Media Perempuan Mencari Asa
Media perempuan secara umum dapat disebut sebagai media alternatif. Mereka hendak berkolaborasi terus memperjuangkan nilai dan kebijakan perempuan di media arus utama, serta memperjuangkan konten atau narasi alternatif.
Judul Buku : Kolaborasi Menolak Mati: Pemetaan Kondisi Media Perempuan di Indonesia
Penulis: Lestari Nurhajati, Nani Afrida, Nur Aini
Penerbit: Konde.co & Google News Initiative
Tahun Terbit: Cetakan I, 2023
Tebal Buku: 88 halaman
Buku ini diangkat dari sarasehan sejumlah media perempuan yang difasilitasi Google News Initiative, bekerja sama dengan Konde.co. Upaya ini perlu dihargai dalam rangka membangun jejaring antarpengelola media perempuan dari sejumlah daerah dan bersama sejumlah pengelola media arus utama yang memiliki halaman atau rubrik soal perempuan. Media perempuan secara umum dapat disebut sebagai media alternatif.
Sarasehan yang diselenggarakan sepanjang tahun 2023 dihadiri sembilan media arus utama dan 17 media alternatif. Mereka hendak menjawab tantangan memperjuangkan nilai dan kebijakan perempuan di media arus utama, serta memperjuangkan konten atau narasi alternatif media perempuan.
Media perempuan alternatif yang hadir berasal dari Aceh, Bengkulu, Jakarta, Bandung, Bali, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Untuk media arus utama, sebagian datang dari Jakarta, Surabaya, dan Surakarta.
Dari sarasehan ini, teridentifikasi tantangan yang dihadapi media perempuan alternatif di Indonesia. Mereka meliputi sumber daya manusia yang terbatas, keterbatasan keuangan, keharusan mengejar perkembangan teknologi, penyajian konten yang menarik, serta memperluas audiens.
Dari sarasehan ini, teridentifikasi tantangan yang dihadapi media perempuan alternatif di Indonesia.
Untuk media arus utama, tantangan terbesar terletak pada kultur patriarki dan isu perempuan yang kurang mendapat perhatian media. Tantangan lain ialah teknologi yang mengubah bisnis media, perubahan model bisnis, kepentingan pemilik media, dan tantangan memperluas audiens perempuan.
Kolaborasi antarmedia perempuan memiliki dua makna. Pertama, kolaborasi penting untuk mendukung satu media dengan media lainnya yang memiliki perspektif sama. Kedua, kolaborasi berarti kerja sama antarmedia untuk menumbangkan nilai patriarki.
Di sisi lain, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah sangat luas. Akibatnya, mungkin saja persoalan yang dihadapi kelompok perempuan di satu lokasi berbeda dengan kelompok perempuan di lokasi yang lain. Maka, kehadiran media yang memiliki perspektif perempuan diharapkan menjawab berbagai persoalan itu.
Persoalan lain yang juga ditemui sejumlah media perempuan berkaitan dengan keberlanjutan (sustainability), pengelolaan, serta keuangan. Ada pula tantangan untuk menampilkan konten yang baik, tetapi menarik dibaca.
Beberapa dari mereka dapat bertahan dalam beberapa tahun. Hal ini menunjukkan media tersebut bisa mengatasi masalah dana, pencarian audiens, dan mencari sumber daya yang mumpuni. Dapat dikatakan, media-media perempuan ini merupakan media alternatif, terutama jika dilihat dari sisi konten yang dihasilkannya, yaitu menawarkan cara pandang alternatif dalam melihat persoalan perempuan.
Chris Atton dalam bukunya, Alternative Media (2002), menyebutkan, pengertian media alternatifmengacu pada dua hal: produksi dan distribusi. Jika kita interpretasikan maksud Atton di sini, sebutan ’alternatif’ mengacu pada proses produksi media, yang mengutamakan konten-konten yang membela kelompok perempuan, mengangkat isu-isu yang dihadapi perempuan, dan kasus aktual yang relevan.
Sementara itu, jika merujuk pada urusan distribusi, kata alternatif disematkan untuk menunjukkan terobosan jalur-jalur distribusi yang bisa dilakukan. Dalam era digital, keberadaan media digital sudah menjadi suatu alternatif. Hal ini mendukung penyebarluasan konten-kontennya yang juga dianggap alternatif.
Buku ini menarik karena memberi wawasan lebih luas untuk melihat media perempuan di Indonesia. Sejak masa kolonial, sudah ada perempuan yang menjadi jurnalis.
Kita bisa melihat, media perempuan kini tak terpisahkan dari gerakan perempuan. Sebagai gerakan; banyak peristiwa atau isu dalam kehidupan sehari-hari, dengan perempuan (dan anak) jatuh menjadi korban kekerasan seksual.
Gerakan yang ada perlu lebih keras mengkritik praktik kekerasan tersebut dan meminta hukuman yang tinggi kepada pelakunya. Artinya, gerakan ini merespons peristiwa aktual.
Jika membicarakan media dan gerakan, kita bisa melihat audiens media bukan sebagai pihak yang pasif, hanya membaca dan tidak bereaksi apa pun. Sebaliknya, dalam era sekarang, ketika semua media bisa berinteraksi dengan pembacanya, hal ini menjadi peluang untuk pengembangan komunitas, sekaligus memperluas ruang kesadaran publik.
Buku ini menarik karena memberi wawasan lebih luas untuk melihat media perempuan di Indonesia.
Harapannya, audiens yang sudah terikat ini (engaged audience) menjadi bagian dari supporting system media itu. Pengelola media harus pandai merangkul audiens dan memberi ruang kepada hal yang disukai audiens, sembari tetap memberikan materi-materi yang dianggap penting.
Pers
Serba sedikit sejarah pers perempuan, mungkin ada beberapa catatan kecil di sini. Dalam buku disebut Tirto Adhi Soerjo dan Putri Hindia-nya. Jangan lupa, di Sumatera Barat, ada sosok Rohanna Koeddoes pada masa yang kurang lebih bersamaan waktunya dengan periode Kartini melakukan pemberdayaan perempuan di Jawa Tengah. Ia menjalankan hal yang sama bagi perempuan di kawasan Sumatera Barat.
Jika ingin melacak sejarah pers perempuan di Indonesia, bisa melihat apa yang telah ditulis oleh Hajar Nur Setyowati, Rhoma Dwi Aria Yuliantri (editor) Seabad Pers Perempuan 1908- 2008 (Yogyakarta: I:BOEKOE, 2008). Buku ini memberikan keterangan cukup lengkap terkait pers perempuan di Nusantara.
Terkait kisah perempuan jurnalis, pernah diterbitkan Wartawan Wanita Berkisah (Jakarta: Penerbit Indonesia Raya, 1974). Buku ini mengisahkan pengalaman lima perempuan jurnalis: SK Trimurti, Herawati Diah, Gadis Rasid, Kustiniyati Muchtar, dan Hanna Rambe.
Sosok jurnalis perempuan ditulis khusus pada buku tentang Herawati Diah, Kembara Tiada Akhir (1993), ataupun liputan dari perempuan jurnalis Kompas, Threes Nio, Laporan dari Lapangan (1995).
Baca juga : ”Mencintai Munir”: Upaya Suciwati Merekam Takdir
Kita berharap media perempuan, perempuan jurnalis, terus berjuang membuka kesadaran masyarakat luas akan kondisi patriarki, serta menggunakan media yang ada untuk membongkar dominasi patriarki tersebut. Semoga.
IGNATIUS HARYANTO, Dosen Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara Serpong, Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara.