Pancasila Kunci Keutuhan Bangsa
Bunga rampai pemikiran Magnis Suseno ini secara keseluruhan menyajikan 26 tulisan yang masing-masing disampaikan secara lugas namun reflektif mendalam.
Judul Buku : Demokrasi, Agama, Pancasila : Catatan Sekitar Perpolitikan Indonesia Now
Penulis : Franz Magnis-Suseno
Editor : R.B.E. Agung Nugroho
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Cetakan : I, 2021
Tebal : x+230 hlm
ISBN : 978-623-241-766-3
“Pancasila, apa masih punya gigi?” Begitu judul salah satu tulisan Magnis Suseno dalam buku ini. Pertanyaan yang menggelitik tapi sekaligus mengundang pembaca untuk merenungkan pertanyaan itu secara serius. Tentu maksud “punya gigi” dalam konteks ini apakah Pancasila tetap menjadi senjata yang ampuh bagi keutuhan bangsa Indonesia. Bukankah perbincangan tentang relevansi Pancasila tak pernah berhenti dan selalu muncul mengiringi setiap perubahan di tanah air. Apakah Pancasila masih relevan bagi bangsa Indonesia? Jika masih relevan, bagaimana mengaktualkan prinsip-prinsip etis Pancasila agar sungguh mewarnai kehidupan bersama.
Secara tersurat maupun tersirat buku ini ingin menyampaikan pesan penting, yaitu kunci keutuhan bangsa Indonesia adalah Pancasila. Siapapun yang mengaku mencintai Indonesia dengan sungguh-sungguh semestinya juga menjiwai Pancasila. Sebaliknya, jika ada pihak yang berusaha menggantikan Pancasila sebagai dasar etis kehidupan berbangsa dengan ideologi lainnya maka kehancuran Indonesia hanya menunggu waktu saja. Ini gagasan utama yang disampaikan Franz Magnis-Suseno di dalam buku bunga rampai, yang menghimpun 26 tulisan makalah maupun artikel opini di beberapa surat kabar.
Baca Juga: Lumpuhnya Pancasila
Secara tersurat maupun tersirat buku ini ingin menyampaikan pesan penting, yaitu kunci keutuhan bangsa Indonesia adalah Pancasila. Siapapun yang mengakui mencintai Indonesia dengan sungguh-sungguh semestinya juga menjiwai Pancasila.
Seolah tidak pernah lelah, Magnis Suseno berulang kali menyampaikan hal ini dalam banyak kesempatan, baik dalam berbagai pertemuan ilmiah seperti diskusi, seminar, ceramah, forum dialog, hingga rubrik opini di berbagai media. Betapa pentingnya pidato politik Soekarno muda pada 1 Juni 1945 di depan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) . Pidato itu bukan hanya isinya cemerlang, tetapi yang lebih penting lagi, bahwa dalam pidatonya Soekarno meletakkan dasar persatuan bagi Indonesia. Hal itu terbukti dalam perjalanan sejarah Indonesia, yang mengalami berbagai guncangan politik yang mengancam keutuhan negara, tetapi hingga hari ini Indonesia tetap utuh bersatu.
Kunci persatuan
Dalam pidatonya, Soekarno mengingatkan jika kita ingin mengerti mengapa Indonesia tetap berdiri kokoh, kuncinya ada pada gagasan kebangsaan Indonesia yang berwujud perasaan kebersamaan yang lahir dari pengalaman sejarah bersama. Pengalaman bersama akan ketertindasan di masa penjajahan melahirkan solidaritas bangsa yang melampaui perbedaan suku, etnis, dan agama. Namun rasa kebangsaan itu hanya dapat terus bertahan jika seluruh bangsa Indonesia yang multikultural ini bersedia secara tulus menerima dan saling mengakui perbedaan masing-masing. Kesediaan untuk saling menerima dalam perbedaan itulah yang merupakan komitmen inti atau tekad etis bangsa Indonesia dalam Pancasila. (halaman 1-3)
Sebagai etika politik bangsa Indonesia, Pancasila merupakan sumber utama norma-norma atau nilai-nilai prinsipil bagi kebijakan politik Indonesia yang baik dan dapat diterima secara etis. Oleh karena itu sebuah kebijakan politik disebut etis apabila tidak bertentangan dengan Pancasila. Bahkan, sedapat mungkin diupayakan sekuat tenaga mewujudkan cita-cita bangsa sesuai apa yang dirumuskan pada akhir Pembukaan UUD 1945: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (halaman 29)
Relevansi Pancasila
Apakah Pancasila relevan bagi bangsa Indonesia? Berulang kali dalam buku ini Romo Magnis mengungkapkan bagaimana Pancasila menjadi landasan etis yang kokoh dari masa ke masa; menjadi unsur hakiki dalam sejarah Indonesia yang berkali-kali terancam keutuhannya sebagai bangsa dan negara yang multikultural.
