logo Kompas.id
Bebas AksesHarmoni Bahari dan Gunung Desa...
Iklan

Harmoni Bahari dan Gunung Desa ”Piring Matahari”

Hampir mustahil bagi orang Lamalera bercocok tanam di tanah penuh batu dan karang. Itu alasan mereka memburu ikan paus.

Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO, TATANG MULYANA SINAGA
· 6 menit baca
Mama-mama melakukan kegiatan barter di Desa Lamalera A, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Rabu (22/11/2023). Tradisi barter bagi masyarakat Lamalera disebut panetang atau fule peneta yang sudah berlangsung selama ratusan tahun silam.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Mama-mama melakukan kegiatan barter di Desa Lamalera A, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Rabu (22/11/2023). Tradisi barter bagi masyarakat Lamalera disebut panetang atau fule peneta yang sudah berlangsung selama ratusan tahun silam.

Orang Lamalera kisahnya mendunia sebagai pemburu paus ulung. Namun, ketekunan sebagian warga yang piawai bercocok tanam di lahan tandus menjadi ketangguhan lainnya. Lewat fule peneta, kekuatan mereka tersaji untuk saling menghidupi “piring matahari”.

Lamalera, desa di ujung selatan Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, itu memiliki arti ”piring matahari”. Nama itu disematkan para nenek moyang mereka untuk menggambarkan betapa susahnya hidup di tanah yang penuh batu dan karang, di bawah sengatan matahari, dan ganasnya Laut Sawu.

Jam masih menunjukkan pukul 05.00 WITA, tetapi matahari muncul begitu cepat pada Jumat (24/11/2023). Aktivitas warga Desa Lamalera A, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, sudah dimulai beberapa jam sebelumnya.

Pagi itu Paulina Witin (48) memeriksa madak lolo, lumbung pangan orang Lamalera. Saat melihat keranjang demi keranjang, persediaan jagung menipis, bahkan sudah tidak ada padi lagi yang bisa digiling.

Cepat-cepat Paulina keluar dapur dan mengambil beberapa irisan daging ikan paus pilot (Globicephala) yang sehari sebelumnya ia dapat dari tetangga kampung. Di Lamalera, saat salah satu nelayan dapat ikan paus atau ikan raksasa lainnya, maka tetangga pun menikmati hasilnya.

Beberapa irisan daging atau yang disebut wareng sudah kering sehingga terlihat menghitam. Daging yang menghitam biasanya sudah dijemur berhari-hari.

Paulina mengumpulkan beberapa wareng lalu ia jemur di blepa lolo, tempat jemur ikan tradisional Lamalera. Blepa lolo berbentuk seperti jemuran yang terbuat dari bambu lalu digantung di atas atap.

Saat sedang asyik menjemur, Paulina kedatangan tamu dari Dusun Lamamanu, dusun di ujung bukit Lamalera, di bawah kaki Gunung Ile Labalekang.

Marsiana Hariona (20) memanggul sayuran seusai menukar atau barter dengan daging ikan paus di Desa Lamalera A, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Flores-NTT, Sabtu (25/11/2023). Para perempuan menempuh perjalanan panjang untuk bisa dapatkan hasil bumi demi mencapai ketahanan pangan.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Marsiana Hariona (20) memanggul sayuran seusai menukar atau barter dengan daging ikan paus di Desa Lamalera A, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Flores-NTT, Sabtu (25/11/2023). Para perempuan menempuh perjalanan panjang untuk bisa dapatkan hasil bumi demi mencapai ketahanan pangan.

Martha Bare Keraf (48) bersama cucunya, Maria (4) turun gunung. Perjalanan sudah dimulai sejak subuh dari Lamamanu. Jalan yang Martha lalui menegangkan. Bayangkan saja, sambil menggendong cucunya, ia masih sempat menjunjung keranjang anyaman dari daun lontar di kepala.

Keranjang itu beratnya hampir 8 kilogram berisi beberapa tongkol jagung kering, ubi-ubian, beberapa potong kelapa siap parut, dan daun singkong. Semuanya merupakan hasil bercocok tanam di ladangnya.

Di Lamalera, hanya Dusun Lamamanu yang bercocok tanam. Karena tinggal di kaki gunung, mereka tak bisa melaut. Mereka menanam padi, jagung, dan singkong.

