Jalan Melingkar, Mengintip Hermeneutika Paul Ricouer
Di tengah persaingan Pilpres 2024, buku "Jalan Melingkar" menyodorkan suatu metodologi memahami persoalan dengan melihat proses, mengidentifikasi makna, dan dengan demikian mencegah cepat dilupakan.
Oleh
ST SULARTO
·5 menit baca
Hermeneutika yang biasa dipakai dalam menafsir atau menginterpretasi teks-teks Kitab Suci oleh filsuf Paul Ricoeur (1913-2005) ditempatkan sebagai cara memahami berbagai persoalan; suatu long detour pencarian makna yang antijalan pintas, menelusuri jalan panjang yang sering memutar dan berliku (hlm 17); proses yang berseberangan dengan hermeneutika-hermeneutika sebelumnya, seperti versi Heidegger, misalnya, untuk menafsirkan ”Yang Ada” cukup lewat realitas eksistensial manusia atau versi Gadamer.
Buku ini tidak berbicara tentang sistem filsafat Paul Ricoeur dengan beragam tema, juga tentang hermeneutikanya yang sering disebut sebagai generasi ketiga. Nama filsuf Perancis abad XX itu kurang tenar dibanding Jacques Lacan dan Jacques Derrida. Tidak meledak-ledak dan membongkar, cenderung membangun jembatan-jembatan antarpelbagai tradisi pemikiran filsafat (hlm 35); sebuah sistematika. Pemikiran/filsafat hermeunetika dia pakai untuk memahami (menafsir) berbagai persoalan politik, etika, dan agama yang terjadi dalam masyarakat dengan jalan melingkar (detour).
Sebagai seorang Kristen Protestan, Ricoeur juga memakainya untuk menafsirkan teks-teks Kitab Suci. Hermeneutika Ricoeur pun diakui membantu menemukan kekayaan hermeneutika patristik, sarana menghubungkan Kitab Suci dengan kehidupan orang beriman. Ada yang menyebut Ricouer tidak menjelaskan tentang Kitab Suci dalam komunitas orang beriman, tetapi klarifikasi rasional atas eksistensi manusia di dunia, seorang ”ekseget (ahli tafsir Kitab Suci) akhir pekan” (hlm 70-71).
Dasar hermeneutika bukan sekadar pencarian makna lewat ”teks” yang terisolasi, tetapi pencarian makna eksistensi manusia.
Kreativitas
Dengan demikian, buku ini ibarat mengintip hermeunetika filosofis Ricoeur. Mengandaikan pembaca tahu filsafat hermeneutika, Ricouer memungutnya sebagai pisau analisis metodologi memahami berbagai persoalan manusia. Memang ada metodologi serupa (lebih sederhana dan pragmatis) yang beberapa tahun kemudian berkembang. Taruh contoh lateral thinking yang diperkenalkan Edward de Bono (Lateral Thinking: Creativity Step by Step, 1970) dalam kaitan membangun kreativitas berpikir yang kemudian dikembangkan YB Mangunwijaya dengan istilah nggiwar dalam kaitan pengembangan praksis pendidikan Sekolah Mangunan.
Baik dengan filsafat hermeneutika Ricoeur, lateral thinking Bono, maupun nggiwar Romo Mangun, yang dihasilkan adalah kreativitas. Buku ini pun diakhiri dengan tema kreativitas manusia, suatu daya yang masih mungkin ditemukan di tengah pelbagai impitan sebagai bangsa, utamanya masalah politik, etika, dan agama (hlm 137).
Berbagai problem manusia (politik, etika, dan agama) ibarat teks. Dasar hermeneutika bukan sekadar pencarian makna lewat ”teks” yang terisolasi, tetapi pencarian makna eksistensi manusia. Perjalanan dari diri ke diri ini selalu melewati liyan. Dalam pencarian diri yang tidak pernah terpuaskan oleh kehadiran liyan-liyan yang semakin menakutkan, Ricoeur membangun tradisi filsafat yang humanistik. Dengan hermeneutika, ia membangun kreativitas dalam melihat kompleksitas manusia dan kemanusiaannya.
-
Untuk mencapai pemahaman identitas (makna), Ricoeur menekankan perlunya kisah dan narasi, tidak hanya menjelaskan dengan cara kisah sastra-fiksi, peristiwa mengerikan masa lalu, tetapi juga pengingatan. Tujuannya menghindarkan peristiwa mengerikan terulang. Walaupun bagi korban, alih-alih penjelasan duduk perkara secara obyektif belumlah cukup karena ada dimensi amat personal dan etis bagi korban (hlm 54-55). Sementara tugas pengingatan adalah mempertahankan unsur mengerikan sebuah peristiwa agar tidak dihilangkan oleh penjelasan. Di samping itu, dengan narasi, kisah dan fiksi, hidup tidak menjadi dangkal.
