”Mencintai Munir”: Upaya Suciwati Merekam Takdir
Buku ini ditulis seperti catatan diari keseharian, kekhawatiran, kesedihan, dan kebahagiaan, dari keluarga kecil Munir Said Thalib bersama Suciwati, dan buah hati mereka; Soultan Alif Allende dan Diva Suukyi Larasati.
Judul: Mencintai Munir
Penulis: Suciwati
Tahun terbit : Cetakan I, 2022
Tebal : xi + 372 halaman
Penerbit: Yayasan Museum HAM Munir
ISBN: 978-623-09-0361-8
Dalam dunia nyata, saya sering merasa apatis dengan kisah kepahlawanan. Biasanya saya mengonsumsinya dalam ranah fiksi untuk dijadikan hiburan. Saya tentu mengerti, kisah-kisah tadi bukan tidak ada, hanya akan sangat sedikit sekali orang yang akan bisa menyandangnya.
Ada orang yang begitu tulus membela orang-orang miskin dan terpinggirkan oleh lars kekuasaan, dan orang ini, dengan badan kurusnya menantang di garis depan. Dia hibahkan nyaris seluruh kehidupannya untuk korban, dan keluarga korban. Bukan hanya dalam advokasi pembelaan, melainkan juga waktu, tenaga, pikiran, menyisihkan harta dari gaji yang tidak seberapa, bahkan nyawa. Tidak berlebihan kiranya jika hal tersebut dinamakan sebagai ketulusan. Ketulusan itu pula yang seperti bersinonim dengan nama Munir Said Thalib.
Namanya melegenda karena perjuangannya. Hingga kemudian istri mendiang Munir, Suciwati memutuskan menulis dan menerbitkan buku berjudul ”Mencintai Munir” beberapa waktu lalu. Keputusan yang tepat. Mengikuti gambaran kiprah seorang Munir secara manusiawi dari orang terdekatnya sendiri.
Buku ini ditulis seperti catatan diary tentang keseharian, kekhawatiran, kesedihan, dan kebahagiaan, dari sebuah keluarga kecil Munir Said Thalib bersama Suciwati, dan dua buah hati mereka; Soultan Alif Allende dan Diva Suukyi Larasati.
Baca Juga: Mencintai Munir, Mencintai Perjuangan Kebenaran dan Keadilan
Membaca buku ini, seperti mengikuti alur perjalanan keluarga tersebut. Awal kisah bermula saat Munir dan Suciwati bertemu pada 1991, hingga kematian memisahkan. Munir diracun dalam perjalanan ke Belanda tahun 2004, lika-liku persidangan kasus pembunuhannya melelahkan. Suciwati berjuang menguatkan diri dan menenangkan kedua anaknya.
Kisah percintaan saat masa pacaran yang mengalami masa naik-turun, bahkan saat usia pernikahan baru tiga bulan, Suciwati seperti mengalami ada sekian gesekan di antara mereka. Ungkapan ingin berpisah oleh Suci terlontar, ditanggapi Munir dengan mengatakan untuk jangan mengatakan hal itu lagi. Munir meyakinkan bahwa menikah adalah kebersamaan menghadapi masalah. (hlm 49)
Tahun 1996, adalah awal pasangan muda itu hijrah ke Jakarta, ketika Munir berkantor di YLBHI, Jalan Diponegoro No 74, dan fase Orde Baru sedang galak-galaknya. Terjadi ‘Peristiwa 27 Juli 1996’ atau sering disebut kudatuli (kerusuhan dua puluh tujuh Juli). Peristiwa penyerangan kantor DPP PDI pro Megawati di jalan Diponegoro No 58 oleh barisan massa pro Soerjadi yang dibantu aparat keamanan.
Peristiwa yang membuat Munir semalaman tidak pulang, hingga kemudian saat keesokan harinya, Munir pulang dengan wajah pucat dan jari tangan telunjuk kiri yang diperban. Luka yang didapatnya karena mendorong tentara yang sedang menggebuk ibu-ibu, membuat Munir terjatuh dan tangannya diinjak tentara. Saat refleks menarik jari tangganya—karena injakan sepatu lars tentara tadi sangat kuat— cedera tidak terelakkan.
