Mencintai Munir, Mencintai Perjuangan Kebenaran dan Keadilan
Mencintai Munir bukanlah sekadar mencintai sosok manusia yang diciptakan dengan kelemahan-kelemahan. Mencintai Munir adalah mencintai perjuangan menegakkan HAM.
”Dia tidak pernah membicarakan dirinya, tapi orang-orang yang didampinginya”.
Mencintai Munir bukanlah sekadar mencintai sosok manusia yang diciptakan dengan kelemahan-kelemahan. Mencintai Munir adalah mencintai perjuangan menegakkan hak asasi manusia (HAM).
Mungkin demikian perasaan Suciwati (54) sekarang, istri almarhum Munir Said Thalib, aktivis penegakan HAM yang dibunuh saat perjalanan menuju Belanda. Kejadian pilu yang mencerabut Munir dari sisi keluarganya itu terjadi pada 7 September 2004. Meski telah bertahun-tahun berlalu, kasus ini masih menyisakan kabut.
Di antara selimut kabut pembunuhan Munir, Suciwati mencoba bertahan dengan semangat dan keberanian sebagaimana ia selama ini mendampingi Munir. Bagaimana hari-hari mereka berdua tak lepas dari dunia advokasi buruh, tanah, dan lainnya.
Baca juga: Aksi Bjorka Momentum Tuntaskan Kasus Munir

Buku Mencintai Munir karya Suciwati. Buku tersebut dibedah di Universitas Brawijaya Malang pada Jumat (14/10/2022). Hadir sebagai narasumber peneliti senior Imparsial Al Araf (kanan), dosen sastra UB Yusri Fajar (kedua dari kanan), dan Suciwati (kedua dari kiri).
”Dia tidak pernah bicara tentang dirinya, tapi tentang orang-orang yang selama ini ia dampingi. Itulah pesonanya sehingga saya jatuh cinta,” kata Suciwati mengenang almarhum suaminya.
Kenangan demi kenangan Suciwati tersebut ditulis dan dibukukan menjadi sebuah buku Mencintai Munir (2022). Selama 18 tahun sejak kematian Munir, Suciwati mencoba mengumpulkan lagi keping kenangan bersama suaminya. Bertarung dengan ingatan dan kepedihan. Di antara kepedihan dan luka, Suciwati mengingat-ingat setiap detail kebahagiaannya bersama Munir. Mulai dari saat mereka kenal, hidup berumah tangga, bersama-sama berjuang menegakkan HAM, hingga akhirnya saat hidup Munir direnggut paksa.
”Saya menulis buku ini bukan untuk mengultuskan sosok Cak Munir. Saya menulis karena disinformasi itu luar biasa. Untuk menuliskan sejarah yang benar. Ini karena oleh pihak-pihak tertentu, Munir selalu didiskreditkan sebagai antek asing dan sebutan-sebutan lain yang tidak benar. Melalui buku ini, semoga generasi penerus akan tahu bahwa inilah kisah yang benar,” tutur Suciwati di sela-sela Bedah Buku dan Diskusi Buku ”Mencintai Munir” di Universitas Brawijaya, Jumat (14/10/2022).
Buku tersebut, menurut Suciwati, sekaligus ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan masyarakat tentang sosok Munir. Sosok di balik keberaniannya dalam menegakkan HAM, melawan pejabat hingga aparat.
Baca juga: Munir dalam Revelasi

Buku Mencintai Munir karya Suciwati. Buku tersebut dibedah di Universitas Brawijaya Malang pada Jumat (14/10/2022).
Dalam buku setebal 372 halaman yang ditulis Suciwati sejak September 2021 tergambar sosok Munir yang meski garang saat berjuang, tetapi adalah seorang penyayang. Bagaimana sosok seberani Munir tetap saja malu-malu dan njlimet (berbelit) saat mengungkapkan cinta kepada Suciwati.
Hingga keduanya menikah pada 7 Juni 1996, Suciwati berkisah bahwa aktivisme penegakan HAM tak pernah surut dari kehidupan mereka. Ditinggal pergi ke luar kota untuk membantu buruh menerima haknya, bukan sekali dua kali. Hampir tak pernah sepi.
Lalu apakah pernah tebersit rasa takut untuk keduanya? Tentu saja. Namun, apakah itu menyurutkan semangat keduanya berjuang? Rasanya tidak. Bahkan, hingga maut memisahkan keduanya.
”Suatu ketika Cak Munir pernah berkata. Saat itu, ia sedang bersiap membantu Kontras. Katanya: Cik, aku mau membuat lembaga baru untuk advokasi orang hilang dan tindak kekerasan yang dilakukan negara. Yang pasti nanti lawannya militer dan orang-orang yang mempunyai jabatan tinggi. Yang jahat, kejam, korup, dan culas. Bagaimana menurutmu?” tutur Suciwati menirukan Munir.
Baca juga: Munir dalam Sepotong Mural, 17 Tahun Menolak Lupa