Pilpres
Peristiwa Pilpres 2014 di Indonesia disampaikan dalam buku ini sebagai contoh kasus pemilu dan wacana kebangsaan dari kacamata hermeneutika Ricoeur (hlm 115-124). Dibanding pemilu-pemilu sebelumnya, dalam Pilpres 2014 wacana kebangsaan disuarakan dengan cara-cara dramatis, bahkan emosional. Tercipta terminologi-terminologi, seperti Indonesia Bangkit, Indonesia Kuat, Macan Asia, berikut beberapa situs sejarah dipakai untuk memberi aura nasionalis. Waktu itu dua kubu capres-cawapres bersaing mewacanakan kebangsaan. Prabowo tampil sebagai penerus cita-cita Soekarno, sementara pesaingnya, Joko Widodo, berasal dari sebuah partai yang secara historis lebih terhubungkan dengan figur dan warisan Soekarno.
Dalam orasinya, Prabowo menawarkan kerangka ekonomi yang amat nasionalis dengan nada antiasing. Narasi ini dia ulangi dalam Pilpres 2019 yang intinya kita masih dijajah (hlm 118-119). Ia menyodorkan visi negara yang mandiri dan sejahtera, yang tidak mengimpor pangan, warganya kecukupan protein sehingga bisa bersaing dengan negara lain. Terlihat dimensi utopis Prabowo mengenai nasionalisme.
Untuk mencapai pemahaman identitas (makna), Ricoeur menekankan perlunya kisah dan narasi, tidak hanya menjelaskan dengan cara kisah sastra-fiksi, peristiwa mengerikan masa lalu, tetapi juga pengingatan.
Menurut buku ini, meminjam istilah Ricoeur, pernyataan Prabowo menjadi utopis dalam pengertian negatif. Mengapa? Sebab, melupakan desakan realitas sekaligus mistifikatoris karena dengan sengaja menutupi bagian penting dari realitas. Kalau diberi ruang kuasa, mistifikatoris ini mengarah pada patologi politik yang serius.
Gaya Prabowo tecermin agak konsisten dalam modus ”intimidasi” yang sering mewarnai pelbagai orasinya (hlm 123). Ia berulang-ulang menyatakan tidak akan memakai kekerasan, tetapi hanya akan mengerahkan massa pendukungnya. Kenyataannya dalam proses pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), kubu pendukung Prabowo meneruskan modus intimidasi verbal disertai pengerahan massa: mengancam menculik Ketua KPU dan membakar sebuah stasiun televisi. Sementara pesaingnya membangun suatu kepemimpinan berbasis kultur, sebuah utopia otentik dalam arti ia dimunculkan dari rahim budaya rakyat (hlm 127).
Buku ini bukan sebuah analisis politik, apalagi analisis perpolitikan yang sedang berkembang aktual hari-hari ini. Karena itu, pastilah kesimpulan mistifikatoris Prabowo pada 2014 dan 2019 tidak otomatis akan terjadi pada Pilpres 2024 dengan Prabowo-Gibran Rahabuming Raka sebagai salah satu pesaing dari dua pasangan pesaing lainnya. Analisis politik berbeda karena akan disimpulkan, dalam setiap kampanye, niscaya jelas kelihatan mana jualan kecap, mana yang realistis. Itu pun baru sebatas janji yang akan direalisasikan ketika salah satu dari mereka terpilih.
Di tengah persaingan ketiga pasangan capres-cawapres 2024, buku Jalan Melingkar menyodorkan suatu metodologi memahami persoalan dengan melihat proses, mengidentifikasi makna, dan dengan demikian mencegah cepat dilupakan. Dengan itulah kesimpulan yang ditarik adalah kreativitas manusia dan bukan kepentingan praktis strategi/taktis menang perang.
Filsafat hermeneutika Ricoeur melengkapi pemahaman tentang problem-problem manusia dan kemanusiaan, utamanya tentang bagaimana proses menafsirkan.
Filsafat hermeneutika Ricoeur melengkapi pemahaman tentang problem-problem manusia dan kemanusiaan, utamanya tentang bagaimana proses menafsirkan. Buku ini meneguhkan kategorisasi Paul Ricoeur sebagai seorang pemikir humanis, mengarah pada terbangunnya good life, tata kehidupan yang kreatif, penuh keutamaan, mengajak manusia merajut identitas lewat pelbagai keterlibatan dalam banyak hal di luar dirinya. Paul Ricoeur sebagai murid setia Gabriel Marcel, seorang filsuf eksistensialis yang bertolak dari situasi konkret, menegaskan manusia tidak bisa hidup sendirian dan selalu koeksisten sekaligus otonom.
ST SulartoWartawan Kompas 1977-2017
DATA BUKU
Judul Buku: Jalan Melingkar. Menafsir Politik, Etika, dan Agama Bersama Paul