Dadang Trisasongko, kawan Munir yang saat itu bersamanya mengingatkan, serpihan daging dari ujung jari tangannya harus diambil, supaya bisa disambung lagi. Munir mengiyakan, dan kemudian mengantonginya. (hlm 47)
Suciwati semakin paham bahwa tugasnya menemani Munir adalah perjuangan yang tidak kalah sulit. Jika mereka sedang santai, menonton film di Megaria menjadi pilihan, jajan bakso Malang di Cikini atau mencari rujak cingur, bisa menjadi sedikit klangenan saat mereka kangen kampung halaman.
Seperti halnya saat mereka mudik, Suci menceritakan kegemaran Munir akan tongseng kambing dan udang oseng buatan Umik (orang tua Munir), dan saat di rumah orang tua Suciwati, Munir menyukai santapan menjes tempe kacang tanah yang dipenyet sambal, ditambah selada air disantap berkawan ayam goreng kampung dan nasi hangat. (hlm 76)
Teror bom
Tidak selamanya saat mereka berada di kampung halaman selalu dalam suasana syahdu. Teror dan ancaman seperti berkawan akrab, dan mengikuti mereka pergi.
Pada 20 Agustus 2001, ketika bermalam di rumah Umik, di Batu, dering telepon beberapa kali berbunyi saat dini hari. Munir mengangkat, dan dari seberang telepon mengatakan mengirimkan paket bom untuk Suciwati. Tujuannya untuk membuat Munir tidak vokal lagi. Kemudian dia membalas suara penelepon tersebut, Munir berteriak:
”Kenapa cuma kirim satu? Kirim yang banyak!”
Setelah telepon ditutup, mereka keluar. Di teras, persis di bawah jendela kamar Umik, ada bungkusan kresek hitam dan kotak di dalamnya. Tak lama mereka memutuskan lapor polisi. Pukul 07.00 pagi polisi datang dan tidak lama tim gegana menyusul. Bungkusan itu dibawa ke lapangan dekat persawahan, seberang jalan rumah Umik. Hingga kemudian suara ledakan terdengar, ternyata yang dikirim memang benar-benar bom. Pagi itu kota Batu dan sekitarnya geger. (hlm 113)
Bungkusan itu dibawa ke lapangan dekat persawahan, seberang jalan rumah Umik. Hingga kemudian suara ledakan terdengar, ternyata yang dikirim memang benar-benar bom.
Hal yang paling dikhawatirkan Suciwati sebenarnya adalah keselamatan suaminya, suatu saat ketika Munir sedang berbincang dengan para aktivis buruh di rumahnya, Munir mengungkapkan:
”Mati itu tidak bisa dihindari, meski sembunyi di lubang semut sekalipun, kalau waktunya mati, ya, mati. Aku sendiri, ya, tidak mengerti, tidak yakin aku bisa mendampingi anakku sampai umur 10 tahun.”
Hal yang didengarkan oleh Suciwati dan sempat membuat dirinya tercekat. (hlm 77)
Klimaks buku ini seperti berada di bab empat. Tak lama setelah Munir berpamitan di bandara Soekarno Hatta, untuk melanjutkan studi di Belanda. Tanggal 6 September 2004 pukul 21.05, pesan perpisahan yang dialamatkan Munir kepada Suciwati bertuliskan;
”Aku berangkat, cintamu mengiringi perjalananku. Peluk cium untukmu dan dua belahan jiwa kita. I love you.” (hlm 181)
Pesan itu menjadi pesan terakhir. Hingga kemudian saat keesokan harinya, Usman Hamid dari KontraS menelepon Suciwati, dan mengatakan: ”Sudah dengar kabar, katanya, Cak Munir meninggal?”
Hal yang dianggap oleh Suciwati sebagai bercandaan saja, tetapi ketika sore hari, kerabat, kawan, wartawan, keluarga korban pendampingan Munir berdatangan datang ke rumahnya. Ungkapan duka dan simpati hanya dianggap Suciwati sebagai angin lalu. (hlm 186)
Suci masih bersikukuh dengan keyakinannya bahwa Munir baik-baik saja.
Pada 8 September 2004, Suciwati bersama beberapa kawan dari KontraS dan Imparsial terbang ke Belanda. Hingga saat di depan pintu masuk mortuarium kamar mayat, Suci merasakan kaki yang terasa berat untuk melangkah, aroma kuat bahwa suaminya sudah tidak ada semakin tak terbendung.
