Konteks yang dirujuk oleh cerpen-cerpen ini adalah lokalitas-lokalitas (sosial, personal) yang terasa kuat dan otonom.
Oleh
I WAYAN ARTIKA
·6 menit baca
Bagi pembaca sastra, ulasan sekilas atas beberapa cerpen dalam sebuah antologi adalah hal yang lazim. Seperti ulasan berikut.
Bisa jadi sampai pada pernyataan atau komentar singkat terhadap cerpen ”Api Kota Smyrna” (Risda Nur Widia) adalah cerpen yang tidak memiliki alur. Cerpen ini senada dengan ”Upacara Ona” (Kiki Sulistya). Kedua cerpen ini kontras dengan cerpen ”Rumah yang Selalu Berbau Busuk” (Supartika). Atau, mengklaim sebuah cerpen mengandung gagasan besar, yang sama sekali baru dan belum pernah ada. Cerpen ”Khasiat Embun Pohon Putih” (Ahda Imran) mengandung satu gagasan betapa pentingnya ingatan itu hilang sehingga manusia bebas dari pengaruh ingatan. Demikian pula variabel rasa kantuk yang ingin dihilangkan karena seseorang takut tidur dan bermimpi buruk. Agar bebas dari persoalan ini, maka rasa kantuk harus dilenyapkan (”Manusia Kelelawar”, Damhuri Muhammad). Gagasan tentang apakah robot akan masuk surga tidak pernah dipikirkan, tetapi dalam ”Nirvana” (Saras Dewi) terkisahkan.
Salah satu kekuatan alur cerita ada pada hubungan di antara peristiwa-peristiwa yang membangun cerita. Hubungan ini, misalnya, berupa sebab akibat. Peristiwa pertama menyebabkan peristiwa kedua. Peristiwa kedua menyebabkan peristiwa ketiga, dan seterusnya, sampai cerpen tamat. Ini ditemukan pada cerpen ”Rumah yang Selalu Berbau Busuk”.
Di samping hubungan sebab akibat, ada pula cerpen yang kuat karena repetisi peristiwanya (”Tiga Tanda Mati”, Muram Batu). Ini tampak pada cerpen ”Bukan Seorang Drupadi” (Artie Ahmad). Juga sebuah cerpen mendapat perhatian karena variabel imajinasinya. Hal ini ditemukan dalam ”Manusia Kelelawar” dan ”Bayi dalam Kaca” (Mashdar Zainal) atau ”Mama Menelepon dari Neraka” (Surya Gemilang).
Ada juga jenis cerpen yang datar. Cerpen seperti ini adalah kumpulan peristiwa yang disajikan di atas bidang teks, semisal ”Api Kota Smyrna” atau ”Ode Api” (Agus Dermawan T) dan ”Upacara Ona”. Cerpen-cerpen ini tidak memainkan alur. Yang diutamakan daya narasinya.
Salah satu kekuatan alur cerita ada pada hubungan di antara peristiwa-peristiwa yang membangun cerita.
Pembaca juga bisa berkesimpulan subyektif bahwa cerpen-cerpen dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2022: Ihwal Nama Majid Pucuk dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis. Pertama, cerpen yang datar tanpa alur. Jika alur ada, tidak menjadi daya tarik cerita, hanya sebatas konsekuensi sintaksis. Kedua, cerpen yang di dalamnya terdapat gagasan besar (”Mama Menelepon dari Neraka”). Yang dimaksud dengan gagasan besar adalah gagasan yang tidak terpikirkan atau gagasan yang baru.
Jenis cerpen ketiga adalah cerpen dengan alur yang sangat kuat (”Tiga Tanda Mati”). Dan, jenis keempat, cerpen yang ceritanya itu sendiri adalah konflik (”Ada Tanda di Lehermu”, Meutia Swarna Maharani). Jenis cerpen yang kelima adalah cerpen yang sangat kuat imajinasinya (”Nirvana”).
Realisme sosialis
Soal realisme sosial/is yang digunakan untuk mengantarkan cerpen-cerpen ini terasa timpang. Hal ini miskonsepsi baru dalam sastra. Realisme sosial/is hanya dilihat dari muatan cerita. Realisme sosial/is tidak cukup dipandang dari aspek muatan cerita, tetapi variabel keberpihakan sastra dan pengarang kepada pembaca/masyarakat. Realisme sosial/is juga menyangkut nasib pembaca. Peran sastra pada perjuangan pembaca. Realisme sosial/is bukan soal representasi yang terjadi karena mimesis sebagai keniscayaan. Realisme sosial juga bekerja di wilayah hubungan sastra dan pembaca (pendekatan pragmatik, MH Abrams).
Salah satu ciri realisme sosial/is dalam sastra adalah hadirnya kritik sosial. Namun, cerpen-cerpen pilihan dalam antologi ini bebas dari kritik sosial. Pada pengarang yang karyanya dihimpun dalam buku ini mengindikasikan betapa kritik sosial dalam sastra tidak penting lagi zaman ini.
