Hardiman dan Dinamika Kritik Seni Rupa di Indonesia
Hardiman mencoba bebas keluar dari karya dan konten sehingga kritik yang terjadi didominasi oleh penjelasan-penjelasan historis, filsafat, etimologis, ontologis, dan bahkan leksikal.
Oleh
I WAYAN ARTIKA
·6 menit baca
Buku yang berjudul Kritik Seni, Sekumpulan Esai, Resensi, dan Profil Seni Rupa (Hardiman, 2022) ini merekam dinamika seni rupa Indonesia. Salah satu tugas kritik adalah mendadar objek karya seni dengan menggunakan patokan-patokan nilai, apa pun itu: mimesis, ekspresif, otonom, atau pragmatik.
Dalam suatu periode 1986-sekarang, catatan angka tahun paling awal pada dua tulisan di dalam buku ini, termuat berbagai peristiwa seni rupa di Indonesia yang mampu dihadirkan kembali oleh Hardiman dalam buku yang dijadikan dasar penganugrahan Bali Jani Nugraha (2021); penghargaan tahunan kepada seniman Bali pada era Gubernur Wayan Koster. Meski demikian, buku ini tidak harus dibaca dalam ”kerangka itu” karena bagi pemberi penghargaan mungkin saja sebatas untuk alasan administrasi keuangan.
Sebagai buku, Kritik Seni, Sekumpulan Esai, Resensi, dan Profil Seni Rupa diresepsi oleh publiknya sendiri. Buku ini harus didudukkan pada suatu proporsi dalam rangka mengungkap sumbangan yang mampu diberi bagi seni rupa Indonesia; mengingat sumbangan kritik adalah dalam rangka memajukan dunia seni itu sendiri. Bentangan waktu yang dijangkau oleh buku ini memang lumayan panjang, tetapi karena tulisan-tulisan yang ada di dalam buku ini tidak pernah dipersiapkan untuk diterbitkan dalam satu buku yang utuh, pembahasan berbagai persoalan seni rupa pada setiap tulisan terlepas satu sama lain.
Buku ini harus didudukkan pada suatu proporsi dalam rangka mengungkap sumbangan yang mampu diberi bagi seni rupa Indonesia; mengingat sumbangan kritik adalah dalam rangka memajukan dunia seni itu sendiri.
Jika memang buku ini harus menggunakan semua tulisan yang semula adalah arsip atau kliping atau dokumen penulis, tulisan-tulisan itu semua harus diperlakukan sebagai data awal untuk dibaca dan dibahas secara sistematis. Hasil pembahasan inilah yang merupakan wujud besar dari buku ini. Pembaca akan mendapat kebulatan makna pemikiran, pendekatan, dan teknik kritik seni yang dilakukan oleh Hardiman walaupun hal itu barangkali hanyalah embrio pemikiran kritik seni yang masih harus diuji oleh berbagai kondisi dalam habitus seni rupa Indonesia.
Tulisan ini dipicu keinginan menemukan rumusan kunci-kunci kritik seni yang dipraktikkan oleh Hardiman. Keinginan tersebut beralasan karena hampir pada setiap tulisan Hardiman menganut morfologi tertentu. Dengan kata lain, tulisan-tulisannya adalah reproduksi struktur laten, yakni karya, konten, dan konteks. Kritik-kritik Hardiman dalam buku ini menjelaskan relasi-relasi di antara karya, konten, dan konteks. Karya adalah obyek kritik yang lahir dari peristiwa seni (pameran, proses kreatif seniman di rumahnya, lelang, lomba). Konten adalah tema karya dan konteks adalah referensi dunia yang direpresentasikan di dalam karya. Inilah yang dijadikan pijakan penting Hardiman dalam menulis kritik seni.
Hardiman mencoba bebas keluar dari karya dan konten sehingga kritik yang terjadi didominasi penjelasan-penjelasan historis, filsafat, etimologis, ontologis, bahkan leksikal. Ia hendak menjustifikasi karya seni yang dibahas dengan menggunakan konteks. Karya pada buku ini seolah-olah bermakna sebatas sebagai bahan-bahan fisika dan teknik.
Sebagai formula kritik seni, konstelasi 3K (karya, konten, dan konteks) dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari dalam cara publik menikmati karya seni. Pada perkara lain yang lebih akademik, konstelasi ini dapat dikembangkan menjadi konsep dan metode kritik di kalangan mahasiswa dan peneliti seni rupa. Sejauh ini tampaknya belum ada metode kritik seni yang praktis dan mudah diterapkan. Kritik seni hanya menjadi urusan kritikus dan ekslusif. Buku ini dengan konstelasi karya-konten-konteks suatu upaya membumikan praktik-praktik kritik seni yang bercokol di puncak menara gading kaum kritikus.
