”Angsa Hijau” yang Menyelamatkan Kehidupan Bersama
Kehadiran buku ”Green Swans: The Coming Boom in Regenerative Capitalism” karangan John Elkington, sang ”Godfather of Sustainability”, menjadi salah satu literatur yang layak dibaca dalam proses kontemplasi transformasi.
Pengarang: John Elkington
Judul: Green Swans: The Coming Boom in Regenerative Capitalism
Penerbit: Fast Company Press, New York
Tahun terbit: 2020
Jumlah halaman: xii + 284 halaman
ISBN: 978-1732439122
Warna hijau kerap diasosiasikan dengan makna alami dan daya hidup. Ketika mata kita melihat bidang berwarna hijau, tertangkap nuansa ketenangan. Ahli kesehatan bahkan merekomendasikan untuk sejenak mengalihkan pandangan pada tanaman hijau setelah menatap layar komputer cukup lama agar mata kembali segar.
Di sisi lain, hijau juga menjadi simbol uang dan ketamakan ( greed). Istilah ” greenback” yang menggunakan warna hijau bahkan digunakan sebagai slang dalam menyebut dollar AS. Menjadi paradoksal ketika warna hijau yang dapat menggambarkan ketamakan manusia lambat laun merusak kealamian lingkungan dan daya hidup yang direpresentasikan warna yang sama.
Kapitalisme yang mulanya condong pada idealitas pasar bebas demi inovasi dan persaingan sehat dirasa telah menembus batas dan membawa dampak buruk bagi lingkungan. Fenomena perubahan iklim pun disadari sebagai problematika kolektif yang mengancam kehidupan. Diskursus perubahan iklim lantas makin intens memasuki dekade 2020-an.
Kehadiran buku Green Swans: The Coming Boom in Regenerative Capitalism karangan John Elkington, sang ”Godfather of Sustainability”, menjadi salah satu literatur yang layak dibaca dalam proses kontemplasi transformasi guna beradaptasi dan memitigasi dampak perubahan iklim.
Kapitalisme yang mulanya condong pada idealitas pasar bebas demi inovasi dan persaingan sehat dirasa telah menembus batas dan membawa dampak buruk bagi lingkungan.
Pertama membaca judul buku ini, kita langsung dapat menerka bahwa ”angsa hijau” ( green swan) tak lepas dari dua metafora ”angsa” yang lebih dulu muncul. Memang benar, buku yang terdiri atas delapan bab ini diawali dengan iterasi penjelasan ”angsa” hitam yang diteorikan oleh Nassim Nicholas Taleb dalam The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable (2007). Elkington mendeskripsikan ulang ”angsa” hitam dengan karakterisasi kejadian tak terduga dan amat jarang terjadi, di luar ekspektasi wajar, dengan dampak luas dan ekstrem, serta hanya dapat dijelaskan setelah terjadinya.
Iterasi teori berikutnya adalah ”angsa” yang ”diwarnai” abu-abu oleh Robert Walker, Presiden Population Institute, yakni kejadian yang kemungkinannya kecil terjadi, tetapi dapat terjadi dan semestinya diantisipasi. Elkington sekilas mengingatkan bahwa gagalnya mengantisipasi ”angsa” abu-abu akan membawa dampak yang sama parahnya dengan ”angsa” hitam.
”Angsa” hijau kemudian diusung Elkington sebagai solusi mengatasi ”angsa” hitam dan abu-abu. Munculnya ”angsa” hijau umumnya dikatalisasi oleh tantangan ”angsa” hitam dan abu-abu (atau gabungan keduanya), yang membawa kemajuan ( progress) eksponensial bagi kesejahteraan. ”Angsa” hijau versi Elkington mengingatkan kita agar tak salah menafsirkan metafora tersebut sebatas ”angsa” hitam dalam konteks perubahan iklim. Patut diakui, saya sendiri pun melakukan kesalahan tersebut sebelum tercerahkan buku ini.
Membatalkan dasar tripel
Elkington pada tahun 1997 mencetuskan dasar tripel ( triple bottom line) dalam pemikiran keberlanjutan dan tanggung jawab sosial perusahaan melalui bukunya Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Business. Dasar tersebut terdiri atas ” people, planet, profit” (manusia, planet, keuntungan). Tetapi, Elkington menjadi sangat terkenal justru ketika pada tahun 2018 menarik kembali konsep triple bottom line (TBL).