Begitu Martha tiba keranjang diturunkan dari kepala, Paulina semringah. Paulina mulai memilih-milih bahan yang ingin ditukar.

Baca juga: Desa Garda Terdepan Pemajuan Kebudayaan

Paulina memberikan satu irisan daging dan Martha menukarnya dengan 12 tongkol jagung kering. Irisan lainnya ditukar dengan tiga buah singkong, lalu irisan terakhir ia tukar dengan dua potong kelapa siap parut. Semakin siang, kian banyak perempuan dari Lamamanu yang datang untuk barter daging. Paulina pun mendapatkan satu kantong kecil beras ampera.

Tradisi barter itu disebut penetang atau fule peneta yang mempertemukan hasil laut dan hasil ladang. Selama sepakat, maka barter pun jadi. Tradisi ratusan tahun itu tak hanya untuk memenuhi kebutuhan dapur. Martha bahkan pernah membayar uang sekolah anaknya dengan padi, singkong, dan jagung.

Mama-mama menunggu dimulainya kegiatan barter di Desa Lamalera A, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Rabu (22/11/2023). Tradisi barter bagi masyarakat Lamalera disebut panetang atau <i>fule peneta</i> yang sudah berlangsung selama ratusan tahun silam.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Mama-mama menunggu dimulainya kegiatan barter di Desa Lamalera A, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Rabu (22/11/2023). Tradisi barter bagi masyarakat Lamalera disebut panetang atau fule peneta yang sudah berlangsung selama ratusan tahun silam.

Iklan

Mengolah hidup

Begitulah laku perempuan Lamalera menjaga pangan keluarganya. Selain barter dengan warga sesama desa, mama-mama Lamalera setiap Kamis selalu menghadiri pasar barter di Desa Lamalera B, lalu pada hari Sabtu mereka beramai-ramai berjalan kaki atau naik kendaraan untuk barter di Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, yang jaraknya hampir 10 kilometer dari Desa Lamalera A.

Tradisi barter sudah berlangsung selama ratusan tahun. Tradisi itu diawali dengan kesepakatan dua kampung, yakni Lamalera dan Lewuka. Keduanya bersepakat karena memiliki kekurangan di kampungnya masing-masing. Orang Lewuka tak bisa melaut, Lamalera tak punya ladang, maka jadilah barter.

Jeffry Bataona, salah satu dari tiga pemimpin Lembaga adat Lamalera yang disebut lika telo, menjelaskan, barter sudah dilakukan sejak tahun 1920-an di mana saat itu terjadi peristiwa hilangnya beberapa kelompok lamafa atau sang juru tikam ikan raksasa Lamalera. Saat keluarga dan kerabat percaya mereka sudah tewas ditelan Laut Sawu, para lamafa yang hilang itu kembali dan bercerita jika diselamatkan oleh orang Lewuka.

Suasana pagi di Desa Lamalera A, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Jumat (24/11/2023). Lamalera, daerah terpencil di selatan Pulau Lembata mempunyai tradisi berburu paus lebih dari 500 tahun yang hingga kini masih dipertahankan oleh masyarakatnya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Suasana pagi di Desa Lamalera A, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Jumat (24/11/2023). Lamalera, daerah terpencil di selatan Pulau Lembata mempunyai tradisi berburu paus lebih dari 500 tahun yang hingga kini masih dipertahankan oleh masyarakatnya.

Ketika barter menjadi tradisi, lanjut Jeffry, lahirlah prinsip hidup baru orang Lamalera yang disebut olla morip. Olla morip artinya seni mengolah hidup. Olla berarti daratan dan morip bermakna hidup di lautan lepas.

”Jadi, orang Lamalera punya dua ladang di laut dan di darat. Laut digambarkan sebagai ladang utama pemberian ina lafa (ibu laut), karena tanpa hasil laut itu, mungkin barter tidak akan ada. Sehingga kami di sini kalau beras habis, tidak pusing. Selalu ada ikan yang bisa ditukar dengan satu keranjang beras,” ungkap Jeffry.

Walakin, Jeffry menambahkan, semua itu mustahil terjadi jika tanpa campur tangan dan kreativitas para mama Lamalera yang mengolah daging ikan dan menukarnya atau menjualnya dari desa ke desa.

