Membaca Fakta, Memaknai Peristiwa
Bli Can percaya kebudayaan harus mampu menyuarakan nilai kebenaran dan moralitas universal, terbebas dari kebenaran dan moralitas sempit sektarian.
Judul Buku: ePILOG: Esai Kebudayaan Kompas
Penulis: Putu Fajar Arcana
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit: Cetakan 1, 2020
Tebal buku: xviii + 182 halaman
ISBN: 978-623-241-503-4
Epilog menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bagian penutup pada karya sastra, yang fungsinya menyampaikan intisari cerita atau menafsirkan maksud karya itu oleh seorang aktor pada akhir cerita; pidato singkat pada akhir drama yang memuat komentar tentang apa yang dilakonkan; peristiwa terakhir yang menyelesaikan peristiwa induk. Epilog menjadi inti, kesimpulan tafsir yang menggarisbawahi suatu peristiwa.
Di tangan Putu Fajar Arcana, seorang wartawan senior, sastrawan dan juga budayawan, epilog menjadi tajuk bagi esai-esai yang ditulis dan dikumpulkannya dalam satu buku ini. ePILOG adalah catatan akhir dari banyak peristiwa dengan celotehan tentang peradaban masa lalu yang berbau megalitikum sampai peradaban masa depan yang ditandai dengan era kuantum.
Ruang kupasannya hampir selalu berangkat dari pengalaman personal sebagai jurnalis untuk kemudian beranjak menemukan fakta dan peristiwa serupa, yang disajikan dengan racikan ilmu sastra sehingga menjadi adonan yang renyah dan gurih” (hal. xvi-xvii). Di dalamnya terangkum berbagai macam bahasan mulai dari tema politik, isu jender dan feminisme, konservasi alam hingga sosio kultural dalam konteks logika kebudayaan kontemporer.
Wartawan cum sastrawan Linda Christanty di halaman belakang buku ini menyebut bahwa esai-esai dalam buku ini kaya oleh lapisan-lapisan pengetahuan yang membuat kita berpikir, tertegun ataupun merasa bahwa pengalaman hidup sebagai manusia sungguh berharga, dengan memaknai apa yang luput tak tertandai, dengan wawasan dan kesadaran hari ini.
Ia membicarakan seni dan sastra hingga masalah di berbagai tempat dan zaman yang terkadang rumit melalui narasinya yang jernih. Di sela-selanya, ia menyampaikan folklor atau cerita rakyat untuk membagi sudut pandang dalam melihat masa kini dan masa depan. Hal ini menjadi poin pembeda penting diantara kumpulan esai para penulis lainnya.
Dalam buku ini, penulis mengupas nilai dan makna yang berkelindan di balik fakta sosial, sebagai potret fenomena, yang merepresentasikan kondisi jamannya. Esai-esai Bli Can, panggilan akrabnya, kronometrik: merangkum waktu yang lama dan masa depan, terangkum dalam masa kekinian.
Seperti pilihan judul buku yang mengacu pada fenomena zaman elektronik dimana ”peradaban telah beralih dari ’ter-raba’ dan ’nir-raba’”, membuatnya menjelajahi kedalaman macam apa yang mungkin dirumuskan bagi pembacanya untuk bertamasya dalam dunia lintas batas Bli Can untuk sampai ke satu yang utuh dan padu menuju dunia keseluruhan.
Untuk itu ia membedah berbagai permasalaham sosial lalu menguraikannya dalam elemen-elemen penting yang fundamental untuk membangun konsepsi konstruktif atas bayangan ideal bagi kebudayaan. Misal esai berjudul ”Antagonisme Air Banjir”, tidak hanya berhenti pada fenomena yang melanda ibu kota, tapi menyelami suatu pemahaman tentang tirta amarta—antara fakta sosial dan kearifan lokal, antara problematika dan kekayaan budaya.
Dengan alur pikiran yang runtut dan logis, esainya partisipatoris—tidak berdiri sendiri, tapi mengajak pembacanya terlibat didalamnya sebagai biografi kreatif. Di tangan Bli Can, politik bukan jadi suatu hal yang membuat kening berkerut, karya seni rupa dan teater bukan jadi sesuatu yang abstrak, sulit dimaknai dan segmentatif, bahkan pembahasan masalah sosial tidak menjadi soal.
Ia bisa bicara tentang kearifan lokal, histori ekologi, sejarah pergerakan, dan filsafat kontemporer dengan sama terampilnya. Bahasanya sederhana, jelas, dan lugas, dengan basis logika yang kontekstual.
