sarapan demokrasi yang dipamerkan, dijajakan, dijunjung tinggi, diiklankan, ditawarkan, dan tidak jarang terasa seperti dipaksakan masuk ke kesadaran kita,” tulis Sapardi.
Dalam rentang waktu sepanjang itu Sapardi menyodorkan pengertian tentang perjalanan hasil pemilu 1955 yang melahirkan demokrasi menindas demokrasi. Dari situlah lahir Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk membubarkan Konstituante dan mengembalikan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dalam kerangka Demokrasi Terpimpin.
”Di negeri kita ini demokrasi yang ditumbuhkan ukuran dari ‘sana’ dijegal oleh demokrasi lain yang dianggap berasal dari negeri sendiri, yang tentunya lebih sesuai dengan keinginan dan harapan penguasa,” kata Sapardi.
Demokrasi menawarkan keadaban, sekaligus mengundang kekacauan baru. Ternyata tidak hanya bagi Indonesia. Sapardi mengisahkan, “Bersamaan dengan karangan ini saya tulis, selama Maret dan April 2014 kita ‘dipaksa’ menyaksikan ontran-ontran baru, kali initerjadi di Ukraina.”
Ontran-ontran atau kekacauan yang dimaksud tentang berpisahnya Ukraina dari Rusia. Sapardi menyebut, “Semuanya itu terjadi berkat adanya demokrasi.”
Hingga sekarang kabut perang Rusia dan Ukraina masih menyelimuti perjuangan kemanusiaan dunia.
Masih terkait Indonesia. Atas nama demokrasi, pada 1999 diselenggarakan referendum di Timor-timur untuk tetap bergabung dengan Indonesia atau berpisah. Akhirnya, rakyat memilih berpisah dan melahirkan nama baru Timor Leste dengan beragam kegaduhannya.
Atas nama demokrasi lainnya, berkembang kegaduhan negara di benua lainnya. Sapardi menceritakan antara lain ragam kegaduhan yang harus dihadapi Suriah, Mesir, Irak, dan seterusnya.
Sapardi menuangkan pemikiran-pemikirannya menjadi sebuah selebaran, sesuatu yang disebarkan demi maksud propaganda atau ajakan menepis tirani demokrasi.
“Di ladang yang bernama Indonesia ini, di lubuk yang bernama Indonesia ini, belalang dan ikan yang cerdas tahu bahwa demokrasi memberi hak pilih, tak terkecuali pilihan untuk berubah, tak terkecuali juga tentunya pilihan untuk mempertimbangkan kembali atau menolak konsep demokrasi yang begitu kompleks dan mengharuskan kita untuk melaksanakannya meskipun kita menyadari betapa konyol akibatnya,” tulis Sapardi pada bab paling akhir buku itu.
Sapardi dengan sebuah selebarannya ini ingin selalu mengingatkan rakyat dan membebaskannya dari tirani demokrasi.