Berbeda dengan bangsa Korea atau Polandia atau bangsa lain yang memiliki akar budaya dan bahasa yang sama, bangsa Indonesia bukan ‘bangsa alami’. Bangsa Indonesia tumbuh di wilayah Nusantara yang secara geografis terdiri dari ribuan pulau di mana terdapat ratusan komunitas etnis, bahasa, budaya, dan agama atau sistem kepercayaan yang sangat mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat.
Masyarakat di Nusantara yang sangat majemuk itu menjadi satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia, karena mau bersatu; dan mereka mau membentuk suatu negara, Indonesia. Menjadi satu bangsa yang baru, bangsa Indonesia, sebagaimana dikemukakan Soekarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945. Kemauan itu tumbuh karena suatu pengalaman bersama, tertindas dan terjajah oleh bangsa lain.
Tentu perjalanan menjaga keutuhan bangsa Indonesia bukan hal yang mudah, sebaliknya penuh tantangan. Sejak zaman kemerdekaan hingga Reformasi terjadi berbagai peristiwa konflik sosial ataupun politik yang diwarnai berbagai kekerasan, penindasan dan kejahatan yang kerap kali berujung pada pertumpahan darah, kerusakan sosial, ekonomi, dan budaya. Bahkan pada penghujung kekuasaan Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto banyak pihak yang meramalkan Indonesia akan terpecah-pecah atau mengalami “balkanisasi” seperti yang dialami negara Uni Soviet , Yugoslavia, atau Cekoslowakia.
Baca Juga: Nestapa Pendidikan Pancasila
Menjadi satu bangsa yang baru, bangsa Indonesia, sebagaimana dikemukakan Soekarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945. Kemauan itu tumbuh karena suatu pengalaman bersama, tertindas dan terjajah oleh bangsa lain.
Ramalan akan hancurnya keutuhan bangsa Indonesia tidak terjadi, karena Pancasila tetap menjadi prinsip etis berbagai konflik yang terjadi. Dalam salah satu bagian bukunya Romo Magnis menulis “…Pelajaran yang saya tarik, pada masa yang amat kritis, yang menentukan bagi masa depan bangsa, tokoh-tokoh Islam membuktikan diri sebagai Indonesia tulen, sebagai Pancasilais…” (halaman 87-88)
Namun demikian, dua dekade sejak keruntuhan Orde Baru, ancaman terhadap keutuhan bangsa dan negara Indonesia tidak serta merta berakhir. Terus muncul berbagai tantangan yang menguji komitmen bersama atau tekad etis untuk bersama- sama menjaga keutuhan bangsa. Setidaknya, Romo Magnis menyebut ada lima tantangan nyata yang perlu menjadi perhatian masyarakat, yang didasarkan oleh berbagai fenomena yang muncul di masyarakat.
Tantangan pertama, keambrukan toleransi tradisional bangsa, yang digerogoti oleh rasa saling iri, saling benci, menolak adanya perbedaan di masyarakat. Hal itu diperparah oleh kontestasi politik dalam pemilu atau pilkada yang mempraktekkan politik identitas, serta politik uang.
