Museum Presiden Republik Indonesia yang berada di lingkungan Istana Kepresidenan Yogyakarta dibangun tahun 2014. Terdapat lukisan biografis enam presiden yang sengaja dibuat untuk menjadi jiwa museum.
Oleh
AGUS DERMAWAN T
·6 menit baca
Sejak 1955, Istana Kepresidenan Yogya dikonsep sebagai rumah yang menghimpun spirit pahlawan kemerdekaan Indonesia. Alasannya, karena IKY sejak lama menyimpan cerita perjuangan, yang semuanya berpuncak ketika terjadi upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari agresi militer Belanda tahun 1946 sampai 1949. Sebagai rumah penghimpun spirit juang, IKY pun memajang lukisan-lukisan yang bernuansa kepahlawanan.
Koleksi IKY terus bertambah dari waktu ke waktu. Penambahan itu pada gilirannya membutuhkan tempat lebih leluasa. Maka, pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Gedung Senisono yang dalam tempo sangat lama statusnya terpisah dengan IKY disatukan kembali. Bangunannya pun direngkuh dalam satu kompleks. Gedung itu kemudian dijadikan Museum Presiden Republik Indonesia sejak 2014. Museum apik ini lalu diaksentuasi enam lukisan baru, yang sengaja dibuat untuk menjadi jiwa museum. Lukisan itu bernarasi tentang prestasi enam Presiden Republik Indonesia sehingga disebut sebagai lukisan biografis.
Sejak terpajang tahun 2014, nyaris tak ada yang kesempatan membahas eksistensi enam lukisan yang spektakuler dan berukuran besar ini. Masalahnya, lukisan itu dipajang secara eksklusif dan hanya menjadi konsumsi visual dan cerita para tamu IKY. Lukisan biografis itu adalah karya pelukis ternama Indonesia, yaitu Dede Eri Supria, Melodia, Lim Hui Yung, Ivan Hariyanto, Robby Lulianto, dan Gunawan Hanjaya.
Sejak 1955, Istana Kepresidenan Yogya dikonsep sebagai rumah yang menghimpun spirit pahlawan kemerdekaan Indonesia.
Bermula dari Rama Tambak
Lukisan-lukisan tersebut lahir dari gagasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala terpesona lukisan Adam Lay berjudul Rama Tambak atau Pak Harto Bapak Pembangunan. Syahdan, pada tengah 1990-an, pelukis Adam Lay (1949-2014), yang terkenal sebagai pelukis satwa kuda, mempersembahkan lukisannya berukuran 167 x 450 cm itu kepada Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto. Melihat ukurannya yang begitu besar, presiden menyerahkan lukisan itu kepada Istana Kepresidenan.
Sifat lukisan ini sangat posteristik lantaran menggambarkan potongan-potongan kesuksesan kerja Presiden Soeharto. Misalnya, Soeharto dalam menghidupkan pertanian, dalam menyejahterakan masyarakat, serta menyatukan berbagai suku dan agama. Maka, di kanvas pun terlukis sapi membajak sawah, rumpun padi yang baru dipanen, sampai rumah-rumah ibadah yang rukun berdampingan. Dalam lukisan juga tergambar jejeran wayang kulit: pasukan kera Hanoman sedang membangun jembatan (dengan cara menguruk lautan sehingga menyerupai tambak). Kita boleh menafsir, kera-kera itu sedang membangun infrastruktur.
Belasan tahun lukisan ini tergantung dengan tenang, dan kurang menarik perhatian, sampai kemudian Presiden Yudhoyono menangkapnya sebagai inspirasi. Dari lukisan itu, Yudhoyono ingin membuat lukisan biografi, yang menggambarkan kompilasi prestasi para presiden Indonesia. Setiap presiden digambarkan dalam satu kanvas. Oleh karena Indonesia memiliki enam presiden, lukisan harus termanifestasi dalam enam kanvas. Dan, lantaran diyakini kompilasi prestasi setiap presiden itu tidak sedikit, yang dibutuhkan adalah kanvas luas. Ukuran pun ditentukan: 150 x 300 cm. Ukuran ini disesuaikan dengan kapasitas dinding IKY yang siap memajang lukisan itu.
Dalam pengarahannya, pihak Istana Kepresidenan menyampaikan ungkapan Raja Francis I pada abad 16, tout est perdu fors l’honneur. Kesemuanya akan hilang, kecuali kehormatan. Jadi, lukislah sisi-sisi terhormat yang tak terlupakan dari para presiden.
Setelah lewat sidang kuratorial yang menyeleksi puluhan seniman, akhirnya ditentukanlah enam pelukis untuk mengerjakan itu. Mereka adalah seniman yang dikenal cakap dalam melukis potret dengan reputasi yang telah dikenal lewat berbagai pameran nasional dan internasional. Selain itu, mereka adalah pelukis yang diketahui memiliki pengetahuan soal sejarah para presiden Republik Indonesia, lewat bacaan dan keterlibatan kehidupan.
Setelah lewat sidang kuratorial yang menyeleksi puluhan seniman, akhirnya ditentukanlah enam pelukis untuk mengerjakan itu.
Bagi para pelukis, mengerjakan lukisan posteristik seperti yang dihasratkan oleh Yudhoyono dan Istana Kepresidenan bukanlah pekerjaan yang mudah. Sebab, mereka selama ini terbiasa dengan melukis bebas dan jauh dari ikatan permintaan tema. Apalagi, ketika secara tematik semua harus berkait dengan fakta sosial, ekonomi, politik, dan historiografi, dengan standar interpretasi yang ”ditentukan” negara. Untuk mematangkan itu, beberapa diskusi lantas dilakukan di Istana, dengan melibatkan Museum Istana Kepresidenan dan Sekretariat Negara.
