logo Kompas.id
Bebas AksesOrang Bontang dan Masyarakat...
Iklan

Orang Bontang dan Masyarakat Tanpa Sekat

Dengan luas wilayah 158,23 kilometer persegi, terdiri atas tiga kecamatan, serta berpenduduk sekitar 180.000 jiwa, Bontang membuat warganya selalu bersua. Kalaupun tidak mengenal nama, setidaknya mereka mengenal wajah.

Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, SUCIPTO
· 5 menit baca
Peta wilayah Bontang Kuala, Kota Bontang, Kalimantan Timur, Jumat (9/6/2023). Perkampungan tua di pesisir Bontang ini kini menjadi salah satu destinasi wisata di Kota Bontang.
KOMPAS/PRIYOMBODO

Peta wilayah Bontang Kuala, Kota Bontang, Kalimantan Timur, Jumat (9/6/2023). Perkampungan tua di pesisir Bontang ini kini menjadi salah satu destinasi wisata di Kota Bontang.

Kemajemukan masyarakat Kota Bontang, Kalimantan Timur, tak memunculkan sekat-sekat pemicu permasalahan sosial. Sebaliknya, sikap saling menghormati antarwarga, yang terdiri atas beragam suku dan etnis di Indonesia, selalu tersemai dalam aktivitas masyarakatnya. Sebagian besar dihuni pendatang, Bontang layaknya Indonesia mini.

Siang itu, Sabtu (10/6/2023), Ahmad Sobirin (47), pengemudi ojek daring yang juga warga Kelurahan Bontang Baru, Kecamatan Bontang Utara, baru saja mengantar sejumlah penumpang ke beberapa sudut Kota Bontang. Sapa dan senyuman tidak luput dari mulut dan wajahnya saat menjemput dan menurunkan penumpang.

Bukan basa-basi atau prosedur operasi standar (SOP) pekerjaannya semata, tetapi telah menjadi jalinan silaturahmi sesama warga Bontang. Bagaimana tidak, di Kota Bontang yang relatif kecil, tak jarang laki-laki asal Kediri, Jawa Timur, itu mendapat beberapa pelanggan yang sama di lain hari atau kesempatan.

”Di Bontang ini, ibaratnya, kalau ada orang ribut-ribut dengan yang lain, (orang) satu kota bisa tahu. Tapi karena itu juga, situasinya selalu kondusif. Warganya hidup rukun. Orang-orang dari berbagai daerah di Indonesia (sebagai pendatang) bercampur tinggal di sini dan membaur,” kata Sobirin yang sudah lebih dari 15 tahun menetap di Bontang.

Menurut dia, potensi perselisihan bukannya tidak ada sama sekali. Namun, hal itu selalu bisa diredam dengan cepat. Saban pemilihan umum (pemilu), misalnya, perbedaan pilihan tak terhindarkan, termasuk di media sosial. Akan tetapi, semua terkendali, tanpa ada yang tersulut emosi secara berlebihan atau berbuah keributan besar.

Warga berlatih olahraga tradisional belogo di Kampung Adat Guntung, Kecamatan Bontang Utara, Kota Bontang, Kalimantan Timur, Minggu (11/6/2023). Belogo merupakan permainan atau olahraga tradisional yang dimainkan secara beregu tiga orang ataupun sendiri.
KOMPAS/PRIYOMBODO

Warga berlatih olahraga tradisional belogo di Kampung Adat Guntung, Kecamatan Bontang Utara, Kota Bontang, Kalimantan Timur, Minggu (11/6/2023). Belogo merupakan permainan atau olahraga tradisional yang dimainkan secara beregu tiga orang ataupun sendiri.

Hal tersebut diamini Dede Solihin (34), warga Kelurahan Api-Api, Bontang Utara. Laki-laki asal Garut, Jawa Barat, tersebut merasakan indahnya kerukunan di tengah-tengah perbedaan. Bertetangga dengan warga dari etnis berbeda, pekerja di bidang pertambangan itu sama sekali tidak merasa asing karena silaturahmi antarwarga terjalin dengan kuat.

Solidaritas warga untuk saling membantu pun tinggi. ”Pernah di salah satu grup media sosial komunitas di Bontang, waktu saya bilang masjid di kampung halaman (di Garut) sedang membutuhkan dana untuk pembangunan, terkumpul lebih dari Rp 15 juta. Alhamdulillah, dan kaget juga karena solidaritas warga sebesar itu,” kata Dede.