Ia lebih lanjut lagi menyatakan, TBL semestinya menggugah pemikiran mendalam mengenai kapitalisme dan masa depannya, alih-alih menjadi sebatas alat akuntansi ( accounting tool).
Elkington menyatakan kekhawatirannya dalam buku ini bahwa TBL dapat salah digunakan dan memunculkan anggapan bahwa perusahaan berada dalam lintasan yang benar, meskipun dunia mengarah pada keluaran ”angsa” hitam atau abu-abu. Ia lebih lanjut lagi menyatakan TBL semestinya menggugah pemikiran mendalam mengenai kapitalisme dan masa depannya, alih-alih menjadi sebatas alat akuntansi ( accounting tool). Pandangan pesimistis tersebut memang valid, senada pula dengan majalah The Economist yang secara gamblang menyatakan ”mantra” ESG ( environmental, social, and governance) tidak akan menyelamatkan bumi sehingga fokus seharusnya hanya pada huruf ”E” di awal.
Mewujudkan ”angsa” hijau
Elkington secara realistis mengungkapkan bahwa menghadirkan ”angsa” hijau tidak bisa instan, namun perlu perjuangan jangka panjang. Tantangan masa depan pun sulit diprediksi. Dalam perlintasan transformasinya, Elkington mengenalkan metafora ”anak itik” yang buruk ( ugly duckling) sebagai konsep tahap awal, pola pikir, teknologi, atau modal dengan potensi tumbuh kembang apakah akan menjadi ”angsa” hitam atau hijau.
Elkington pun menekankan pada rupa sejati ”angsa” hijau. Ia menyebut pentingnya kesesuaian dobrakan dengan kebutuhan masa depan ( future fit). Kepakan sayap ”angsa” hijau dapat bermanfaat melalui kapitalisme regeneratif ( regenerative capitalism).
Elkington menyebut perusahaan bersifat regeneratif jika menganut nilai yang berorientasi pada sistem ( system value) sebagai tahap pamungkas dari transformasi. Mulanya, perusahaan berorientasi pada pemegang saham ( shareholder value), di mana keuntungan finansial adalah satu-satunya yang penting. Proses transformasi dimulai saat perusahaan beranjak pada kesadaran atas nilai bersama ( shared value).
Pada tahap itu, keuntungan bisnis tetap yang utama, namun mulai sadar perlunya pengelolaan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan agar tak terlampau merugikan. Tahap puncak transformasi adalah perusahaan regeneratif yang menganut system value, dengan kesadaran tertinggi bahwa bisnis perusahaan merupakan bagian dari masyarakat dan lingkungan. Perusahaan yang menjunjung system value tak lagi merugikan masyarakat dan secara ideal akan berkontribusi dalam penciptaan kemajuan masyarakat yang future fit.
Elkington menyebut perusahaan bersifat regeneratif jika menganut nilai yang berorientasi pada sistem ( system value) sebagai tahap pamungkas dari transformasi.
”Telur” emas ”angsa” hijau
Buku ini mengilhami saya dalam membuat tulisan ”Menghijaukan Pasar Keuangan Indonesia” di harian ini (3/1/2023). Saya pun sampai pada kesimpulan bahwa ”angsa” hijau harus hadir dalam pasar keuangan Indonesia demi kemanusiaan yang sinambung.
Buku ini pun cocok dibaca berbagai kalangan, mulai dari akademisi, penggiat lingkungan, hingga pelaku bisnis. Materinya juga relevan bagi regulator yang berkepentingan membangun paradigma positif dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan berkelanjutan.
Pada zaman aktivitas manusia yang berpengaruh dominan terhadap iklim dan lingkungan, sebagaimana diidentifikasi Elkington sebagai ” Anthropocene epoch”, ”angsa” hijau patut diwujudkan. Buku ini memang menyingkap karakter menonjol Elkington sebagai sosok pesimistis dalam jangka pendek, namun di saat yang sama ia memenuhi kualifikasi karakter long-term optimist. Visi optimistisnya akan ”angsa” hijau yang ”bertelur emas” melalui paradigma dan moral bisnis yang regeneratif dapat menjadi modal keselamatan bersama di tengah tantangan perubahan kondisi lingkungan hidup. Selamat mengecap!
Kristianus Pramudito Isyunanda, Penasihat Hukum di Departemen Hukum Bank Indonesia