”Ini order yang paling rumit dan mengikat. Bikin kami kehilangan kebebasan. Kami harus menyerahkan sketsa dan draf apa yang kami lukis. Agar Istana tahu apa konten yang kami sampaikan dan bagaimana prospek visualnya,” kata para pelukis.
Pilihan jasa digambarkan
Berminggu-minggu persiapan itu dilakukan dan dimatangkan. Sampai akhirnya masing-masing lukisan itu terwujud dalam tempo dua bulan. Di sela proses pengerjaan, mereka diharap tiga atau empat kali melaporkan perkembangannya.
Adapun konten tema yang disetujui oleh semua pihak untuk menggambarkan para presiden adalah berikut ini:
Soekarno, presiden pertama, dijunjung sebagai Bapak Bangsa dan Proklamator (bersama Mohammad Hatta). Dikenang sebagai pemberi semangat hidup merdeka, pembangkit semangat persatuan, penegak harga diri bangsa lewat visi-visi geopolitik yang luar biasa, dan inisiator serta penyelenggara Konferensi Asia Afrika 1955. Selain itu, Soekarno juga dilekatkan dengan mitos penggali Pancasila. Lukisan ini digarap oleh Dede Eri Supria, pelukis ternama Jakarta.
Soeharto, presiden kedua, diangkat sebagai Bapak Pembangunan. Keberhasilannya sebagai pemimpin yang membawa Indonesia mampu berswasembada beras menjadi poin penting dalam lukisan. Karena itu areal persawahan tampak dominan dalam kanvas. Sementara kisah perjuangannya bersama Jenderal Sudirman pada 1949 menjadi bagian yang menarik perhatian. Karya yang menggambarkan Soeharto tersenyum sambil melambaikan tangan ini dikerjakan oleh Lim Hui Yung, dari Jakarta.
BJ Habibie, presiden ketiga, dijunjung sebagai teknokrat terbesar Indonesia, sekaligus Bapak Teknologi Dirgantara Indonesia. Ia diingat sebagai tokoh pembuka pintu keterbukaan politik sehingga pantas dinobatkan sebagai Bapak Demokrasi. Keterbukaan hatinya dan keluasan wawasannya memberi peluang kepada berbagai usulan kenegaraan dari berbagai pihak. Ia pun diposisikan sebagai pelaksana mandat rakyat yang konsekuen. Ivan Hariyanto, pelukis Banyuwangi yang tinggal di Surabaya, mengerjakan itu dengan antusias.
Abdurrahman Wahid alias Gusdur, presiden keempat, dikultuskan sebagai Bapak Pluralisme. Dalam masa pemerintahannya segala macam sekat yang berbait ras, suku, agama, dan golongan dibongkar. Diskrimasi dihancurkan. Ia pun dipeluk sebagai penggerak reformasi yang sangat dihormati. Sebagai agamawan yang sangat banyak dituruti nasihatnya, Gus Dur dianggap Guru Bangsa dan disetarakan dengan wali. Gunawan Hanjaya, pelukis asal Solo, Jawa Tengah, mengerjakan itu dengan sempurna.
Megawati Soekarnoputri adalah presiden kelima. Dalam kanvas, Mega dipersamakan dengan tokoh emansipasi perempuan Indonesia, Kartini. Mega dilukiskan sebagai pendorong bangsa Indonesia untuk kembali kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, pendorong nasionalisasi perusahaan asing, serta penggerak antikorupsi dengan mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi. Robby Lulianto, pelukis realis Jakarta, menggambarkannya dengan manis dan ceria.
Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden keenam. Oleh Sekretariat Negara, ia ditetapkan sebagai tokoh yang sukses merekonstruksi bencana, serta pereda berbagai konflik yang terjadi di Aceh, Ambon, Poso, dan Timor Leste. Yudhoyono juga disebut sebagai Bapak Pengembang Demokrasi, yang memberi peluang kepada pers dan siapa saja untuk berbicara bebas. Melodia, pelukis yang bermukim di Yogyakarta, menggambarkan sosok Yudhoyono dalam nuansa biru.
Yang menarik, dalam proposal yang ditawarkan, pihak Museum Kepresidenan dan Sekretariat Negara memberikan gambaran personifikasi keenam Presiden itu. Soekarno dipersamakan dengan Adipati Karna, tokoh dari kisah Mahabharata. Soeharto dipersamakan dengan Rama, raja dalam mitologi Ramayana. Habibie dipersamakan dengan I La Galigo, kapten kapal legendaris Bugis. Gusdur dipersamakan dengan Yudhistira, sulung dari keluarga Pandawa. Megawati dipersamakan dengan dengan Tribhuwana Tunggadewi, penguasa ketiga Majahahit. Dan, Yudhoyono dipersamakan dengan Wisnu, dewa yang menguasai tiga dunia. Mengagetkan, tak satu pun dari keenam pelukis ini menggambarkan personifikasi itu di kanvasnya. Kenapa demikian, sampai sekarang mereka tak ingin menjawab.
Setelah keenam presiden di atas, kini giliran presiden ketujuh, Joko Widodo, untuk dilukiskan. Siapa yang akan mengerjakan lukisan itu, belum ditentukan. Dan, dipersonifikasi siapa sosok Joko Widodo, belum ada yang memikirkan.
Agus Dermawan T, Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden. Konsultan Pembuatan Lukisan Para Presiden