Ketika kain yang menutupi sosok itu dibuka, jerit tangis Suciwati tak terhindarkan, tak kalah kerasnya, kawan-kawan yang mendampinginya juga berteriak penuh tangis. Jasad Munir sudah terbujur kaku, dingin dan membiru. (hlm 191)
Duka dalam diri Suciwati, keluarga, dan mereka yang mencintai Munir tidak dibiarkan berlarut. Dalam dua bab berikutnya, di bab lima dan enam, kisah pengungkapan dan pengadilan kasus kematian Munir yang ternyata dibunuh dengan cara diracun, seperti menjadi cerita detektif yang berliku dan menguras emosi.
Hasil autopsi atas jasad Munir, menjelaskan kematiannya akibat racun arsenik dengan kadar yang sangat mematikan. Dengan rincian di lambung sebanyak 460 miligram, urine sebanyak 4,8 miligram, di jantung sebanyak 3,1 miligram. Dosis sebanyak itu menurut ahli forensik, mampu membunuh dua ekor gajah sekaligus. (hlm 205)
Dalam fakta persidangan kemudian diketahui, kematian Munir adalah pembunuhan konspiratif dan berencana, yang melibatkan operasi intelijen bekerja sama dengan Pollycarpus Budihari Priyanto, yang saat itu berstatus pilot maskapai Garuda Indonesia dan berperan ganda. (hlm 233)
Baca Juga: Jalan Berliku Mengungkap Pembunuhan Munir
Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir yang dibentuk oleh lintas instansi negara dan masyarakat sipil menemukan dokumen empat skenario pembunuhan Munir; pertama dibunuh di dalam mobil, kedua disantet atau diteluh, ketiga dengan racun yang dimasukkan ke dalam makanan di kantor Imparsial, keempat diracun di dalam pesawat. (hlm 231)
Di era pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kasus Munir dinyatakan langsung oleh SBY sendiri sebagai test of our history. Sementara, presiden Jokowi di 2016, juga berjanji akan menyelesaikan kasus Munir. SBY terbukti gagal menjalankan tes sejarah yang dia ucapkan. Jokowi dalam hitungan bulan tak lagi menjabat presiden.
Sementara, otak pelaku atau inisiator pembunuhan Munir masih bebas berkeliaran.
Munir dan tentara
Hal yang menarik dan juga sering disalahpahami, ketika Munir dianggap membenci tentara, padahal hal tersebut keliru. Di halaman 340, ketika suatu kali Munir dan Suciwati berada di stasiun kereta api menuju Malang, ada seorang tentara yang menghampiri Suciwati, dan menyapa:
”Sore Bu, apakah beliau (sambil menunjuk ke arah Munir), benar Pak Munir? Saya mau berterima kasih apakah diperbolehkan?”
Suciwati kemudian mengangguk, belum selesai dirinya menjawab, Munir sudah berada di sebelahnya, dan dengan cepat tentara tersebut memberi hormat, lalu mengulurkan tangan:
”Pak Munir, kami berterima kasih karena memikirkan kami prajurit rendahan. Jenderal kami saja mungkin tidak berpikir seserius Bapak.”
Bahkan, dalam kasus penghilangan paksa 1997-1998 yang Munir advokasi, sejumlah prajurit Kopassus yang terlibat operasi Tim Mawar dan dihukum, beberapa istri mereka melaporkan ketidakadilan yang dialami suami-suaminya, KontraS dan Munir menerima mereka dengan tangan terbuka.
Munir peduli kepada tentara-tentara kelas bawah yang kesejahteraannya terabaikan. Itu advokasinya terhadap Undang-Undang TNI, yang salah satu pasalnya membela kesejahteraan prajurit. Pasal 49 dari Undang-Undang tersebut kemudian dikenal sebagai “pasal Munir”
Saya membayangkan kemudian, dari buku Mencintai Munir ini, Suciwati seperti sedang menulis catatan panjang, yang kelak juga akan dibaca oleh Munir. Hingga kemudian saat keluarga mereka berkumpul bersama kembali, keluarga kecil itu membahasnya sembari tertawa, haru, dan misuh bersama. Ditemani ikan peliharaan di akuarium, Joni si ayam kampung yang berkokok di kandang belakang, dan Honda Astrea yang terparkir di halaman depan, lengkap dengan lengkingan rekaman Gary Moore yang membawakan Still Got the Blues, lagu kesukaan mereka dari ruang tengah.
HUSNI EFENDI, Penulis Lepas