Semesta Kompleks sebagai Laboratorium Sosio-Kultural Bernama Dangdut
Dangdut dapat menyatukan keberagaman identitas kebangsaan. Dangdut bukan hanya berdaya menghibur, melainkan menghimpun atau memecah belah publik, membangun memori dan sentimen kolektif serta menggerakkan perekonomian.
Oleh
PURNAWAN ANDRA
·5 menit baca
Dangdut is the music of my country, demikian diungkapkan grup musik Project Pop dalam lagunya yang terkenal di tahun 2000an dengan judul yang sama. Sebagai sebuah lirik, frase tersebut menjadi sebuah pernyataan yang menegaskan bahwa dangdut dapat menyatukan keberagaman yang ada dalam satu identitas kebangsaan Indonesia yang tunggal.
Narasi penting tersebut didedahkan di dalam buku menarik ini. Ia menggoda kita untuk menelusuri dan menemu sebuah pemahaman beragam dan kaya mengenai dangdut, bukan sebagai sebuah kata benda, melainkan merupakan kata kerja.
Judul ”Dangdutan” memang berarti kinerja, aktivitas; sebagai bentuk perluasan kajian musik pada berbagai bentuk interaksi komunitas dan personalia dalam ”berdangdut”: bertindak mewujudkan daya potensial yang terkandung dalam dimensi musikal dangdut (hlm viii).
Hal ini terurai dalam 23 tulisan dari tahun 2017 hingga 2021 yang terbagi dalam 7 bab, yaitu Mendudukkan Dangdut, Menggoyang Polemik, Karena Dangdut (Terus) Bertumbuh, Joget dalam Nada dan Doa, Menonton Dangdut Melalui Televisi, Ketika Globalisasi dan Rekognisi Menjadi Acuan?, dan Nasib Dangdut Saat Pandemi Datang.
Lewat beragam isu, buku ini mengurai ruang dan waktu dinamika dangdut. Dari lokus dangdut yang berbeda-beda (tempat dan kota) hingga TV dan pertunjukan daring (sebagai konteks ruang), ia mengartikulasikan dangdut dulu, kini, dan nanti. Mulai dari Rhoma Irama, Ellya Khadam, A Rafiq lalu Via Vallen, Ndarboy Genk, dan Denny Caknan hingga isu terkini tentang dangdut ambyar, dangdut goes to UNESCO dan dangdut di masa pandemi (konteks waktu). Bahwa dangdut tidak tunggal, tetapi terus berkembang hingga kelak.
Sejarah dangdut memang dibangun dari proses yang panjang. Penulis menelisik sejarah kemunculan dangdut, perkembangan dan dialektikanya dengan seni (musik) lain hingga menjadikannya medan makna yang berkelindan dengan dinamika sosial yang terjadi. Ia bicara sumber daya yang ada di dalam dan terpancar melalui beragam performativitas pergelarannya (ajang, skala, joget, interaktivitas). Mulai dari gaya dan genre, pelopor, tokoh dan biduan setiap aliran, menyelami lika-liku gemerlap panggung dan narasi di baliknya (metamorfosa sebuah grup, model produksi dan distribusi, hingga pasar rekaman bajakan grup dangdut).
Ia juga memetakan jejaring narasi yang berlaku atas dangdut mulai dari aspek musikalitas, logika dan norma sosial, politik kebudayaan, hingga kapitalisme pasar. Dangdut telah menciptakan ruang diskursus yang serius, yang juga membuktikan kuasa/pengetahuan sedang berlangsung atasnya.
Hal ini selaras dengan pendapat Shin Nakagawa (2000) yang menyebut eksistensi musik dapat dilihat dari kedudukannya sebagai teks dan konteks di dalam masyarakat. Musik bukan hanya sebuah ekspresi bunyi (teks) yang menghibur atau semata sebagai tontonan, tapi juga sebuah ruang pembacaan yang lebih kritis tentang identitas, tradisi, modernitas, dan sejarah musik itu sendiri (konteks) dalam masyarakatnya.
