Kesetaraan dan Keberagaman Jender Setelah 25 Tahun
Meski banyak kemajuan, kesenjangan kesempatan, akses, dan pemanfaatan sumber daya masih terjadi di berbagai bidang.
Oleh
NINUK M PAMBUDY
·5 menit baca
Buku berjudul Gender Equality and Diversity in Indonesia diluncurkan di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, Jumat (15/12/2023). Sebanyak 15 judul tulisan dalam buku ini merupakan hasil dari makalah yang ditulis 19 kontributor, dipresentasikan dalam konferensi tahunan ke-39 Indonesia Update di Australia National University. Buku dengan fokus pada isu jender dari seri Indonesia Update sebelumnya terbit tahun 2002.
Peluncuran berlangsung sepekan sebelum Hari Ibu tanggal 22 Desember dalam rangka memperingati gerakan perempuan Indonesia untuk mendapatkan kesetaraan, yang pertama kali dinyatakan melalui Kongres Perempuan Indonesia pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Peluncuran di Jakarta juga tepat waktu karena bersamaan dengan masa kampanye menuju Pemilu 14 Februari 2024. Buku ini dapat menjadi masukan bagi para calon presiden, calon wakil presiden, dan calon anggota legislatif untuk memahami situasi perempuan dan jender di Indonesia. Indonesia hanya dapat mencapai cita-cita menjadi negara maju pada 2045 apabila lebih banyak perempuan masuk ke dunia kerja yang produktif.
Meski telah banyak kemajuan dirasakan, kesenjangan kesempatan, akses, dan pemanfaatan sumber daya tetap terjadi di berbagai bidang. Indeks Pembangunan Gender (IPG), yaitu indikator yang menggambarkan perbandingan capaian antara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) perempuan dan IPM laki-laki. Data Badan Pusat Statistik memperlihatkan IPG Indonesia sejak 2020 hingga 2022 tidak banyak berubah, berturut-turut 87,50, 87,43, dan 87,68.
Ketiga editor buku, Angie Baxley, Sarah Xue Dong, dan Diahhadi Setyonaluri, menjelaskan pada bagian pengantar, titik tolak buku ini adalah reformasi tahun 1998. Reformasi membuka jalan bagi aktivisme perempuan memperjuangkan kesetaraan dan keadilan jender dengan mengakui keberagaman perempuan dan budaya Indonesia. Muncul tuntutan dan aksi kuat untuk membongkar stereotipe mengenai perempuan dan jender yang menjadi cara pandang Orde Baru, yaitu pemuliaan perempuan dalam peran sebagai istri, ibu, dan penjaga keluarga.
Ketiga editor mencatat, ideologi politik Orde Baru pada intinya menganut pandangan heteronormatif, dengan pemahaman jender biner dan statis. Dapat dicatat istilah state ibuism yang digunakan Julia Suryakusuma untuk menggambarkan ideologi Orde Baru, menjadi ibu adalah tugas perempuan sebagai warga negara dan diasumsikan tunduk pada laki-laki. Pandangan biner ini menjadi dasar pembangunan negara dan keluarga dengan ”bapak” menjadi pemimpin karena kodrat menetapkan (hlm 1).
Pertanyaan utama dan coba dijawab buku ini adalah apakah reformasi dan perjalanan selama 25 tahun setelahnya berhasil membongkar nilai-nilai Orde Baru dan seberapa jauh perempuan Indonesia mendapatkan kesetaraan? Apakah terjadi perubahan dalam cara pandang sosial, budaya, dan politik masyarakat, tetapi perubahan itu lambat? Lalu, apa saja tantangannya dan bagaimana mengatasinya?
Reformasi membuka jalan bagi aktivisme perempuan memperjuangkan kesetaraan dan keadilan jender dengan mengakui keberagaman perempuan dan budaya Indonesia.
Berjalan lambat
Buku ini mengelompokkan situasi jender di Indonesia ke dalam isu ideologi, isu ekonomi, isu tantangan implementasi kebijakan, serta isu ekspresi, representasi, dan praktik jender.
Profesor emeritus Kathryn Robinson dari Australian National University mengawali buku dengan kilas balik gerakan perempuan yang dipicu reformasi 1998. Kathryn yang juga mengedit buku Indonesia Update Series untuk isu jender tahun 2002 memotret capaian perempuan dalam ruang publik dan pribadi (hlm 15-27).
Kathryn sampai pada kesimpulan banyak kemajuan telah terjadi sejak reformasi. Namun, muncul tantangan baru sejalan dengan masyarakat yang lebih bebas pasca-Orde Baru dan hadirnya generasi lebih muda. Muncul kebutuhan untuk memberi perhatian pada kesehatan perempuan, pengasuhan anak yang tidak hanya dibebankan kepada perempuan, hingga isu perempuan lansia sejalan dengan membaiknya usia harapan hidup di tengah berubahnya nilai-nilai keluarga. Hal positif lain, perempuan-perempuan muda yang menjadi aktivis mengakar memberi makna baru pada nilai-nilai budaya yang ada (hlm 29).
