Informasi dari Bjorka menjadi pengingat bagi negara, utamanya aparat penegak hukum, untuk mengungkap dan menghukum dalang di balik pembunuhan aktivis Munir, 18 tahun silam.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyebutan nama Muchdi Purwopranjono sebagai orang di balik pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib oleh akun peretas Bjorka harus dijadikan momentum untuk menuntaskan pengusutan kasus tersebut. Selama 18 tahun berlalu sejak kematian Munir pada 7 September 2004 lalu, kalangan aktivis menilai pengungkapan masih terbatas pada pelaku lapangan.
Penyebutan nama Muchdi Purwopranjono tersebut mencuat di jaga dunia maya setelah akun peretas Bjorka membukanya melalui grup Telegram, Bjorkanism, Minggu (11/9/2022). Kata kunci Bjorka juga viral di media sosial. Bjorka menyebut bahwa Muchdi berada di balik pembunuhan Munir.
”Saya akan memberi Anda sebuah nama jika Anda bertanya siapa yang berada di balik pembunuhan Munir. Dia adalah Muchdi Purwopranjono yang saat ini menjabat Ketua Umum Partai Berkarya,” tulis Bjorka.
Akun yang juga membocorkan data sejumlah pejabat negara itu menuliskan bahwa Muchdi yang menjabat Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus) tidak senang kepada Munir. Sebab, Munir sangat vokal mengungkap pelaku penculikan terhadap 13 aktivis periode 1997-1998 adalah anggota Kopassus yang dikenal dengan Tim Mawar.
Akibat pengungkapan itu, Muchdi diberhentikan dari jabatannya. Pada 27 Maret 2003, Muchdi diangkat menjadi Kepala Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN). Posisi itu disebut Bjorka membuka banyak peluang untuk menghentikan aktivitas Munir yang merugikan Muchdi.
Muchdi juga memanfaatkan jaringan non-organik BIN, mantan pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto, untuk membunuh Munir. Sebab, Munir diketahui terbang ke Belanda menggunakan Garuda Indonesia.
Sekretaris Jenderal Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) Bivitri Susanti saat konferensi pers di Kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Jakarta, Selasa (13/9/2022), menilai, aksi Bjorka menjadi pengingat bagi pemerintah untuk menuntaskan kasus pembunuhan Munir. Sekalipun apa yang diungkapkan Bjorka bukanlah hal yang baru karena pernah menjadi temuan tim pencari fakta (TPF) kasus Munir, hal itu mesti ditindaklanjuti oleh negara, terutama aparat penegak hukum.
”Kami semua mengingatkan kembali soal kasus Munir yang sudah 18 tahun belum ada kejelasan siapa dalangnya, hanya pelaku di lapangan. Padahal, ini kasus yang sangat sistematis,” ujarnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Arif Maulana mengatakan, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono pernah menyebut bahwa kasus Munir merupakan ujian sejarah bangsa. Namun, hingga 18 tahun setelah kematian aktivis HAM itu, negara tidak pernah mengungkap dalangnya. Hanya tiga pelaku di lapangan yang dijatuhi hukuman. Artinya, sekalipun presiden telah berganti, Indonesia belum bisa menyelesaikan ujian tersebut.
”Kalau melihat hasil penyelidikan tim pencari fakta yang dibentuk di era Presiden Yudhoyono, seharusnya pelakunya terdiri dari empat lapis, bukan hanya pelaku di lapangan,” katanya.
Arif menilai, dua presiden terakhir cenderung mendiamkan kasus Munir tidak diselesaikan. Ada kecenderungan tidak mau mengungkap secara tuntas kasus pembunuhan Munir. Hal itu terlihat dari tidak adanya upaya dari kepolisian untuk mencari bukti-bukti baru dan memeriksa nama-nama lain yang diduga terlibat dalam kasus Munir. Selain itu, Jaksa Agung pun tidak mengambil upaya hukum peninjauan kembali atas vonis bebas yang dijatuhkan majelis hakim kepada Muchdi.
Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai, seluruh fakta, bukti, dan petunjuk untuk menuntaskan kasus pembunuhan Munir. Namun, belum terlihat kemauan politik dan kesungguhan dari pemerintah untuk menuntaskan kasus Munir hingga pelaku utama pembunuhan. Dokumen dari tim pencari fakta pun lebih dari cukup jika ditindaklanjuti oleh penegak hukum.
”Informasi dari Bjorka memang menjadi momentum bagi Presiden Jokowi untuk menunjukkan keseriusan dengan mengambil langkah nyata di sisa dua tahun pemerintahan,” ucapnya.
Ketua Cetra Initiative Al Araf mengatakan, pengungkapan kasus Munir menjadi kewajiban konstitusional negara. Sebab, secara konstitusi, Indonesia menganut negara hukum dan proses hukum atas kasus ini belum tuntas. ”Ini tanggung jawab konstitusional. Pemerintah tidak boleh lari dari tanggung jawab konstitusional dalam kasus Munir,” katanya.
Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti menambahkan, tim ad hoc yang akan dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia harus dipastikan bisa bekerja dengan aman dan mendapatkan akses yang terbuka terkait informasi yang dibutuhkan. Pengungkapannya pun jangan sampai terhenti apabila komisioner Komnas HAM akan berganti dari periode sekarang.