Baca juga : Masjid Tua Bontang dan Ingatan mengenai Pertemuan Banyak Budaya

Menurut Ketua Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Kota Bontang Syarifuddin Dillah, hampir semua suku di Indonesia ada di Bontang. Dengan luas wilayah 158,23 kilometer persegi, terdiri atas tiga kecamatan, serta berpenduduk sekitar 180.000 jiwa, Bontang membuat warganya selalu bersua. Kalaupun tidak mengenal nama, setidaknya mereka saling mengenal wajah. Ia pun selalu menekankan bahwa semua warga Bontang bersaudara.

Di Bontang, imbuh Syarifuddin, setidaknya ada lebih dari 70 paguyuban asal daerah masing-masing, yang bisa juga merepresentasikan kabupaten/kota di Indonesia yang ada di Bontang. Selain itu, di kepengurusan FPK Kota Bontang juga ada perwakilan dari 55 etnis. Mereka selalu aktif untuk bersama-sama menjaga kondusivitas Bontang.

”Konflik itu biasanya diawali persoalan pribadi, lalu bawa-bawa suku hingga SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Itu yang selalu kami antisipasi. Setiap ada perselisihan di satu wilayah, kami selesaikan dengan melibatkan ketua paguyuban. Jadi, sebelum memanas, sudah bisa tertangani. Kami juga menekankan bahwa di Bontang tidak ada suku-sukuan. Etnis saja,” ujarnya.

Foto udara kawasan Bontang Kuala, Kota Bontang, Kalimantan Timur, Jumat (9/6/2023). Perkampungan tua di pesisir Bontang ini awalnya merupakan kampung nelayan yang mayoritas dihuni orang-orang Bugis yang datang ke Bontang.
KOMPAS/PRIYOMBODO

Foto udara kawasan Bontang Kuala, Kota Bontang, Kalimantan Timur, Jumat (9/6/2023). Perkampungan tua di pesisir Bontang ini awalnya merupakan kampung nelayan yang mayoritas dihuni orang-orang Bugis yang datang ke Bontang.

Sejarah panjang

Iklan

Kota Bontang punya sejarah panjang sebelum akhirnya menjadi tanah yang ditinggali berbagai etnis seperti saat ini. Juniar Purba dan tim, dalam buku Masyarakat Bugis Diaspora di Bontang Abad XX (2017), menulis bahwa kedatangan masyarakat Bugis dari Sulawesi—tanpa menghilangkan peran etnis lain—menjadi salah satu sejarah penting dalam perkembangan Kota Bontang.

Belum ditemukan catatan pasti kapan permulaan migrasi orang Bugis ke pesisir Kalimantan bagian timur. Kendati demikian, Juniar dan tim memperkirakan ada sejumlah faktor di beberapa periode yang membuat masyarakat dari Sulawesi bermigrasi ke pesisir Kalimantan bagian timur melalui Selat Makassar.

Baca juga : Kampung Malahing di Bontang, dari Kampung Kumuh Menjadi Kampung Wisata

Salah satu yang bisa dilacak adalah adanya berbagai kekacauan yang terjadi dalam kehidupan sosial dan politik di Sulawesi Selatan. Beberapa di antaranya, tulis Juniar dan tim, pada masa VOC menggempur Makassar serta menundukkan Wajo pada abad ke-17. Selain itu, terbit Perjanjian Bonggaya yang lebih menguntungkan VOC.

Dengan kemampuan berlayar yang mumpuni, orang-orang Bugis yang merasa tidak nyaman mengarungi lautan ke pesisir Kalimantan bagian timur. Mereka mencari penghidupan baru yang dirasa lebih aman dan nyaman ditinggali, salah satunya pesisir daerah yang saat ini menjadi Kota Bontang.

Mustakim (63) yang merupakan orang Bugis bersama istrinya, Hasbiah (56), warga keturunan Kutai, di Kelurahan Guntung, Bontang, Kalimantan Timur, Minggu (11/6/2023). Mereka adalah salah satu contoh keluarga di Kota Bontang yang terdiri atas beragam suku.
KOMPAS/PRIYOMBODO

Mustakim (63) yang merupakan orang Bugis bersama istrinya, Hasbiah (56), warga keturunan Kutai, di Kelurahan Guntung, Bontang, Kalimantan Timur, Minggu (11/6/2023). Mereka adalah salah satu contoh keluarga di Kota Bontang yang terdiri atas beragam suku.