Dengannya, dangdut menjadi refleksi dalam melihat determinasi budaya masyarakat. Meminjam logika Pierre Bourdieu, dangdut adalah habitus: struktur (musikal) yang terinternalisasi dalam diri orang-orang, yang mengkerangkai (menstrukturkan) perasaan dan penilaian serta tindakan mereka (hlm ix)
Hal ini karena dangdut adalah semesta kompleks konteks dimana ia diciptakan, didistribusikan, dikonsumsi hingga direproduksi. Dangdut memiliki sistem terpadu dengan skema dan pola kerja antara produksi, distribusi, konsumsi, reproduksi serta silang sengkarut di antaranya. Ia mencipta aktifitas, interaksi hingga regulasi tertentu sebagai wujud bagaimana dangdut berlangsung, tumbuh dan berkembang dalam dimensi keberlangsungan dan kebertahanan dangdut; ulang alik dan kelindan interaksi, negoisasi, konklusi dan kontekstualisasi dangdut dulu kini dan mendatang (hlm xvii).
Dengan konteks kehadirannya, dangdut bisa dibaca sebagai kode-kode interaktif, simbol artikulatif sekaligus presentasi etis dan estetika komunal hingga pembayangan mengenai ekspresifitas suatu kelompok masyarakat dalam tata dinamika sosio-kultural yang lebih luas.
Buku ini penting, mampu menunjukkan bahwa dangdut itu berdaya; bukan hanya berdaya menghibur, tapi juga menghimpun atau memecah belah publik, membangun memori dan sentimen kolektif (budaya etnik, kelas sosial, agama, ideologi) serta menggerakkan perekonomian. Tertampungnya aneka ragam kepentingan dalam tubuh dangdut menegaskan bahwa dangdut adalah media yang bekerja, berdaya, untuk memediasi. Hal ini membuktikan tesis etnomusikolog Thomas Turino ”musik tidak hanya terstruktur secara sosial, tetapi sebenarnya masyarakat untuk sebagian terstruktur secara musikal” (hlm vii-viii).
Membaca buku ini membuat kita menyadari realitas kebudayaan kita hari ini. Tulisannya menggambarkan ritme yang mulus antara satu peristiwa dengan tokoh lainnya, antara sensasi dan fakta, antara logika dan pemaknaan. Tulisannya menuliskan kedalaman macam apa yang mungkin dirumuskan bagi pembacanya bertamasya cerita untuk sampai ke satu yang utuh dan padu mengenai entitas nilai dan makna kebudayaan. Hal ini menjadikan buku ini seperti katarsis untuk melampaui permasalahan seni budaya kita yang begitu kompleks.
Bahwa kebudayaan dipenuhi dengan ragam subkultur yang harus dibaca dalam konteksnya masing-masing. Mereka juga berhak untuk diperlakukan sebagai bidang kajian yang bisa mengambil peran menjadi media relevan dalam mengidentifikasi berbagai problem nasion sekaligus laboratorium sosio-kultural yang mampu memberikan ruang pemaknaan bagi perwujudan mozaik multikultural Indonesia ini.
Buku ini mampu memosisikan dangdut sebagai wacana dan wahana urun suara dalam pusaran ide dunia kontemporer. Ia adalah sebuah “percakapan besar kebudayaan”, representasi beragam maksud dan pemikiran, sebagai sebuah prinsip estetis, aransemen dinamis dan susunan dialektika kultural. Sebuah “himpunan” yang dibangun elemen-elemen musik (suara, nada, alat musik, aransemen, panggung) serta elemen-elemen lain nonmusik (elemen sosial, psikis, politik, budaya bahkan spiritualitas) yang mengintegrasikan musik dengan makna eksistensi kita.
Purnawan Andra,pencinta lagu dangdut Sisa-sisa Cinta karya Ona Sutra. Bekerja di Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek
Data Buku
Judul: Dangdutan, Kumpulan Tulisan Dangdut dan Praktiknya di Masyarakat