logo Kompas.id
Bebas AksesPeliknya Pengelolaan Sampah...
Iklan

Peliknya Pengelolaan Sampah Kemasan Plastik

Minimnya pengelolaan sampah oleh masyarakat diperburuk dengan realitas banyak produk yang dikemas dengan plastik.

Oleh
YOESEP BUDIANTO
· 5 menit baca
Sebuah sampah plastik berupa kantong plastik transparan melayang-layang di kolom air di Perairan Pulau Tomia, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Minggu (27/1/2019). Sampah plastik ini rentan dimakan langsung oleh penyu ataupun paus yang mengiranya sebagai ubur-ubur.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO

Sebuah sampah plastik berupa kantong plastik transparan melayang-layang di kolom air di Perairan Pulau Tomia, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Minggu (27/1/2019). Sampah plastik ini rentan dimakan langsung oleh penyu ataupun paus yang mengiranya sebagai ubur-ubur.

Sampah kemasan plastik belum sepenuhnya dikelola dengan baik sehingga mencemari lingkungan. Untuk mengurangi timbulan sampah plastik, pemerintah dapat meningkatkan ruang daur ulang sekaligus mencegah produk-produk kemasan plastik.

Indonesia termasuk negara dengan jumlah limbah plastik terbesar di dunia. Merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2022, timbulan sampah di Indonesia mencapai 69,2 juta ton dengan 18 persen di antaranya merupakan sampah plastik. Berdasarkan penyumbangnya, salah satu sumber terbanyak adalah sampah domestik atau rumah tangga dan perniagaan.

Puluhan juta ton sampah plastik tersebut belum diolah dengan maksimal. Sebagian besar sampah dibiarkan menumpuk sehingga mencemari lingkungan.

Penelitian oleh Litbang Kompas dan Net Zero pada November 2022 menunjukkan, kesadaran dan upaya pengelolaan sampah di Indonesia sangat minim. Dari 600 responden hanya 30 persen responden yang pernah berlatih pengelolaan sampah.

Warga memasukkan botol plastik ke kotak penyimpanan sedekah sampah plastik di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur, Kamis (10/8/2023).
KOMPAS/RIZA FATHONI

Warga memasukkan botol plastik ke kotak penyimpanan sedekah sampah plastik di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur, Kamis (10/8/2023).

Minimnya pengelolaan sampah oleh masyarakat diperburuk dengan realitas banyak produk yang dikemas dengan plastik. Produk kemasan plastik tersebut meliputi produk makanan, minuman, kecantikan, hingga ironisnya, produk kebersihan.

Timbulan sampah kemasan plastik masih mendominasi berbagai lokasi, mulai dari tempat pembuangan sampah (TPS), tempat pembuangan akhir (TPA), badan air, pinggir jalan, sawah, pesisir, laut, dan lainnya. Tiga jenis sampah kemasan paling banyak ditemukan adalah kemasan saset, gelas, dan botol. Hal tersebut bertolak belakang dengan agenda besar pemerintah dalam upaya pengurangan sampah plastik.

Minimnya pengelolaan sampah oleh masyarakat diperburuk dengan realitas banyak produk yang dikemas dengan plastik.

Temuan di lapangan berupa sampah kemasan berukuran kecil menambah peliknya pengelolaan sampah di Indonesia. Ukuran kemasan kecil membuat orang tidak merasa bersalah ketika membuangnya.

Sampah kecil itu tanpa disadari akhirnya bertumpuk dan menjadi banyak. Alhasil, sampah plastik akan terus bertambah dari hari ke hari. Karena itu, pemerintah harus tegas mendorong produsen beralih ke kemasan lebih besar demi mengurangi kemasan-kemasan kecil. Apalagi, melalui peta jalan pengurangan sampah oleh produsen, pemerintah menargetkan penurunan volume sampah plastik hingga 30 persen sepanjang periode 2020-2029.

Anak-anak ikut bekerja bersama orangtua mereka mencari botol plastik di bukit-bukit sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Rabu (25/10/2023).
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Anak-anak ikut bekerja bersama orangtua mereka mencari botol plastik di bukit-bukit sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Rabu (25/10/2023).

Tanggung jawab produsen

Urgensi pengelolaan sampah plastik harus ditekankan di level produsen. Idealnya, ada aturan tegas bagi produsen makanan, minuman, produk kecantikan, dan lainnya yang menghasilkan sampah plastik untuk menangani sampah plastik.

KLHK telah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah Oleh Produsen. Aturan tersebut mewajibkan produsen bidang manufaktur, jasa makanan dan minuman, serta ritel untuk mengurangi sampah yang timbul baik dari produk, kemasan produk, dan/atau wadah dengan bahan plastik, kaleng alumunium, kaca, dan kertas.

Baca juga: Menuju Pengelolaan Sampah yang Lebih Baik

Iklan

Terdapat tiga skema untuk mengurangi sampah, yaitu pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah, dan pemanfaatan kembali sampah.

Ada cukup banyak industri yang diwajibkan untuk melakukan pengurangan sampah. Dalam pasal 3, tercatat setidaknya ada 11 jenis industri yang harus mengurangi produksi sampah plastiknya hingga 30 persen. Jenis industri tersebut meliputi industri makanan dan minuman, barang konsumsi, kosmetik dan perawatan tubuh, rumah makan, kafe, restoran, jasa boga, hotel, pusat perbelanjaan, toko modern, serta pasar rakyat.