Dalam ”Erotika dan Ideologi Patriarki” (hlm 111-113) referensi konteks mengenai kebirahian dalam seni rupa yang selalu identik dengan tubuh perempuan menjadi pembahasan awal yang penting dan mendapat penekanan yang kuat ketika Hardiman membicarakan pelukis IGK Murniasih (almarhum). Pada bagian ini, Hardiman menguraikan sejumlah data konteks historis yang kebetulan bersumber pada dunia seni rupa, seperti karya-karya yang menggunakan tubuh perempuan dan ketelanjangannya: Aprocrypa yang melahirkan karya Susannah yang Sedang Mandi Diintip Tom, Tujuh Bidadari Telanjang dan Joko Tarub, dan lekuk tubuh yang menggunakan busana transparan Nyi Roro Kidul.
Pada uraian khusus, Hardiman membangun konteks lain yang digunakan untuk menjelaskan lukisan karya IGK Murniasih. Ternyata Hardiman selalu ada dalam ketergantungan konteks ketika menjelaskan obyek karya. Apa pun yang ada di dalam ruang karya seni selalu terbuka jalan pemaknaan yang mana menurut teori semiotika ini adalah gejala atau hukum referensial. Satu kata dalam kamus selalu mereferensi realitas.
Jika kritik seni adalah urusan memaknai suatu karya dan, kalau itu hendak digunakan untuk membaca buku ini, Hardiman selain menggunakan mimesis yang dikembangkan untuk pendekatan sastra oleh MH Abrams juga pendekatan semiotika. Dalam hal ini, Hardiman menggunakan semiotika tidak seperti analisis sastra dengan pendekatan interpretatif sebagai metode kerja semiotika; peneliti mengkonstruksi makna berdasarkan potensi teks yang tersedia dalam karya sastra; tetapi menggunakan konteks untuk memaknai karya, seperti yang dilakukan terhadap karya-karya Mokoh, Nyoman Gunarsa, Mangku Mahendra, Mangu Putra, Rudi Sri Handoko, Made Sumadiyasa, Duatmika, dan Putu Sutawijaya (hlm 112).
Sekali lagi, jika kritik seni adalah soal membangun atau memberi makna kepada karya, Hardiman telah melakukannya dengan pendekatan semiotika, dan dalam hal ini ia menjadikan konteks sebagai kontainer makna. Hardiman tinggal membuka saja kontainer itu untuk menemukan penjelasan yang relevan dengan obyek karya yang sedang dibahasnya.
Pada tulisan ini Hardiman hanya mendeskripsikan obyek karya yang dikritiknya; sekadar untuk menyinggung atau menyebut saja. Tidak ada deskripsi mendalam seperti teknik antopologi Clifford Geertz. Hal ini menunjukkan bahwa Hardiman memosisikan konteks sebagai narasi yenag lebih menarik walaupun tidak selalu penting ketimbang karya dan kontennya.
Mengapa Hardiman banyak bersandar pada konteks? Jawaban pertanyaan ini dapat ditelusuri pada tulisan yang berjudul ”Bambu, Si Lentur yang Mengancam” (hlm 140-143). Tulisan ini membuktikan bahwa karya yang dibicarakan Hardiman memang memiliki peluang besar untuk dibahas secara semiotik dan memang menyediakan jalan yang jelas terjadinya peristiwa intertekstualitas. Hal ini ditunjukkan Hardiman dalam membahas Arjuna (Nyoman Erawan). Karya ini merujuk salah satu parwa dalam epos Mahabharata, ”Bhisma Parwa”. Di sini yang dijadikan konteks dalam rangka pemaknaan karya adalah salah satu adegan dalam perang di Kurusetra ketika Bhisma terbaring di atas ribuan anak panah Arjuna. Karya instalasi bambu yang ditampilkan oleh Nyoman Erawan dimaknai sebagai bentuk lain dari cerita tersebut.
Berdasarkan kedua tulisan yang digunakan untuk membuktikan konstelasi karya-konten-konteks tampak satu struktur atau formula metode kritik seni yang diterapkan selama ini oleh Hardiman, sebagaimana dapat dibaca di dalam buku ini. Formula itu masih harus diuji di kalangan dunia kritik seni rupa Indonesia. Apakah kritik seni rupa seperti itu untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya salah konsep. Sebagai formula kritik seni tentu saja masih membutuhkan usaha-usaha ke arah pengembangan.
Walaupun demikian, buku ini memberi sumbangan kepada dunia kritik seni rupa; sebagai ide awal dalam melakukan kritik dan lewat seluruh tulisan yang disajikan secara teknik, kritik seni rupa itu hal yang praktis. Buku ini sangat bagus dijadikan pedoman bagi calon kritikus. Secara implisit telah dianjurkan hal-hal yang diperlukan untuk melakukan kritik, seperti memperkaya diri dengan berbagai referensi karena akan digunakan sebagai konteks atau materi yang disimpan di dalam kontainer makna.
I Wayan Artika,Dosen Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja,Bali.
Judul: Kritik Seni: Sekumpulan Esai, Resensi, dan Profil Seni Rupa