Hampir lima dekade lalu, rock dan dangdut berseteru. Mereka memupus rivalitas dengan penampilan God Bless dan Soneta tahun 1977. Disusul pementasan kedua tahun 1985, konser kali ini digelar bertajuk ”Re:Creating”.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Aliran musik yang berbeda disandingkan dalam konser bertajuk Re:Creating di Bengkel Space, Sudirman Central Business District, Jakarta. Penampilan dua megagrup Tanah Air, God Bless dan Soneta, memuaskan dahaga penggemar dengan berbagi panggung yang sama untuk ketiga kalinya.
Kelab yang tersohor pada malam itu tampak kontras dengan beberapa pengunjung berpeci, berkerudung, dan membentangkan spanduk bergambar ”Raja Dangdut” Rhoma Irama. Sejumlah pengunjung berswafoto sebelum pertunjukan dimulai, Senin (20/12/2021).
Molor hampir sejam dari jadwal semula pada pukul 19.00, pergelaran dibuka lewat raungan gitar Ian Antono yang memainkan ”Padamu Negeri” bermandikan cahaya dari lampu sorot. Nyanyian perdana, ”Bla… Bla… Bla…” lalu menggebrak dengan jeritan Achmad Albar, vokalis God Bless yang kerap disapa Iyek itu.
Beberapa penonton mengacungkan salam tiga jari. Keeksentrikan kembali menyeruak dengan beberapa fans Soneta yang ikut berjoget saat God Bless beraksi, tentu saja goyangannya khas dangdut. Identitas mereka terlihat dengan bajunya yang bertuliskan Forsa atau Fans of Rhoma and Soneta.
Lagi-lagi, keunikan mencolok lewat penggemar God Bless yang biasanya berkaus, bercelana jins, dan berambut gondrong. Kali ini, mereka necis dengan jaket kulit kinyis-kinyis, rok panjang, terusan, kemeja, dan menebarkan aroma parfum papan atas.
Iyek yang semakin garang lewat ”Menjilat Matahari” dan ”Cermin” lantas mengendur dengan ”Syair Kehidupan”. Ia masih melancarkan irama fluktuatifnya lewat ”Panggung Sandiwara”, ”Rumah Kita”, hingga kembali memekik berwahanakan ”Serigala Jalanan”.
Respons penonton pastinya paling menggila saat lagu kebangsaan God Bless, ”Kehidupan”, diluncurkan, yang dibuntuti ”Bis Kota”. Iyek hemat bicara seusai menutup penampilannya dengan ”Semut Hitam”. Ia mengucapkan sampai jumpa, berterima kasih, dan berlalu.
Iyek tak banyak berjingkrak untuk mengatur sengal-sengal yang sesekali masih terdengar agar napasnya terjaga. Ia tetap diperkuat Ian, kibordis Abadi Soesman, dan drumer Fajar Satritama, kecuali basis Donny Fattah yang perlu rehat sehingga digantikan Arya Setyadi.
Performa mereka tak sambung-menyambung dengan Soneta. Selang 10 menit, Rhoma Irama sekonyong-konyong mengawali penghiburannya dengan cuplikan ”Menunggu” tanpa musik sekitar pukul 21.10. Didahului salam singkat, ia menggenapkan kebolehan seluruh personelnya lewat ”Viva Dangdut”.
Kontras pun kian nyata dengan kuartet penyanyi latar yang asyik menari dengan busana tertutup berwarna putih. Rhoma meneruskan atraksinya dengan ”Menunggu” diiringi melodi. Vokalis Soneta itu pun berimprovisasi merampaikan nyanyian Deep Purple, ”Smoke on the Water”, dengan ”Nafsu Serakah”.
Rhoma juga melantunkan lagu India, ”Tum Hi Ho”, yang diluncurkan Arijit Singh, diikuti ”Judi”, ”Mirasantika”, ”Kata Pujangga”, ”Seni”, ”Darah Muda”, ”Ani”, dan ”Terajana”. Bukannya melengang, kerumunan kian gegap gempita dengan kaki-kaki mengentak lantai dansa yang bergetar.
Tak lupa, Rhoma dengan gitar buntung Steinberger bersama rekan-rekannya berayun-ayun dengan gerakan khas atas, bawah, kiri, dan kanan. Ia sempat mengucapkan salam perpisahan sehabis merampungkan ”Insya Allah”. Spontan, penonton melontarkan tuntutannya.
”Enggak mau pulang. Maunya digoyang,” ujar mereka berkali-kali dengan kocak mengutip lagu yang dipopulerkan Iva Lola. Teriakan mereka membuahkan ”Begadang” seiring kru yang kembali mengalungkan tali dan gitarnya kepada Rhoma untuk memungkasi Re:Creating.
Tak seirama
Penonton mulai beranjak sekitar pukul 22.15 meninggalkan pementasan sarat kontras dengan corak musik yang berlainan itu. Kontras pula dengan ekspektasi awal pengunjung, sebagian dari mereka mengira bakal menyaksikan Rhoma dan Iyek berbincang, berduet, hingga berangkulan dengan karibnya. Ternyata tidak.
”Saya dengar Iyek dan Rhoma mau nyanyi bareng. Harapan saya ternyata terlalu tinggi, tetapi terobati melihat performa mereka yang luar biasa,” kata Ryan Kampua (42). Warga Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, itu juga puas dengan repertoar lagu God Bless dan Soneta.
”Ekspektasi saya memang belum terealisasi, tetapi musiknya benar-benar bikin goyang sampai lupa diri. Lepas kendali, khilaf, dan lupa umur,” ujarnya sambil tertawa. Ryan menyukai lagu-lagu kedua grup itu, tetapi lebih memfavoritkan Soneta. Ia kagum dengan stamina dan vokal Rhoma yang prima.
Pengamat musik Wendi Putranto yang turut menonton Re:Creating juga menyangka kedua superbintang itu akan berdendang bersama. ”Harapan saya, Iyek dan Rhoma saling menyanyikan lagunya satu sama lain. Tetap jadi oase setelah dua tahun hampir tak ada panggung musik besar,” ucapnya.
Ia memaklumi God Bless dan Soneta yang sepentas, tetapi belum seirama. Walakin, bila mereka bisa bersemuka dengan hangat, maknanya akan lebih dalam saat publik cenderung semakin soliter dan sangat butuh hiburan di tengah tekanan pandemi.
Pernah berseteru
Dikotomi rock dan dangdut kenyataannya memang sudah lebur. Sempalan rock di sela tarik suara Rhoma menunjukkan pengaruh musik itu terhadap karyanya. Dalam buku Lokasi Tidak Ditemukan: Mencari Rock and Roll sampai 15.000 Kilometer dicantumkan, Rhoma terpengaruh gitaris Deep Purple, Ritchie Blackmore.
Penulis buku yang diterbitkan Elevation Books pada tahun 2017 itu, Taufiq Rahman, juga menjelaskan karya-karya Rhoma yang diwarnai permainan kibordis band rock progresif Yes, Rick Wakeman. Sebaliknya, Iyek meluncurkan album dangdut Zakia pada tahun 1979.
Hampir lima dasawarsa lalu, musisi kedua genre itu memang pernah berseteru. Sesuai penuturannya dalam akun resmi Youtube Rhoma, ia pernah menganggap semua rocker berengsek. ”Dulu. Sekarang sih enggak. Halo rocker,” ucapnya sambil melambaikan tangan dengan senyum lebar dan jenaka.
Perselisihan itu dipicu saling memaki lewat media massa. Iyek yang mendampingi Rhoma tertawa seraya menimpali bahwa rocker dan musisi dangdut beda tipis. ”Solusinya, digelar pertemuan dangdut dan rock berjudul ’Damai di Ujung Tahun’ di Jakarta, 1977,” ucapnya.
Kiki Ucup, Project Director Boss Creator, promotor Re:Creating, menambahkan, God Bless dan Soneta sepanggung kedua kalinya di Jakarta pada tahun 1985. ”Sekarang, bermula dari iseng saja sebenarnya. Mau bikin acara akhir tahun. God Bless dan Soneta waktunya klop. Ya, sudah, jadi,” katanya.
Persiapan hanya tiga minggu, tetapi jumlah penonton Re:Creating sesuai target atau 500 orang lantaran perizinan dan protokol kesehatan yang ketat. ”Soal God Bless dan Soneta enggak main bareng karena waktunya terbatas. Pukul 22.00 WIB sudah harus selesai. Biar disimpan buat tahun depan,” ucapnya.