Budaya Hukum Indonesia dalam Labirin Negosiasi Politik
Menurut hemat saya, seratusan lebih artikel di buku ini bisa dijadikan salah satu rujukan untuk mendapatkan ilustrasi bagaimana dan seperti apa paras budaya hukum di Indonesia. (Najwa Shihab)
Judul Buku: Negara Bangsa di Simpang Jalan
Penulis: Budiman Tanuredjo
Editor: Antony Lee
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Edisi: I, 2021
Halaman: XXXVIII + 378 halaman
ISBN: 978-623-346-158-0
Salah satu topik yang pasti pernah dibahas oleh seluruh mahasiswa fakultas hukum di Indonesia adalah tentang relasi antara hukum dan politik. Relasi di antara keduanya, juga determinasi salah satu aspek kepada aspek lainnya, tidak hanya tampak dalam proses pembentukan hukum, tetapi juga pada aspek penegakannya.
Karena berisi kumpulan artikel yang lahir dari konteks per konteks yang berbeda-beda, buku ini tidak menjawab secara terang pertanyaan mana yang lebih determinan: politik atau hukum. Namun, seluruh artikel di buku ini memberikan jawaban yang bisa dianggap jelas: determinasi politik dalam sistem dan proses hukum di Indonesia.
Penulis buku ini, Budiman Tanuredjo, menyodorkan banyak sekali ilustrasi tentang determinasi politik dalam ”budaya hukum” di Indonesia. Dalam artikel ”Harun, Joker dan Maria Lumowa”, misalnya, yang menyoroti fenomena kaburnya para koruptor, Budiman mengambil kesimpulan yang berani: ”Dari kisah yang ada, kaburnya buronan selalu terkait dengan politik dan kekuasaan, termasuk kejahatannya.”
Kalimat itu mewakili apa yang tersirat dalam analisis Budiman tentang problem hukum di Indonesia: problemnya adalah politik, akar masalahnya adalah praktik kekuasaan.
Kalimat itu memang lahir dari ulasan yang spesifik tentang fenomena buronnya para pelaku korupsi. Namun, kalimat itu pada dasarnya juga melatari, kalau tidak dianggap sebagai premis, mayoritas tulisan dalam buku ini, terutama ulasan-ulasan tentang hukum yang mendominasi sebagian besar buku ini.
Saat politik dan kekuasaan sangat determinan memengaruhi sistem dan proses hukum di Indonesia, termasuk kabur atau tertangkapnya para buronan korupsi, kita dipaksa menyaksikan berbagai episode pembentukan dan penegakan hukum yang tidak akuntabel.
Banyak artikel dan bab yang menggambarkan hal itu. Selain artikel-artikel tentang para buronan korupsi, juga artikel tentang terhambatnya pemilihan anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di masa Presiden SBY, rentetan artikel tentang omnibus law yang digambarkan abai dengan suara publik, juga artikel tentang bagaimana pasal keterlibatan orang partai dalam pemilihan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dibatalkan oleh MK sendiri, dan banyak artikel lainnya.
Karena itulah, artikel berjudul ”Kamar Negosiasi” perlu dibicarakan secara khusus. Artikel tersebut sebenarnya membicarakan bagaimana negosiasi politik sangat memengaruhi proses pengambilan kebijakan, termasuk dalam pembentukan dan penegakan hukum. Budiman dengan jitu menggambarkan betapa negosiasi politik di negeri ini sering kali tidak berakhir dengan konsensus politik, tetapi justru memicu dibukanya negosiasi-negosiasi berikutnya. Jadi, negosiasi melahirkan negosiasi. Terus, dan terus begitu.
Dengan pasemon yang mungkin khas Kompas, Budiman menutup artikel itu dengan kalimat: ”Ketika politik belum sepenuhnya terkonsolidasi, tak perlu lagi memperbanyak kamar negosiasi. Ketika kamar negosiasi dibuka terlalu luas, saya khawatir pada apa yang pernah dikatakan jurnalis ternama: ’Nek mrucut piye? (kalau terlepas bagaimana?)’.”
Politik dan negosiasi memang dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Menolak total negosiasi berarti juga menolak proses politik. Hanya saja, negosiasi politik seperti apa, itulah pertanyaannya. Kalau negosiasi hanya melahirkan negosiasi-negosiasi berikutnya, hal itu menjadikan politik Indonesia, juga bangsa ini, tenggelam dalam negosiasi tak berkesudahan, semacam labirin negosiasi yang, kita semua, akhirnya tenggelam dalam tarik ulur tanpa henti.
Jangan heran jika hari ini para elite sudah mulai rajin ”memasarkan dirinya” melalui poster dan baliho di ruang-ruang publik. Kendati Kabinet Jokowi jilid II belum berusia dua tahun, hal itu tidak menghalangi kampanye para elite menuju Pemilu dan Pilpres 2024. Pilpres 2019, yang diikuti pembentukan kabinet, yang mestinya bisa diletakkan sebagai konsensus yang bisa mengonsilidasikan kekuasaan, ternyata tidak cukup konsolidatif untuk menyetop gairah bernegosiasi (baca: berkampanye).
Hukum akhirnya tidak selalu, jika ”tidak pernah” niscaya dinggap berlebihan, menjadi faktor determinan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Suka tidak suka, seperti itulah ”budaya hukum” di Indonesia.
Dalam buku Hukum dan Politik Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan, Daniel S Lev menyebut relasi kompleks antara hukum dan politik, persisnya determinasi politik atas hukum, membentuk ”budaya hukum” di Indonesia. Sebagai ilmuwan politik yang banyak mengkaji episode-episode bersejarah dalam politik Indonesia, Lev memang seorang realis; dalam arti ia memandang hukum bukan semata asas-asas yang berada di luar sejarah. Sistem hukum dan prosesnya, bagi Lev, sangat terkait dengan struktur politik, ideologi, kepentingan dan konflik yang dihadapi pemimpin dan kelompok yang sedang berkuasa.
Baca juga : Pancasila Kunci Keutuhan Bangsa
Budiman Tanuredjo juga seorang realis. Sebagai jurnalis ia terlibat dalam proses keredaksian yang memandang hukum bukan sebagai kitab, melainkan realitas yang menyejarah, yang dipraktikkan oleh para penegak hukum dalam ruang dan waktu tertentu sebagai konteksnya. Konteks sosial-politik yang spesifik itu pula yang hampir selalu menjadi titik picu artikel-artikelnya.
Budiman tidak pernah mengutip Daniel S Lev dalam buku ini. Namun, menurut hemat saya, seratusan lebih artikel di buku ini bisa dijadikan salah satu rujukan untuk mendapatkan ilustrasi bagaimana dan seperti apa paras budaya hukum di Indonesia.
Najwa Shihab
Pendiri Narasi