Doktor filsafat Saras Dewi dalam pengantarnya menegaskan bahwa ePILOG ”memadukan reportase kejadian-kejadian terkini dengan bahasa sastrawi, tapi juga bernas dengan pikiran cemerlang. Detil-detil komponen ceritanya yang memiliki gradasi seperti warna, menciptakan makna peristiwa. Ketajaman dan puitis esai-esai ini adalah suatu afirmasi terhadap pengalaman seorang jurnalis senior” (hal. viii-ix).
Penulis seperti meyakini peristiwa dalam perspektif kebudayaan memiliki keutuhan dan keluhuran dalam dimensi keindahan (estetika) ataupun kebenaran (the truth). Sehingga dalam menyampaikan suatu telaah, ia mengedepankan prinsip keindahan; keindahan berbahasa dan keindahan budi. Seperti dalam esai ”Museum Waktu yang Meleleh”, ”Pohon yang Luka”, ”Cak Lontong Melipat Logika”, ia memotret hal-hal yang dekat, sederhana, dan akrab untuk membahas suatu permasalahan yang lebih luas.
Dengan perspektif sastra dan budaya, ia mengulas dengan kritis ketidakadilan, praktik hegemoni dan orang-orang yang menderita akibat kesewenangan, dengan tidak terasa membakar seperti nyala api, tetapi puisi yang menyentuh hati. Seperti dalam ”Revolusi Nyi Pohaci”, ”Perjamuan Semesta”, ”Inkulturasi Sebatang Bambu”, dan ”Pulang Kampung ke Ubud”, Bli Can menyikapi dengan kritis pemikiran antroposentrik yang mengutamakan kepentingan manusia dari kompleksitas masalah iklim yang ditekan dibawah isu politik.
Seperti esai ”Ayu tapi Hantu”, Bli Can membahas isu global dalam perspektif kultural yang otentik. Esai ini jadi sindiran bahwa terminologi hantu telah dikapitalisasi dalam konteks ekspresi modernitas. Melalui contoh film-film dengan tokoh hantu perempuan, Bli Can mengkritik tajam ideologi jender. Ia mensinyalir bahwa kurangnya kesadaran kesetaraan jender berasal dari kurangnya pemaknaan kita terhadap cinta—terhadap orang lain, alam, dan lainnya.
Melalui ”Penanggalan Merah Gus Dur”, ”Oleander Mekar di Musim Wabah”, atau ”Cintalah yang Membuat Diri Bertahan”, misalnya, penulis mampu mengartikulasikan cinta sebagai pemahaman yang penting dan elementer saat ini. Pada saat yang sama, ia juga mengupayakan dialog, perdamaian, pluralism partisatoris sebagai upaya penting dan inspirasional dalam menghadapi fenomena kekinian.
ePILOG menyimpan rekam jejak dari berbagai masalah yang muncul dalam kebudayaan kita, menyiratkan sebuah usaha untuk memenuhi ruang pemaknaan, menunjukkan dunia Can yang lintas batas: tidak juga tema beraneka ragam, tapi juga pengalaman hidup sebagai biografi kreatifnya, yang menjadi bagian dari kekayaan teks tersebut. Dari sana kita bisa menangkap sebuah dunia yang kaya, penegasan perayaan kepada hidup, pada warisan kulturnya yang diakselerasi dalam tulisannya sekaligus sebagai teguran pada dirinya sendiri.
Buku ini menjadi upaya penulis menemukan perangkat-perangkat ide dari fenomena budaya untuk diteliti berbagai kemungkinan makna dan kontekstualitasnya dalam laju jaman. Karena sebagai penulis ia meyakini kebudayaan harus mampu menanggapi, menafsir, memberi arti, dan mempersepsi lingkungan secara kreatif, obyektif, tapi tetap kritis.
Ia percaya kebudayaan harus mampu menyuarakan nilai kebenaran dan moralitas universal, terbebas dari kebenaran dan moralitas sempit sektarian. Dengannya, pembacaan atas esai-esai ini menjadi semacam tamasya bahasa untuk mencapai kedalaman makna peristiwa sekaligus mengajak kita bergerak ke masa depan yang lebih baik sebagai sebuah kelompok masyarakat yang multikultural. Hal ini yang menjadikannya tetap kontekstual dalam waktu mendatang.
(Purnawan Andra, Bekerja pada Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbud)