Antisipasi Bahaya Kolateral di Tahun 2023
Bencana akibat krisis iklim yang berpadu dengan bencana geologi perlu kita waspadai. Kedisiplinan dalam tata ruang dan infrastruktur sudah saatnya dijalankan.
Bencana terkait iklim yang terus menguat, baik intensitas maupun frekuensinya, bakal menjadi tantangan terbesar yang harus dihadapi di tahun-tahun mendatang. Meskipun demikian, bencana terkait geologi yang bisa melanda sewaktu-waktu berisiko menjadi disrupsi besar dan memundurkan gerak pembangunan.
Fenomena La Nina yang sudah berlangsung selama tiga tahun terakhir diperkirakan menurun sejak Desember 2022 sebelum meluruh pada Februari 2023. Hal ini akan menghadirkan musim hujan dan kemarau yang relatif normal di sepanjang 2023.
Prakiraan musim hujan 2022/2023 oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, pada puncak musim hujan Januari 2023, sebanyak 72 persen wilayah di Indonesia bakal menerima curah hujan sedang, sedangkan 28 persen wilayah akan mengalami curah hujan tinggi. Sifat hujan umumya diperkirakan akan berada di kondisi normal, kecuali Aceh yang curah hujannya diprediksi akan meningkat dan Papua bagian utara yang curah hujannya akan lebih sedikit.
Selain mengarusutamakan pembangunan infrastruktur yang aman bencana, penting juga investasi pada penguatan kapasitas sumber daya manusia.
Seiring luruhnya La Nina, risiko kebakaran hutan dan lahan juga bakal kembali meningkat sehingga harus diwaspadai pada musim kemarau 2023. Sebelumnya, selama tiga tahun terakhir, risiko kebakaran hutan dan lahan ini relatif berkurang karena musim kemarau basah.
Sekalipun dalam mode normal iklim di tahun depan, kita juga harus tetap mengantisipasi bencana hidrometeorologi seperti anomali siklon tropis Seroja yang berdampak sangat merusak di Nusa Tenggara Timur pada 3 April 2021. Rezim iklim yang memanas telah mengubah dapur cuaca sehingga ekstremitasnya meningkat.
Tren kenaikan suhu yang terjadi secara global, termasuk juga di Indonesia, juga bisa berdampak terhadap kesehatan dan produktivitas. Penelitian Siswanto dari BMKG di jurnal Meteorological Society of Japan pada Januari 2022 menunjukkan tren kenaikan suhu permukaan yang signifikan di Pulau Jawa sejak 1981. Laju peningkatan suhu udara permukaan tertinggi tercatat di Tangerang Selatan, Banten, mencapai 0,46 derajat celsius per dekade dan DKI Jakarta sebesar 0,4 derajat celsius per dekade.
Laporan Nicholas H Wolff dan tim di jurnal Lancet Planetary Health pada 2021 menemukan, dalam kurun 16 tahun tren kenaikan suhu maksimum harian di Berau, Kalimantan Timur, rata-rata 0,95 derajat celsius. Selain dipicu tren global, kenaikan suhu di Berau ini terutama karena masifnya deforestasi.
Baca juga: Deforestasi di Berau Picu Kenaikan Suhu 1 Derajat dan Kematian Dini
Wolff juga menemukan kaitan antara kenaikan suhu 1 derajat di Berau ini dengan meningkatnya 7,3-8,5 persen kematian dari semua penyebab, atau 101–118 tambahan kematian per tahun pada 2018. Peningkatan suhu ini juga menyebabkan peningkatan waktu kerja yang tidak aman sebesar 0,31 jam per hari di daerah yang terdeforestasi. Hal ini bisa memengaruhi produktivitas bekerja, khususnya mereka yang bekerja di luar ruangan seperti petani dan nelayan.
Krisis iklim juga bakal menurunkan produktivitas sektor pertanian. Riset terbaru Edvin Adrian dan Elza Surmani dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan, Indonesia dapat kehilangan nilai ekonomi padi rata-rata Rp 42,4 triliun per tahun pada 2051-2080 dan meningkat menjadi Rp 56,45 triliun per tahun pada 2081-2100 (Kompas, 24 November 2022). Penurunan produksi ini, baik karena dilanda bencana hidrometeorologi maupun serangan hama yang semakin intens karena pemanasan global, sebenarnya telah terjadi sejak beberapa tahun terakhir.
Ancaman dari Bumi
Jika bencana hidrometeorologi menjadi perhatian global seiring dengan perubahan iklim global, Indonesia juga memiliki risiko bencana yang bersumber dari kondisi geografis kita yang khas. Berada di zona tumbukan lempeng yang sangat aktif, menjadikan negeri kita sangat rentan terdampak gempa bumi, tsunami, hingga erupsi gunung api.
Sekalipun frekuensinya relatif kecil dibandingkan bencana hidrometeorologi, dampak dan skala kerusakan yang ditimbulkan bencana terkait geologi bisa sangat besar. Dampak bisa membesar jika kejadian bencana hidrometeorologi ini terjadi beriringan dengan bencana geologi sehingga memicu kehancuran kolateral.
Misalnya, kejadian gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung api yang bisa diikuti longsor atau banjir bandang. Hal ini misalnya saat erupsi Gunung Semeru di Jawa Timur pada 4 Desember 2021 yang bersamaan dengan hujan lebat sehingga mengikis tumpukan material di sekitar mulut kawah dan memicu awan panas guguran dan banjir lahar yang gagal diantisipasi.
