Membaca Jejak Kebijakan Moneter The Fed
Pesan utama yang ingin disampaikan oleh Ben S Bernanke terungkap pada bagian pertama buku ini adalah tentang betapa pentingnya independensi di dalam tubuh bank sentral.

Buku 21st Century Monetary Policy: The Federal Reserve from the Great Inflation to Covid-19 oleh Ben S Bernanke.
Judul: 21st Century Monetary Policy: The Federal Reserve from the GreatInflation to Covid-19
Penulis: Ben S. Bernanke
Penerbit: WW Norton & Company
Tahun Terbit: Cetakan I, 2022
Tebal Buku: 512 halaman
ISBN: 1324020474; 9781324020479
Buku berjudul 21st Century Monetary Policy: The Federal Reserve from the Great Inflation to Covid-19 ibarat mesin waktu yang membuat kita bisa menapaki jejak-jejak dinamika kebijakan moneter Amerika Serikat dari masa lampau hingga sekarang.
Penulis buku ini adalah Ben S Bernanke, Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) periode 2006 hingga 2014. Oleh karena itu, perspektif tulisan yang digunakan di sini akan sangat multidimensional karena selain ia memiliki pengalaman langsung terlibat dalam perumusan kebijakan moneter di AS, Bernanke juga menggunakan perspektifnya dari sisi masyarakat umum dan akademisi. Hal ini mengingat penulis juga sempat menjabat Profesor Ekonomi di Princeton University.
Secara sederhana, buku ini terbagi ke dalam empat bagian, yaitu periode the great inflation (1970-1980), periode krisis keuangan global (2007-2008), periode lift off-pandemi COVID-19 (2020-2021), dan evaluasi kebijakan moneter AS.
Pentingnya independensi bank sentral
Pesan utama yang ingin disampaikan oleh penulis pada bagian pertama buku ini adalah tentang betapa pentingnya independensi di dalam tubuh bank sentral. Penulis memaparkan bagaimana kebijakan The Fed yang kerap kali diintervensi oleh pemerintah justru membuat ekonomi AS di era 1970-1980-an carut-marut karena tekanan inflasi yang tidak kunjung reda dan diiringi oleh tingginya tingkat pengangguran.
”Oil Price Shock” yang terjadi pada tahun 1970-an gagal direspons dengan baik oleh The Fed, karena kala itu Presiden Richard Nixon merasa kebijakan itu tidak populer, terlebih mengingat dia akan mengikuti pemilihan presiden untuk kali kedua. Oleh karena itu, Nixon mengintervensi Arthur F Burns, Gubernur The Fed saat itu, untuk tidak menaikkan suku bunga karena takut akan menurunkan elektabilitasnya. Alih-alih menaikkan suku bunga, Nixon justru berharap Arthur menurunkan suku bunga karena itu adalah kebijakan yang lebih disukai masyarakat karena akan bisa menurunkan tingkat pengangguran.
Pesan utama yang ingin disampaikan oleh penulis pada bagian pertama buku ini adalah tentang betapa pentingnya independensi di dalam tubuh bank sentral.
Rentetan intervensi tersebut justru membuat inflasi di AS meroket mencapai lebih dari 14 persen dan pengangguran yang juga tinggi di atas 10 persen. Era kelam ini baru usai setelah Paul Volcker, Gubernur The Fed setelah Arthur, menaikan tingkat suku bunga secara masif untuk meredam inflasi yang tentunya bisa leluasa dilakukan di bawah era presiden AS yang baru: Gerald R Ford. Selain menekankan tentang pentingnya independensi bank sentral, penulis juga memberikan refleksi akan peran utama bank sentral yang harus menjadi penyeimbang siklus ekonomi (counter cyclical) agar ekonomi tetap berjalan dengan aman dan optimal.