Sastra tidak lagi berurusan dengan persoalan elite, narasi besar, negara atau bangsa, politik dan ideologi, filsafat, moral, dan teori kritis. Cerpen-cerpen ini menghadirkan definisi lokalitas baru. Dulu di tengah pergolakan pasca-Indonesia, hal itu konsekuensi kuatnya pengaruh iklim akademik post-strukturalisme, dekonstruksi, dan postmodernisme Indonesia, yang mana sebelumnya apa yang menjadi ”pusat” hendak dinetralisasi dengan ”pinggiran”.
Relasi pusat dan pinggiran yang terjadi pada era sastra print capitalism ditandai pemberian ruang bagi persoalan lokal. Kompas berhasil mewujudkan ide tersebut dalam cerpen-cerpennya. Walaupun tidak dituangkan ke dalam semacam mukadimah, prinsip memberikan ruang lokalitas dalam sastra bangsa telah menjadi pedoman berkarya yang di tangan redaktur sastranya merupakan alat untuk menyaring cerpen-cerpen yang akan dimuat.
Yang didefinisikan sebagai lokalitas baru di dalam cerpen-cerpen ini bukan soal pernak-pernik tradisi yang tidak terpetakan. Lokalitas didefinisikan sebagai persoalan-persoalan yang ditulis oleh para cerpenis yang merupakan urusan manusia dan manusia di suatu wilayah. Telah terjadi semacam lokalitas yang membebaskan diri dari antitesis nasionalisme.
Wilayah/lokalitas ini tidak harus dihubungan dengan aspek-aspek geografi pemerintahan. Karena atas dasar sedemikian definisi lokalitas tersebut, rujukan eksternal cerpen-cerpen ini bebas sama sekali terhadap negara. Konteks yang dirujuk oleh cerpen-cerpen ini adalah lokalitas-lokalitas (sosial, personal) yang terasa kuat dan sangat otonom. Lokalitas-lokalitas parsial dan otonom.
Pada konteks inilah pandangan realisme itu harus dipertanyakan kembali. Jangan-jangan, sebagaimana dinyatakan dalam kata pengantar berjudul ”Sekali Lagi, Realisme Sosial”, entah disadari atau tidak, sastra Indonesia sedang menuju definisi baru mengenai realisme sosial/is. Sebab, realisme sosial/is atau realisme sosialis era Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), misalnya, sudah dikubur di alam lampau sastra Indonesia. Bersamaan dengan itu, tidak ada lagi lembaga sastra yang menjadi organ ideologi dan politik.
Definisi baru
Yang penting dipertanyakan, mengapa ”realisme sosial”? Mengapa bukan ”realisme sosialis?” Penggunaan istilah ”sosial” dan bukan ”sosialis” mungkin usaha untuk lebih membebaskan dari kungkungan ideologi dan kungkungan sejarah sastra. Paham realisme Kompas tidak sama dengan paham realisme sosialis Lekra. Karena itu, membaca konsep realisme sosial pada kata pengantar membutuhkan kehati-hatian. Pasti bukan sekadar pilihan pada ”realisme sosial” karena memang dipertimbangkan bahwa sastra Indonesia tengah membutuhkan definisi baru atas realisme sosial/is itu sendiri.
Karena itu, membaca konsep realisme sosial pada kata pengantar membutuhkan kehati-hatian.
Jika dikaitkan dengan cerpen-cerpen dalam buku ini, dengan kata pengantarnya, dan dikaitkan sejarah sastra di mana ada satu babak penting dan paling gelap sekaligus dinilai sebagai masa keemasan realisme sosialis; yang mana sastra berpihak kepada pembaca dan ruang-ruangnya pun dipenuhi oleh ideologi, politik, kelas; maka cerpen-cerpen ini bebas dari perkara-perkara politik, ideologi, kelas itu sendiri. Lewat kata pengantar, Kompas hendak membangun definisi baru realisme sosial dan penghilangan ”is” pada ”sosialis” bermakna sangat signifikan. Berbeda dengan realisme sosial/is pasca-Lekra, yang mana sastra, ideologi, negara, agama, dan politik berkonstelasi sangat hebat.
Kata pengantar antologi cerpen ini bukan sebatas mengukuhkan bahwa mimesis dalam cerpen sebagai keniscayaan, tetapi mengajak publik cerpen menyusun definisi baru atas realisme sosial/is itu sendiri. Suatu definisi yang tepat untuk menjelaskan representasi-representasi realitas di dalam sastra cerpen Indonesia.
Arti penting kata pengantar buku ini membuktikan bahwa cerpen-cerpen itu menyampaikan realitas sosialnya masing-masing yang sama sekali berbeda dengan realisme sosialis. Maka, jangan abaikan penggunaan istilah ”realisme sosial” dan bukan ”realisme sosialis” karena Kompas tentu hendak menunjukkan bahwa kini hadir dalam sastra Indonesia realisme sosial dan ini tidak identik dengan realisme sosialis. Maka, pembicaraan dalam studi sastra dan kritik semakin kaya dengan dua istilah: (1) realisme sosialis dan (2) realisme sosial.
I Wayan Artika, Dosen Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha); Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali
Data Buku
Judul: Cerpen Pilihan Kompas 2022: Ihwal Nama Majid Pucuk