Cuaca Panas Tekan Hasil Panen, Harga Sayuran di Kramat Jati Merangkak Naik
Penurunan hasil panen menekan suplai sayuran menuju Jakarta dan membuat harga mulai naik. Adopsi teknologi dan irigasi yang efektif dibutuhkan untuk memitigasi produksi penurunan pertanian akibat cuaca panas.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga sayuran di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, merangkak naik, akibat menurunnya pasokan dari petani di daerah. Pengaruh cuaca, khususnya ancaman kekeringan, dinilai menjadi salah satu penyebabnya. Di tengah ancaman kemarau, Indonesia memerlukan adopsi teknologi pertanian agar stok hasil bumi terjaga dan harga jual-belinya menguntungkan konsumen dan produsen.
Pedagang timun di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta Timur, Upay (29), menerangkan, harga timun mulai naik sejak empat hingga lima hari yang lalu. Awalnya, sejak awal Mei 2023 harga sudah tinggi di angka Rp 8.000 per kilogram, tetapi kini sudah menyentuh Rp 10.000-Rp 13.000 per kilogram. Timun yang dijualnya sendiri berasal dari daerah Serang, Banten, dan Karawang, Jawa Barat.
Harga yang tinggi tersebut membuat ia mengurangi pembelian stok timun dari sekitar 24 karung timun per hari menjadi sekitar 18 karung per hari. Penyesuaian itu dilakukan untuk menyiasati turunnya minat konsumen akibat harga yang masih mahal.
”Harga normalnya Rp 5.000 per kilogram. Dari petani barangnya sedang susah (sedikit), panennya kurang. Belum lagi dalam satu karung biasanya tidak semua bagus, ada timun yang patah. Pembeli juga kaget, kok, mahal sekali,” ucapnya di Jakarta, Kamis (18/5/2023).
Hal yang sama diungkapkan oleh Rubin (52). Ia yang sehari-hari mengangkut hasil timun petani dari Karawang, Jawa Barat, ke Jakarta, menjelaskan, panen dari petani memang sedang menurun. Itu terlihat dari kuantitas timun yang ia angkut, dari awalnya 6-7 truk menjadi hanya 3-4 truk sejak awal Mei 2023 hingga kini.
Ia menilai hasil panen petani menurun karena cuaca sedang tidak mendukung kondisi lahan di sana.
”Cuacanya lagi panas jadi panen dari 1 hektar biasanya 2 ton, sekarang cuma 1 ton. Petani sedang tidak mau menanam banyak, takut istilahnya mah. Belum lagi untuk tanah yang tidak dekat air, makin susah,” jelasnya.
Selain harga timun, sayuran lain, seperti sawi putih, kol, dan seledri, juga ikut naik. Sawi putih yang sejak awal bulan berada di harga Rp 5.000 per kilogram kini berada di harga Rp 10.000 per kilogram. Alasan yang diutarakan beberapa pedagang pun sama, stok dari petani hanya sedikit.
Pedagang seledri, Diansyah (25), mengatakan, harga jual seledri kini Rp 40.000 per kilogram, naik dari harga awal Rp 35.000 per kilogram. Akibatnya, ia hanya berani membeli 25 kilogram untuk dijual sehari-harinya, dari awalnya sebesar 50 kilogram.
”Katanya produksi terganggu karena pengaruh cuaca. Panen yang dikirim kepada pedagang di Jakarta dibuat jadi lebih sedikit. Kiloannya dikecilkan supaya bisa untuk jangka panjang. Supaya walau harga mahal, stok tetap ada,” ucapnya.
Ancaman kekeringan
Produktivitas pertanian di Indonesia masih sangat bergantung pada kondisi musim dan cuaca. Minimnya adopsi teknologi diperlukan untuk mengatasi masalah ini. Peneliti di Center for Indonesian Policy Studies Mukhammad Faisol Amir menerangkan, produktivitas pertanian yang menurun membuat jumlah panen turun.
Kesenjangan antara jumlah produksi dan permintaan menjadi penyebab tingginya harga komoditas pangan di Indonesia.
Kenaikan suhu rata-rata Bumi di tahun 2023 ini pun berpotensi mempercepat penurunan hasil pertanian sehingga mengancam ketahanan pangan dan kelangsungan pertanian itu sendiri. Ditambah, kekeringan akan membuat suplai air untuk pertanian turun. Padahal, suplai air yang mencukupi menjadi faktor penentu keberhasilan panen. Minimnya suplai air mengancam pertanian karena sektor ini membutuhkan hingga 70 persen sumber daya air tawar.
Minum, sanitasi, pertanian (perikanan, tanaman, dan peternakan), pengolahan serta penyiapan makanan bergantung pada air. Maka itu, air harus memiliki kualitas dan kuantitas yang cukup.
Berdasarkan hal tersebut, pertanian dapat dianggap menjadi penyebab sekaligus korban dari kelangkaan air nantinya. Dengan semakin banyaknya faktor yang mengancam sektor pertanian Indonesia, pemerintah perlu membuat solusi yang komprehensif, seperti mempercepat adopsi teknologi dan menciptakan metode irigasi yang efektif.
Pemerintah diimbau untuk membangun infrastruktur irigasi utama, sembari merawat saluran air, dan melestarikan sumber daya air yang ada. ”Perlu penggunaan teknologi pertanian yang lebih efisien, resilien, dan adaptif dengan perubahan iklim. Kesempatan untuk menarik investasi dari sektor swasta ke pertanian dibutuhkan,” jelasnya.
Berdasarkan data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, musim kemarau 2023 diprediksikan akan terjadi pada Juli-Agustus 2023. Puncak musim kemarau tersebut akan terjadi di sekitar 507 zona musim (ZOM) atau di sekitar 72,53 persen wilayah Indonesia.
Adapun wilayah seperti Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan sebagian besar Jawa Timur telah memasuki musim kemarau lebih awal, yaitu pada April lalu.
Sementara musim kemarau Mei 2023 akan meliputi sebagian besar Jawa Tengah, Yogyakarta, sebagian besar Jawa Barat, sebagian besar Banten, sebagian Pulau Sumatera bagian selatan, dan Papua bagian selatan. Untuk wilayah yang memasuki kemarau pada Juni 2023 adalah Jakarta, sebagian kecil Pulau Jawa, sebagian besar Sumatera Selatan, dan beberapa wilayah lainnya.