Nelayan bergotong royong membawa perahu menuju perairan untuk melaut di Desa Lamalera B, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Selasa (21/11/2023). Lamalera, daerah terpencil di selatan Pulau Lembata, mempunyai tradisi berburu paus lebih dari 500 tahun.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Nelayan bergotong royong membawa perahu menuju perairan untuk melaut di Desa Lamalera B, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Selasa (21/11/2023). Lamalera, daerah terpencil di selatan Pulau Lembata, mempunyai tradisi berburu paus lebih dari 500 tahun.

Pangan lokal

Proses barter itu direka ulang di festival budaya ”Tani Tenane, Fule Penete” yang berlangsung pada 20-25 November 2023. Desa Lamalera A menjadi salah satu dari ratusan desa budaya dari program pemajuan kebudayaan dari Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Selama festival berlangsung, mama-mama Lamalera menyuguhkan penganan tradisional Lamalera dan masakan khas mereka. Seperti loma atau olahan singkong tumbuk di dalam bambu yang kemudian dibakar, lalu ada kue putu yang juga olahan singkong dengan kelapa dan gula merah, ada juga kue putri mandi susu yang berupa olahan singkong yang ditumbuk lalu direbus hingga disajikan seperti sate dengan taburan parutan kelapa.

Jadi, tradisi itu yang membuat kami hidup dan bahkan dikenal dunia sampai saat ini sehingga jika budaya tercabut, hidup orang Lamalera sirna.

Saat makan siang, setiap orang bisa memilih makanan utamanya, mulai dari nasi, nasi jagung, hingga kacang-kacangan yang dilengkapi dengan lauk rica-rica ikan lumba-lumba, ikan terbang, dan ikan pari. Semuanya semakin lengkap dengan siraman sayur daun kelor dan daun pepaya.

Seiring berjalannya waktu, Lamalera kini memiliki empat dusun. Tiga dusun merupakan kampung para pemburu paus dengan peledang atau kapal tradisional mereka yang tersohor. Satu dusun lagi tinggal di atas bukit yang merupakan kampung para peladang, yakni Lamamanu.

Nelayan berangkat melaut di Desa Lamalera B, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Selasa (21/11/2023). Lamalera, daerah terpencil di selatan Pulau Lembata, mempunyai tradisi berburu paus lebih dari 500 tahun yang hingga kini masih dipertahankan oleh masyarakatnya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Nelayan berangkat melaut di Desa Lamalera B, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Selasa (21/11/2023). Lamalera, daerah terpencil di selatan Pulau Lembata, mempunyai tradisi berburu paus lebih dari 500 tahun yang hingga kini masih dipertahankan oleh masyarakatnya.

Kepala Desa Lamalera A Yakobus Glau Tufan menjelaskan, orang Lamamanu masih bercocok tanam hingga saat ini. Berkat mereka, orang Lamalera memiliki hasil bumi dan bahkan masih mengonsumsi pangan liar, seperti kacang-kacangan yang disebut uto keda, uto knoing, dan ipa. Lalu ada ubi liar yang mereka ambil di hutan dengan sebutan hura kole, sejenis ubi jalar dengan daun yang lebih panjang dibanding ubi jalar pada umumnya.

Ladang milik warga Lamamanu diolah dengan tradisi tebas bakar. Tak hanya padi dan jagung yang ditanam, ada juga singkong, ubi jalar, dan di pinggir-pinggir ladang biasanya ditanami pohon kelor. Namun, karena padi bukan pangan utama mereka, tak ada benih lokal yang ditanam di Lamalera. Mereka baru mengenal padi sekitar tahun 1980.

”Jadi saling melengkapi karena tradisi. Jadi tradisi itu yang membuat kami hidup dan bahkan dikenal dunia sampai saat ini sehingga jika budaya tercabut, maka hidup orang Lamalera sirna,” ungkap Yakobus.

Untuk memenuhi kebutuhan sepiring nasi, para lelaki Lamalera harus mengadu nyawa di laut. Sementara itu, mama-mama harus berjalan menyusuri hutan untuk menukar bahan pangan hingga mengatur isi dapur. Dengan demikian, ketahanan pangan bisa dicapai dan budaya setempat tetap terjaga.

Baca juga: Belajar Membuat Tenun Lamalera

Editor:
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000