Baca juga: Longsor di Kawasan Piket Nol, Jalur Selatan Lumajang-Malang Terputus Total
Jangan lupa, dampak kolateral juga bisa disebabkan oleh pandemi yang berkelindan dengan bencana hidrometeorologi dan geologi, seperti terjadi saat gempa Mamuju, Sulawesi Barat, pada Januari 2021. Manajemen krisis dan penanggulangan bencana kita sudah harus mengantisipasi ancaman bahaya kolateral ini.
Gempa berkekuatan M 5,6 yang menghancurkan ribuan rumah dan menewaskan ratusan orang di Cianjur, Jawa Barat, pada Senin (21/11/2022) lalu menjadi pengingat mengenai tingginya risiko bencana geologi di Indonesia. Gempa, dengan skala lebih besar diikuti tsunami, bisa terjadi di sebagian besar kepulauan Indonesia sewaktu-waktu.
Data BMKG menunjukkan, sejak 2013 terekam tren peningkatan aktivitas gempa bumi di Indonesia, baik dalam jumlah maupun kekuatan. Jika pada 2013 jumlah gempa bumi di Indonesia sebanyak 4.234 kali, pada 2016 menjadi 5.646 kali, dan kemudian pada 2018 sebanyak 11.920 kali. Sementara pada 2021 sebanyak 11.395 kali.
Para ahli kegempaan telah mengingatkan, ada sejumlah zona tektonik di Indonesia yang menyimpan energi besar dan mendekati siklus keberulangannya. Beberapa zona tektonik yang perlu diwaspadai itu, antara lain, subduksi di Selat Sunda dan selatan Jawa, subduksi Mentawai, sesar darat Sumatera di segmen Aceh Besar-Banda Aceh, Laut Maluku, Laut Banda, serta sejumlah sesar darat di Pulau Sulawesi dan sesar darat di Papua.
Baca juga: Kenali Potensi Guncangan di Jalur Sesar Se-Jawa Barat
Selain itu, melihat skala kehancuran di Cianjur, yang diguncang gempa relatif kecil, kita juga patut menjadikan ancaman gempa yang bersumber sesar darat di Pulau Jawa sebagai fokus mitigasi. Pulau Jawa yang populasi meningkat empat kali lipat selama abad ke-20 ini memiliki banyak patahan aktif yang bisa memicu gempa sumber dangkal.
Peta Sumber dan Bahaya Gempa Nasional 2017 menunjukkan, kota-kota di Pulau Jawa tumbuh berimpit dengan jalur sesar di darat, mulai dari Surabaya, Semarang, Cirebon, Bandung, Bogor, hingga Jakarta. Di luar ini masih banyak sesar lebih kecil yang belum dipetakan secara rinci.
Catatan sejarah kolonial juga merekam keberulangan gempa yang menghancurkan di Pulau Jawa sejak abad ke-17, yang sebagian bersumber dari zona subduksi di Samudra Hindia. Setidaknya sembilan gempa bumi sejak 1865 telah menyebabkan guncangan yang begitu parah sehingga hampir pasti merupakan peristiwa gempa yang dangkal. Ini termasuk dua gempa bumi di dekat Wonosobo di Jawa Tengah pada 1924 yang menyebabkan bencana tanah longsor yang menewaskan hampir 900 orang (Phil R Cummins, dkk, The Conversation, 2022).
Jakarta juga berulang kali mengalami gempa bumi kuat, yang beberapa sangat merusak. Gempa kuat pertama yang terdokumentasikan terjadi pada 5 Januari 1699, yang terjadi saat hujan lebat. Selain merobohkan banyak bangunan, gempa itu menyebabkan longsor besar di Gunung Gede Pangrango dan Gunung Salak (Arthur Wichman, 1918).
Baca juga: Gempa Cianjur M 5,6 Bukan yang Terkuat dan Bisa Berulang
Gempa kuat berikutnya di Jakarta terjadi pada 22 Januari 1780. Gempa ini dianggap sebagai salah satu yang terbesar yang pernah melanda Jawa sebagaimana disebut Musson dalam British Geological Survey (2012). Getaran tanah terasa di seluruh Jawa dan Sumatera bagian tenggara, dengan daerah paling terasa di Jawa Barat. Setidaknya menyebabkan 27 gudang dan rumah runtuh di zandsee dan moor gracht (kanal), yang terletak di Jakarta Pusat saat ini di mana Pusat Kebudayaan Jakarta sekarang berada.
Sampai saat ini belum ada teknologi yang bisa meramalkan kapan gempa bumi bakal terjadi. Bisa minggu ini, tahun ini, atau tahun depan. Namun, dengan pertumbuhan penduduk yang berlipat dan sebagian besar di antaranya tinggal di zona bahaya, korban dan kerugian bisa sangat besar.
Maka, mitigasi bencana sudah harus terintegrasi dalam pembangunan kita. Tidak boleh lagi ada bangunan baru, apalagi bangunan publik, yang melanggar zona merah risiko bencana, sementara bangunan eksisting harus diperkuat. Pelajaran dari Cianjur, pemerintah sebenarnya bisa menganggarkan dana insentif untuk kalangan miskin agar bisa melakukan retrofitting rumah di zona merah sehingga tahan gempa.
Selain mengarusutamakan pembangunan infrastruktur yang aman bencana, penting juga investasi pada penguatan kapasitas sumber daya manusia. Kesadaran terhadap risiko bencana harus dibangun dan respons yang benar saat terjadi bencana harus dibudayakan.
Baca juga: Zona Gempa Cianjur dan Rumah Tahan Gempa
Tanpa berinvestasi pada mitigasi, setiap gerak pembangunan akan kembali dipukul mundur oleh bencana demi bencana yang intensitas dan frekuensinya bakal meningkat. Tentu saja, kerugian ekonomi akan membesar. Belum lagi, risiko kehilangan nyawa, yang tak bisa ditaksir angka kerugiannya.