Hal menarik dari buku ini adalah para penulis terentang dari akademisi, aktivis, hingga pejabat pemerintah. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menulis dari perspektif pemerintah upaya memajukan kedudukan perempuan. Data melalui tabel dan grafis yang disajikan cukup informatif mengenai pendidikan, kesehatan reproduksi, dan pengupahan. Pembangunan sumber daya manusia dilakukan sejak tahun 1960-an melalui kebijakan fiskal dengan memperbaiki kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial.
Turunnya tingkat fertilitas serta membaiknya tingkat pendidikan dan partisipasi kerja perempuan ketika disigi lebih lanjut belum sejalan dengan kualitas pekerjaan dan tingkat pendapatan (hlm 127-137). Norma masyarakat yang menuntut perempuan menjadi pengasuh anggota keluarga menjadi salah satu penghalang memasuki lapangan kerja dan mencapai posisi penting.
Sri Mulyani mengakui, perbaikan berjalan lambat. Untuk mempercepat tercapainya kesetaraan, pemerintah perlu membuat kebijakan meningkatkan infrastruktur perkotaan, memastikan dilaksanakannya aturan usia minimum menikah, menyediakan tempat penitipan anak yang andal, dan membuat pengaturan waktu kerja yang lentur.
Menemukan ruang baru
Mengubah patriarki bukan hal mudah. Pendekatan budaya dapat memakan waktu lebih dari puluhan tahun. Akan tetapi, perempuan dan aktivis jender dapat mendorong pemerintah dan anggota legislatif membangun kelembagaan untuk mengubah cara pikir masyarakat. Kebijakan fiskal dan produk hukum, antara lain, sangat besar pengaruhnya dalam memengaruhi perubahan cara pandang masyarakat, termasuk aparat pemerintah.
Buku ini memperlihatkan tegangan antara aturan formal dan praktik, misalnya dalam mencegah kekerasan seksual dan seksualitas perempuan (ditulis Andi Yentriyani), mencegah perkawinan usia anak (Santi Kusumaningrum, Ni Luh Putu Maitra Agastya, dan Andrea A Adhi), penempatan perempuan di posisi pengambil keputusan di ranah publik (Ella S Prihatini), kesempatan perempuan dalam era digital (Niken Kusumawardhani), dan peran domestik perempuan (Atnike Nova Sigiro). Dalam diskusi buku, Andi mengingatkan demokrasi yang ditengarai mengalami kemerosotan dapat berpengaruh negatif terhadap kesetaraan jender.
Kebijakan fiskal dan produk hukum, antara lain, sangat besar pengaruhnya dalam memengaruhi perubahan cara pandang masyarakat, termasuk aparat pemerintah.
Walakin, perempuan terus berupaya menemukan ruang-ruang negosiasi ”baru”. Eva F Nisa membahas bagaimana Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) berhasil mendapat dukungan dari laki-laki ulama saat mengeluarkan fatwa adil jender. Pada sisi lain, pesan mengenai ajaran agama yang lebih ramah perempuan kurang terdengar, terutama di media sosial dan digital, yang kini menjadi media utama.
Negosiasi terhadap nilai-nilai patriarki juga dilakukan perempuan melalui budaya populer, seperti film (ditulis Wulan Dirgantoro) dan layar lebar (Evi Eliyanah). Isu yang juga layak dipertimbangkan untuk diteliti dan didokumentasikan adalah peran musik dan mode pada kebebasan perempuan mengekspresikan diri.
Dalam konteks lebih luas, buku ini kurang melihat pengaruh internasional pada isu jender. Di banyak negara, dan juga Indonesia, muncul ketidakpuasan pada pendekatan kapitalisme dan liberalisme sehingga melahirkan pemimpin-pemimpin konservatif yang kembali pada nilai-nilai patriarkis. Pada sisi lain, pembandingan dengan negara-negara mayoritas Muslim serta negara berkembang akan memberi perspektif mengenai capaian dan cara menghadapi tantangan kesetaraan jender.
Beberapa isu yang juga belum dibahas mendalam adalah dampak perubahan iklim bagi perempuan di Indonesia yang keragaman geografi, biologi, dan masyarakatnya tinggi. Karena itu, juga penting melihat dampak pertambangan mineral dan batubara terhadap masyarakat adat dan perempuan. Akan sangat baik apabila buku yang penting ini dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia agar dapat diakses lebih banyak orang.