Dua pekerja menyortir cacahan sampah botol plastik di Koperasi Pemulung Berdaya, Kota Tangerang Selatan, Banten, Senin (18/9/2023). Koperasi ini memberdayakan para pemulung dan warga setempat untuk bekerja sebagai pengolah sampah botol dan galon plastik.
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Dua pekerja menyortir cacahan sampah botol plastik di Koperasi Pemulung Berdaya, Kota Tangerang Selatan, Banten, Senin (18/9/2023). Koperasi ini memberdayakan para pemulung dan warga setempat untuk bekerja sebagai pengolah sampah botol dan galon plastik.

Salah satu poin yang penting disoroti adalah pembatasan timbulan sampah. Hal ini dilakukan melalui penggunaan produk, kemasan produk, dan/atau wadah yang mudah diurai oleh proses alam. Artinya, produsen harus beralih ke kemasan yang lebih besar untuk meminimalkan sampah kemasan berukuran kecil.

Sementara usaha pendauran ulang sampah plastik dilakukan melalui dua skema, yaitu menggunakan bahan baku produksi yang dapat didaur ulang dan hasil daur ulang.

Dari hasil survei Litbang Kompas terlihat bahwa mayoritas responden belum memiliki kebiasaan untuk mendaur ulang sampah kemasan atau menggunakan produk yang sampahnya dapat dikembalikan ke produsen. Sebanyak 77,5 persen responden mengatakan tidak pernah mengumpulkan kemasan atau mengembalikan kepada produsen. Selain itu, 75,7 persen responden menyatakan belum pernah menggunakan produk yang sampahnya dikumpulkan ke produsen.

Di sisi lain, upaya pengurangan sampah plastik belum didukung ketegasan aturan untuk produsen. Aturan tersebut tidak memiliki skema sanksi berat kepada produsen yang tidak patuh.

Dua truk sampah melintas di tumpukan sampah yang ada di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (27/6/2023).
FAKHRI FADLURROHMAN

Dua truk sampah melintas di tumpukan sampah yang ada di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (27/6/2023).

Sanksi yang diberikan kepada produsen hanya berupa disinsentif. Sanksi yang bersifat hukuman denda atau kurungan belum tercantum. Hal tersebut tentu akan melemahkan upaya pengurangan sampah plastik untuk produsen.

Keterlibatan lebih luas

Regulasi yang telah diterbitkan belum sepenuhnya mampu mendorong pengurangan sampah plastik oleh produsen secara masif. Bahkan, banyak produsen yang terus mengeluarkan produk dengan kemasan plastik kecil dan sulit terurai.

Penelitian Litbang Kompas dengan Net Zero menyebutkan, ada sejumlah produsen yang mendominasi sampah kemasan plastik di lapangan. Untuk produk makanan, bungkus plastik mi instan menduduki urutan pertama, kemudian disusul kemasan botol minuman berpemanis buatan. Produk-produk kebersihan, seperti sabun mandi, sampo, pasta gigi, cairan pel, dan lainnya juga menyumbang timbulan sampah tak sedikit.

Pelanggaran oleh produsen akan sulit dibendung, mengingat aturan yang berlaku belum cukup kuat membatasi produksi kemasan plastik berukuran kecil. Apalagi aturan tentang sampah yang dikeluarkan KLHK tidak terintegrasi dengan izin edar yang dikeluarkan BPOM dan Kementerian Perindustrian.

Petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) mengumpulkan sampah plastik di aliran air menuju Waduk Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (21/12/2022). Sampah dari kemasan makanan tersebut berasal dari lingkungan sekitar yang banyak terdapat pedagang kaki lima.
KOMPAS/PRIYOMBODO

Petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) mengumpulkan sampah plastik di aliran air menuju Waduk Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (21/12/2022). Sampah dari kemasan makanan tersebut berasal dari lingkungan sekitar yang banyak terdapat pedagang kaki lima.

Selama ini izin edar hanya didasarkan pada kelayakan serta kualitas makanan, minuman, kosmetik, dan lainnya. Indonesia belum mengatur tegas tentang sampah plastik akibat konsumsi produk-produk tersebut.

Plastik yang terurai hingga ukuran kecil atau disebut mikroplastik adalah bahan pencemar berbahaya bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Banyak di dalam tubuh hewan ditemukan mikroplastik sehingga berpotensi membahayakan manusia jika dikonsumsi.

Dibutuhkan peran lebih banyak pihak untuk mengurangi sampah kemasan plastik. Selain langkah tegas pemerintah pusat dan daerah untuk menindak produsen, pemberdayaan masyarakat dan komunitas juga penting dilakukan.

Masyarakat dapat dilibatkan secara aktif melalui pengelolaan sampah kemasan plastik yang berkelanjutan. Skema tersebut adalah bentuk ideal yang mempertemukan hulu dan hilir dalam sistem produksi dan konsumsi produk dengan kemasan plastik. (LITBANG KOMPAS)

Editor:
HARYO DAMARDONO, HAMZIRWAN HAMID
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000