Warga melintas di depan mural yang melukiskan wajah Munir, pejuang hak asasi manusia, di kawasan Dinoyo, Kota Malang, Sabtu (22/2). Meskipun telah meninggal, perjuangan dan semangat Munir tetap dilanjutkan oleh para penerusnya.
Saat itu, Suciwati balas bertanya: Apa sih risiko tertinggi dari orang hidup? Munir menjawab mati. ”Kalau risiko orang hidup adalah mati, mau enggak ngapa-ngapain juga akan mati. Berjuang melakukan sesuatu yang berguna, mati juga. Kalau jalan sunyi, itu adalah pilihan hidupmu, aku hanya akan selalu ada untuk mendukungmu,” kata Suciwati membalas.
Dialog dua suami istri tersebut menggambarkan bagaimana perjuangan menegakkan HAM adalah napas keduanya. Membela orang tertindas adalah bagian dari cerita keduanya, setiap saat.
Hingga akhirnya, saat hidup Munir direnggut paksa, betapa Suciwati sunguh terpukul. ”Cak, kenapa harus kamu yang meninggal dunia? Kamu lebih dibutuhkan bangsa ini. Seharusnya itu aku saja,” kata perempuan asal Ciptomulyo, Kota Malang, tersebut dalam ratapannya.
Hanya orang hidup yang bisa membela orang mati.
Namun, kepedihan itu pula yang kemudian menyadarkan Suciwati. Bahwa, pertemuannya dengan Munir adalah saat berjuang menentang ketidakbenaran. Oleh karena itu, meski Munir tiada pun, perjuangan itu tak boleh ikut terhenti. Harus tetap berjalan. Sepenggal kalimat dari Munir, adalah titik balik kebangkitan Suciwati yang saat itu ingin turut mati bersama Munir.
”Hanya orang hidup yang bisa membela orang mati,” demikian kalimat Munir yang seolah menjadi suntikan semangat bagi Suciwati untuk meneruskan laku perjuangan mereka.
Baca juga: Komnas HAM Belum Satu Suara soal Kasus Pembunuhan Munir

Sejumlah pengunjuk rasa yang tergabung dalam Solidaritas Masyarakat untuk Kasus Munir dengan mengenakan topeng pejuang HAM Munir mendatangi Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (21/6).
Al Araf, peneliti Senior Imparsial, yang menjadi salah satu narasumber dalam bedah buku tersebut, menyebut bahwa buku tersebut bukan sekadar tentang romansa Munir dan Suciwati. ”Ini adalah tentang mencintai kehidupan dan kemanusiaan,” katanya.
Sebagai seorang aktivis, yang belakangan cenderung kian pesimistis dengan keberhasilan perjuangan menyuarakan yang tak bisa bersuara, Al Araf menyebut buku itu adalah penyemangat. ”Bagi saya buku ini seolah menampar kami para aktivis, yang rasa-rasanya kian pesimistis dan frustrasi menghadapi kondisi sosial politik negara yang kian tak menentu,” katanya.
Adapun dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, Yusri Fajar, yang juga turut menjadi narasumber bedah buku, mengatakan bahwa buku tersebut membawa pembaca ke dunia hibrid. Yaitu di satu sisi dunia aktivisme dengan ancaman-ancaman besar, dan di sisi lain dunia personal Munir dan keluarganya.
Dan dari itu semua, menjadi istri dan anak Munir terasa cukup berwarna. Susah, sekaligus senang. ”Menjadi anak Abah itu ada susah dan senangnya. Senang karena saya sebagai mahasiswi Fakultas Hukum UB, jadi buku-buku Abah bisa diturunkan ke saya dan bisa saya pakai. Susahnya, orang cenderung melihat kami dengan citra sedih dan menangis-nangis. Empati itu selalu digambarkan dengan kesedihan. Padahal tidak. Ada senangnya,” kata Diva Suukyi Larasati, anak kedua Munir sambil tersenyum.
Demikianlah ingatan akan Munir. Mengingatnya adalah penguat dalam memperjuangkan hak bagi banyak orang.
Baca juga: Rentetan Kasus Gelap yang Belum Terungkap Kepolisian