Kedua, tarikan budaya konsumerisme hedonistik akibat daya tarik tawaran menggiurkan produksi kapitalistik mondial (neoliberalisme). Orang bisa mengalami krisis identitas karena konsumerisme (kecanduan untuk terus memenuhi hasrat konsumsi produk gaya hidup, dan memperluas semangat konsumsi ke masyarakat luas sebagai ‘pasar’) menyingkirkan perhatian terhadap mereka yang masih miskin. Tidak peduli pada cita-cita nasional dan rasa bangga kalau menjadi warga yang berguna bagi masyarakat. Perpolitikan bukan menjadi medan memperjuangkan cita-cita bangsa tetapi mengeruk keuntungan pribadi atau kelompok.
Ketiga, keambrukan solidaritas bangsa karena fokus kita masing-masing sebagai warga hanya memikirkan kepentingan diri sendiri saja, tidak solider dengan warga sebangsa lain berada dalam kesusahan, kemiskinan, tidak mampu bersuara, posisinya lemah berada di bagian bawah lapisaan sosial ekonomi.
Keempat, korupsi yang hingga saat ini menjadi ‘kanker’ yang menggerogoti substansi kebangsaan. Menghancurkan akar solidaritas, keadilan sosial ekonomi, etos kerja keras dan kompetensi-kompetensi positif yang bangsa Indonesia miliki. “Korupsi membuat kita dari atas sampai bawah menjadi orang yang tidak jujur, orang yang bermental busuk…. Kalau kita tidak berhasil memberantas korupsi, bangsa kita akan gagal. Korupsi paling berbahaya adalah korupsi di kelas politik negara kita,” demikian Magnis menulis. (halaman135-144)
Baca Juga: Memosisikan Pancasila
Kalau kita tidak berhasil memberantas korupsi, bangsa kita akan gagal. Korupsi paling berbahaya adalah korupsi di kelas politik negara kita.
Dalam kenyataan, tantangan memberantas korupsi yang telah mengakar bukan hal yang mudah. Berita tentang penangkapan aparat pemerintah daerah dan pusat, anggota legislatif dan yudikatif, pengusaha, aparat sipil negara, aparat kemanan karena melakukan korupsi sangat memprihatinkan. Bahkan penangkapan Ketua Mahkamah Agung karena korupsi bagi Magnis Suseno, sebuah malapetaka.
Tantangan kelima, yang juga sangat nyata dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini adalah ekstremisme agama. Ekstremisme ideologis agamis, apapun agamanya, tidak bersedia mengakui mereka yang berbeda. Fenomena radikalisme dan terorisme yang meluas di berbagai sendi kehidupan bersama di masyarakat, yang mewujud pada sikap dan tindakan intoleran terus berupaya menggantikan prinsip-prinsip dasar etis Pancasila.
Tantangan zaman digital
Buku ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama mengangkat wacana tentang politik, demokrasi, dan rekonsiliasi. Bagian kedua, membahas isu-isu multikulturalisme, kebangsaan, dan agama. Adapun bagian ketiga tentang bernegara secara etis. Bunga rampai pemikiran Magnis Suseno ini secara keseluruhan menyajikan 26 tulisan yang masing-masing disampaikan secara lugas namun reflektif mendalam. Buku ini ditutup dengan sebuah tulisan menarik yang membahas secara kritis dalam 13 halaman tentang “apa itu ideologi?”
Berbagai tema yang diangkat dalam bunga rampai ini pada dasarnya ingin mengingatkan kembali masyarakat, bahwa perjuangan menghidupi dan mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia dengan didasarkan pada komitmen etis bersama Pancasila belum selesai. Terus menghadapi berbagai tantangan yang mengancam keutuhan bangsa dan negara.
Perjuangan menghidupi dan mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia dengan didasarkan pada komitmen etis bersama Pancasila belum selesai.
Segenap tantangan itu terasa tampil makin canggih seturut perkembangan zaman yang sangat terasa didominasi oleh internet atau teknologi digital. Berbagai gagasan dan tindakan terkait intoleransi, korupsi, konsumerisme, juga ekstremisme agamis menyusup dalam kesadaran invidual, beranak pinak dalam jaringan yang sulit dilacak, terus berinovasi mengikuti perkembangan teknologi. Persis terkait “Indonesia Now” yang serba digital ini kurang cukup mendalam dibahas dalam buku ini. Bagaimana teknologi menjadi sedemikian ideologis, sarat kepentingan yang juga mengancam keutuhan bangsa Indonesia.