Perkembangan karya sastra Indonesia, baik prosa, puisi, maupun drama, terasa dinamis dan cepat. Namun, perkembangan tersebut hanya terjadi di beberapa genre sastra. Berbeda dengan genre lainnya, perkembangan sastra genre saga di Indonesia tampak lebih lambat, bahkan terlihat ”mati suri”.
Sastra saga dikenal sebagai karya sastra yang mengisahkan kehidupan seorang pahlawan, tokoh dan keluarga terkenal, atau sebuah petualangan yang mengagumkan, bersifat kolosal dan identik dengan elemen-elemen epik, sejarah, budaya, dan filosofis dalam narasi. Di tengah kelangkaan karya sastra saga tersebut Ratih Kumala hadir dengan menerbitkan novel barunya yang berjudul Saga dari Samudra. Novel ini menjadi oase di tengah padang gurun krisis pertumbuhan karya sastra saga Indonesia.
Melihat fungsi karya sastra, menurut Horatius, karya sastra haruslah ”Dulce et Utile”, manis atau indah (menghibur) dan berguna (memberikan manfaat). Tak hanya memberikan manfaat, Günter Wilhelm Gras juga menyatakan bahwa sastra dapat sebagai salah satu sarana untuk mengingat dan memahami sejarah dan dapat mencerminkan kompleksitas sejarah. Apabila berbicara tentang sejarah, menurut Kuntowijoyo, dengan belajar sejarah, kita belajar jatuh cinta.
Tradisi menyantri
Saga dari Samudra terdiri atas 12 bab, terdapat ilustrasi janin dalam rahim di bagian awal cerita, kemudian penceritaan dibuka dengan penegasan ”Durhaka bukanlah saat seorang anak ingkar dari (perintah Tuhan untuk mematuhi bapak dan) ibunya. Namun, durhaka adalah ketika seorang Ibu membuang anaknya (hlm 1)”. Permulaan tersebut menjadi pemicu, tonggak awal, dan dasar cerita dalam novel ini sekaligus sebuah upaya untuk merekonstruksi persepsi pembaca.
Jaka Samudra dilarung oleh ibunya, ditemukan nakhoda Sobir dan diserahkan ke Nyai Ageng Pinatih, syahbandar terkenal dari Gresik. Diangkat menjadi anak dan dibesarkan penuh cinta kasih sampai Jaka besar, kemudian dikirim menyantri ke Kanjeng Sunan Ampel. Bermula dari sinilah sejarah Raden Paku atau Sunan Giri (Jaka Samudra) dimulai.
Tradisi menyantri dalam novel ini merepresentasikan tradisi lokalitas masyarakat Islam Nusantara sebagai jalan untuk memperdalam spiritualitas.
Tradisi menyantri dalam novel ini merepresentasikan tradisi lokalitas masyarakat Islam Nusantara sebagai jalan untuk memperdalam spiritualitas. Eksisnya tradisi menyantri menjadi sebuah alternatif jawaban dari permasalahan krisis identitas yang dihadapi Jaka Samudra.
Tradisi tersebut sudah ada sejak zaman kerajaan, khususnya kerajaan Islam di Nusantara. Para ahli waris kerajaan ketika telah memasuki usia yang cukup untuk belajar akan dikirim ke tokoh-tokoh agama atau ulama untuk menyantri, belajar berbagai hal dari yang umum hingga memperdalam spiritualitas, dan ketika keahliannya sudah mumpuni, layak dan siap untuk menjadi pemimpin.
Wacana feminis dan resistensi perempuan dalam novel ini terlihat dari kehadiran sosok Nyai Ageng Pinatih sebagai sosok perempuan pekerja yang terhormat, mandiri, kaya, bijaksana, tanggung jawab, dan memiliki pemikiran-pemikiran yang strategis untuk menjalankan roda perdagangannya.
Kemudian tokoh lain, yakni Dewi Sekardadu, ibu dari Jaka Samudra, digambarkan sebagai perempuan yang betah bertahan dan teguh pendirian serta mencoba melawan keadaan agar sang anak tidak dibunuh oleh para prajurit Blambangan, yaitu dengan melarung putranya. ”Dewi Sekardadu menangis seraya melepas bayi merah itu jauh ke tengah samudra, hingga peti yang menaunginya tak lagi terlihat” (hlm 2). Dua sosok perempuan inilah yang apabila dilihat lebih dalam dengan kacamata feminis akan menjadi sebuah pembahasan yang sangat menarik.
Metalepsis yang dihadirkan dalam novel ini memberikan efek yang estetis serta menjadi sebuah sarana penghormatan kepada pembaca untuk terlibat secara aktif dalam menginterpretasikan cerita.
Selain itu, novel ini sarat akan nilai moral dan nilai religius. Kanjeng Sunan Ampel sebagai guru dari Jaka Samudra banyak menyampaikan nilai religius, seperti keyakinan, kesabaran, kebijaksanaan, dan kejujuran, yang membentuk karakter dan pribadi Jaka Samudra. Menuntun Jaka Samudra dalam proses pencarian jati diri dan memilih jalan hidupnya sebagai pendakwah serta sebagai juru kunci yang mengetahui siapakah orangtua kandung Jaka Samudra.
Kemudian nilai toleransi juga tecermin dari cara syiar Sunan Ampel dan Sunan Giri (Jaka Samudra) dengan mengutamakan perdamaian dan menghargai perbedaan. Nilai-nilai tersebutlah yang saat ini kita perlukan di tengah banjirnya informasi dan teknologi di era post-truth ini.
Dalam novel ini metalepsis naratif bertebaran dalam setiap bab. Menurut Gérard Genette, metalepsis merujuk pada fenomena di mana batas-batas antara dunia fiksi dalam sebuah narasi dan dunia nyata menjadi kabur dan tumpang tindih. Terjadi penyertaan narator dalam cerita dan pelanggaran batas dalam narasi antara dunia nyata dan dunia fiksi. Dalam novel ini terjadi di awal ”Menurut Kisanak, apakah dia seorang ibu yang durhaka?” (hlm 2). Hingga akhir cerita ”Kukisahkan Saga dari Samudra untuk kisanak” (hlm 193).
Metalepsis yang dihadirkan dalam novel ini memberikan efek yang estetis serta menjadi sebuah sarana penghormatan kepada pembaca untuk terlibat secara aktif dalam menginterpretasikan cerita. Hal tersebut menjadi keunikan dari novel ini sekaligus menjadi hal yang ganjil dan luput dalam penyuntingan naskah karena metalepsis hadir dengan tidak konsisten dan berlebihan sehingga kehilangan konsistensi naratif serta memicu kurangnya kepuasan emosional yang didapatkan oleh pembaca.
Namun, hal tersebut mampu diatasi secara baik dengan penggambaran latar yang spesifik dan mudah diidentifikasi, kekuatan karakterisasi tokoh, alur yang mudah dipahami, bahasa yang bersahabat dengan pembaca, diksi yang sederhana namun padat makna, dan pesan moral yang disampaikan secara filosofis. Novel ini tak hanya berisi tentang asal-usul Jaka Samudra, sejarah wali sanga, tetapi juga tentang proses pencarian jati diri. Selamat membaca dan (kembali) belajar jatuh cinta.
Nita Puspita MahasiswaMagister Ilmu Susastra Universitas Indonesia, Awardee Beasiswa LPDP
Data Buku
Judul Buku : Saga dari Samudra
Penulis: Ratih Kumala
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Cetakan I, 2023
Tebal Buku: 193 halaman
ISBN: 978-602-06-7097-6