Juniar juga menulis, sejumlah peristiwa penting lain turut membuat perpindahan orang dari Sulawesi dan daerah lain ke Bontang. Dari penelitian Juniar dan tim, yang paling terlihat adalah pada tahun 1970-an saat persiapan operasi perdana kilang PT Badak LNG dan PT Pupuk Kaltim.

Dua perusahaan itu tentu butuh banyak tenaga kerja, mulai dari tenaga ahli hingga tenaga buruh bangunan. Menurut Juniar dan tim, hal ini pula yang membuat banyak pendatang dari sejumlah daerah ke Bontang. Selain untuk menjadi pekerja di dua perusahaan itu, para pendatang melihat peluang untuk berdagang memenuhi kebutuhan ribuan pekerja di dua perusahaan tersebut.

Orang Bontang

Salah satunya adalah Mustakim (63) asal Desa Karampuang, Kecamatan Mamuju, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Ia datang ke Bontang pada tahun 1978. Ia kemudian bekerja menjadi anggota satuan pengamanan di PT Pupuk Kaltim (Persero). Buah dari perantauan itu mempertemukannya dengan Hasbiah (56) yang kemudian menjadi istrinya.

Terjadi perkawinan lintas suku antara Mustakim yang merupakan orang Bugis dan Hasbiah (56)—keturunan Kutai yang bermukim di kampung tua Bontang, yakni Guntung. Kini, Hasbiah dan Mustakim memiliki delapan anak dan sembilan cucu.

Jika ditanya orang mana, keduanya tak lagi menyebut asal kesukuan, tetapi dengan jelas menyebut mereka adalah orang Bontang. Anaknya yang sudah berkeluarga pun menikah dengan etnis yang beragam, seperti dari beberapa daerah Sulawesi dan keturunan Banjar, Kalimantan Selatan. ”Calon mantu satu ini keturunan Jawa. Nanti (semakin) lengkap Indonesia-nya kalau jadi menikah,” kata Hasbiah terkekeh-kekeh.

Pabrik PT Pupuk Kaltim di Bontang, Kalimantan Timur, Jumat (9/6/2023). Keberadaan PKT dan PT Badak LNG pada tahun 1970-an mengundang banyak pendatang dari sejumlah daerah ke Bontang untuk bekerja dan berdagang memenuhi kebutuhan para pekerja di perusahaan milik negara itu.
KOMPAS/PRIYOMBODO

Pabrik PT Pupuk Kaltim di Bontang, Kalimantan Timur, Jumat (9/6/2023). Keberadaan PKT dan PT Badak LNG pada tahun 1970-an mengundang banyak pendatang dari sejumlah daerah ke Bontang untuk bekerja dan berdagang memenuhi kebutuhan para pekerja di perusahaan milik negara itu.

Sebagai perantau, Mustakim merasa Bontang adalah tempat yang nyaman ditinggali. Di kota itu, ia bisa bergaul dan bekerja sama dengan orang dari berbagai latar agama, suku, ras, atau golongan dengan baik. Bahkan, kini ia bisa menikmati berbagai makanan yang tersedia di Bontang.

”Kalau dulu, awal-awal saya tinggal di sini, saya merasa palumara buatan mamak di kampung yang paling enak. Kalau sekarang, pindang khas istri saya juga sudah nikmat,” kata Mustakim.

Berkaca dari keluarganya, Mustakim menilai, terjadinya kawin-mawin antarsuku di Bontang membuat kerukunan di kota tempat tinggalnya terjaga. Hal itu yang membuat orang Sulawesi bisa punya saudara orang Kutai, orang Jawa punya saudara orang Sulawesi, dan seterusnya.

Hal itu pula yang dilihat Juniar dan tim dalam penelitiannya. Dari penelusuran mereka, saat ini banyak kalangan muda Bontang Kuala (salah satu kampung tua di pesisir Bontang) yang walaupun berdarah Bugis tidak bisa berbahasa Bugis.

”Mereka menyebut diri sebagai orang Bontang, bukan orang Bugis. Mereka mengenali budaya sehari-hari sebagai budaya orang Bontang yang lebih merupakan budaya diaspora campuran dari beberapa etnis yang hidup di pemukiman ini,” tulis Juniar dan tim.

Editor:
MUKHAMAD KURNIAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000