Sinergi pemulihan dan pentingnya komunikasi
Pada bagian kedua dan ketiga, penulis fokus menjelaskan dinamika perekonomian AS di masa krisis finansial global pada tahun 2007-2008. Pengalaman sebagai Gubernur The Fed di era krisis finansial global membuat penulis secara fasih dan apik menjelaskan langkah-langkah The Fed untuk menyelamatkan sistem keuangan dan ekonomi AS di masa tersebut. Sementara pada bagian ketiga, penulis akan membahas kebijakan The Fed di era pandemi Covid-19 yang terbilang sukses menstimulus perekonomian AS dan terhitung lebih cepat pulih dibandingkan saat krisis keuangan global.
Dari dua krisis tersebut, terdapat dua benang merah yang bisa ditarik. Pertama, upaya pemulihan pasca krisis akan berjalan optimal apabila ada sinergi yang baik antara otoritas fiskal maupun moneter. Penulis berulang kali menggaris bawahi bagaimana the Fed terus mendorong pemulihan ekonomi pascakrisis seperti dengan penetapan suku bunga acuan rendah di kisaran 0 persen ataupun melalui quantitative easing (QE), di mana upaya tersebut adalah bentuk sinergi The Fed dengan pemerintah yang kala itu juga terus mengucurkan insentif fiskal seperti American Recovery and Reinvestment Act of 2009 dan the CARES Act di tahun 2020.

Ben S Bernanke saat berbicara dalam sebuah konferensi pers di the Federal Reserve , Washington, 18 Desember 2013.
Kedua, penulis juga menekankan perlunya transformasi komunikasi kebijakan yang dilakukan oleh The Fed. Hal tersebut karena komunikasi kebijakan The Fed sebelumnya terkadang dianggap ambigu sehingga masyarakat dan pasar kerap kali salah merespons. Oleh karena itu, di era Bernanke menjabat sebagai Gubernur, ia melegitimasi Summary of Economic Projections (SEP) yang bertujuan untuk mengkomunikasikan arah kebijakan The Fed ke depan secara komprehensif dan jelas kepada publik.
Transformasi komunikasi kebijakan itu kemudian dilanjutkan oleh Gubernur The Fed setelah Bernanke, yaitu Jay Powel, melalui ”Fed Listens”, forum diskusi dua arah dengan multistakeholders. Dalam forum diskusi tersebut, The Fed meminta feedback dari kebijakan moneter yang telah dilakukan. Komitmen besar Bernanke terhadap prinsip keterbukaan dan komunikasi The Fed sangat tecermin dari kutipan yang pernah ia tulis di blognya: ”I occasionally observed that monetary policy is 98% talk and only two percent action”.
Refleksi kebijakan
Pada bagian terakhir, Bernanke mengajak kita bersama-sama merefleksikan instrumen kebijakan yang digunakan oleh The Fed dari waktu ke waktu. Penulis juga dengan rendah hati menyerukan agar The Fed bisa belajar tentang instrumen kebijakan alternatif dari bank sentral kawasan lainnya yang kiranya bisa diadaptasi untuk mendapat solusi atas masalah perekonomian di AS. Terlebih, tantangan perekonomian AS dan global ke depan kian kompleks dan tidak menentu.
Baca juga: ”Angsa Hijau” yang Menyelamatkan Kehidupan Bersama
Terakhir, penulis mengharapkan The Fed bisa berkontribusi kepada masyarakat secara lebih luas, di luar mandat dan otoritas yang dimilikinya, seperti terlibat aktif dalam isu perubahan iklim dan pengentasan ketidakmerataan.
Buku ini memberikan ide dan wawasan segar tentang dinamika kebijakan moneter dalam merespons kondisi ekonomi keuangan yang tidak menentu. Bernanke mengemas berbagai kebijakan moneter, yang selama ini dikenal cukup kompleks, menjadi obrolan asyik nan sederhana ala warung kopi.
MUHAMAD RIFKI MAULANA,Asisten Manajer Senior di Bank Indonesia dan kini tengah tugas belajar S-2 di University of Michigan, Amerika Serikat.