Prediksi El Nino dan Karhutla di Indonesia pada 2023
Potensi terjadinya El Nino pada tahun 2023 ini bakal menjadi ujian nyata bagi efektivitas berbagai program pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang telah dilakukan sejak 2015.
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir. Sekalipun demikian, kita tidak boleh terlalu berbangga karena sejak tahun 2020 terjadi La Nina, yang menyebabkan kemarau basah. Risiko kebakaran hutan dan lahan di Indonesia cenderung menguat seiring terjadinya El Nino yang diperkirakan kembali terjadi pada 2023 ini.
El Nino merupakan siklus alami yang ditandai dengan meningkatnya suhu perairan di Pasifik timur dan tengah sehingga meningkatkan suhu dan kelembaban atmosfer di atasnya. Peristiwa ini menyebabkan pembentukan awan yang juga meningkatkan curah hujan di bagian selatan Amerika Selatan, Amerika Serikat bagian selatan, Tanduk Afrika, dan Asia Tengah. Sebaliknya, El Nino juga dapat menyebabkan kekeringan parah di Australia, Indonesia, dan sebagian Asia Selatan.
El Nino yang berulang di masa lalu kerap dikaitkan dengan intensitas kebakaran hutan di Indonesia. Misalnya, El Nino kuat yang terjadi pada 2015 telah memicu kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang hebat, menghanguskan 2,5 juta hektar (ha) hutan dan lahan Indonesia.
Karhutla ini menyebabkan kerugian Rp 220 triliun, termasuk dampak karena pembatalan penerbangan, perkantoran yang libur, ataupun aktivitas ekonomi yang berhenti. Kerugian ini belum termasuk beban kesehatan jangka panjang yang dialami masyarakat.
Karena pengaruh El Nino terhadap curah hujan Indonesia begitu langsung, kondisi ini semakin dapat kita antisipasi lebih awal.
Besarnya dampak karhutla 2015 di Indonesia membuat Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Melalui inpres ini, pemerintah berupaya memperbaiki koordinasi lintas instansi, meningkatkan peran serta masyarakat, serta penegakan hukum.
Beberapa upaya yang dilakukan antara lain pembuatan sekat kanal dan ratusan sumur bor di lahan gambut. Selain itu, masyarakat tradisional juga dilarang lagi membuka lahan pertanian dengan membakar, seperti terjadi di Kalimantan Tengah (Kompas.id, 22 Agustus 2022).
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), karhutla di Indonesia cenderung menurun. Karhutla pada tahun 2016 seluas 438.363 ha, tahun 2017 seluas 165.484 ha, dan tahun 2018 seluas 529.267 ha. Pada tahun 2019, luas karhutla sempat meningkat menjadi 1,649 juta ha, tetapi kembali menurun pada 2020 menjadi 296.942 ha, tahun 2021 seluas 358.867 ha, dan pada 2022 seluas 204.894 ha.
Kecilnya karhutla dalam tiga tahun terahir bisa dikatakan karena dukungan faktor alam. Sejak 2020 terjadi fenomena La Nina yang menyebabkan kemarau basah di sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk di area rentan karhutla seperti Kalimantan dan Sumatera.Namun, luas lahan yang terbakar pada 2019 sebenarnya bisa menjadi alarm bahwa hutan dan lahan di Indonesia masih rentan terbakar. Penelitian Siswanto dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan tim di jurnal PLOS ONE (2022) menunjukkan, fenomena El Nino aktif dari September 2018 hingga Juli 2019 di Samudra Pasifik ekuator bagian tengah.
Hal ini kemudian diikuti pula oleh fenomena Dipole Mode fase positif Samudra Hindia (IOD+) yang menguat sejak April 2019 hingga Desember ini. Fenomena IOD+ terjadi ketika suhu air permukaan laut di barat Samudra Hindia meningkat dan terdapat curah hujan yang meningkat secara signifikan di sekitar wilayah barat Samudra Hindia, seperti pantai timur Afrika dan selatan Semenanjung Arab. Sebaliknya, di Indonesia relatif kurang hujan.
Kombinasi El Nino dan IOD+ ini menyebabkan musim kemarau tahun 2019 lebih kering daripada musim kemarau 2018 dan acuan normal klimatologis tahun 1981-2010, meskipun hal ini tidak lebih kering daripada kondisi musim kemarau 2015 yang dilanda El Nino kuat.
Data KLHK menunjukkan, sebanyak 70 persen atau 1,15 juta ha lahan yang terbakar pada tahun 2019 terjadi di tanah mineral dan 0,49 juta ha atau 30 persen di tanah gambut. Sementara berdasarkan sebarannya, karhutla terutama terjadi di dua provinsi dengan lahan gambut luas dan biasa mengalami kebakaran hebat, yaitu Sumatera Selatan seluas 336.798 ha dan Kalimantan Tengah seluas 317.749 ha.
Baca juga: Berladang, Identitas Dayak yang Kini Terlarang
Berbagai studi telah menunjukkan, El Nino menjadi pemain kunci dalam karhutla di Indonesia. Robert D Field dari NASA Goddard Institute for Space Studies dan tim di jurnal PNAS pada 2016 menunjukkan adanya korelasi antara ambang batas curah hujan dan peningkatan aktivitas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, khususnya di lahan gambut.
Menurut Field, kemarau yang kering di Indonesia akan mengintensifkan peristiwa karhutla—lahan gambut. Hutan Indonesia adalah rumah bagi sekitar 60 persen lahan gambut tropis dunia, di mana vegetasi yang membusuk atau bahan organik telah terakumulasi di lapisan tanah dan menciptakan endapan gambut hingga kedalaman 10 meter.
Begitu api ini masuk ke bawah tanah ke dalam gambut, mereka tidak berhenti terbakar sampai hujan musiman datang. El Nino, yang memicu musim kemarau lebih kering, bakal menyebabkan waktu tunggu pemadaman alami oleh hujan menjadi lebih panjang, menyebabkan gambut di dalam tanah akan terus terbakar dan tidak dapat dipadamkan melalui pemadaman api konvensional.
Menurut Field, karena pengaruh El Nino terhadap curah hujan Indonesia begitu langsung, kondisi ini semakin dapat kita antisipasi lebih awal sehingga ambang batas curah hujan merupakan bendera merah dan memberi kita sistem peringatan dini. Ini seperti kereta barang, dan kita bisa melihatnya datang dari kejauhan.
El Nino dan IOD+
Kini, ancaman itu mendekat dengan bakal terjadinya kembali El Nino pada tahun ini setelah tiga tahun periode La Nina beruntun. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dalam laporan Keadaan Iklim Global yang dikeluarkan pada Rabu (3/5/2023) menyebutkan, La Nina saat ini telah berakhir dan Samudra Pasifik tropis saat ini berada dalam keadaan ENSO-netral.
”Ada peluang 60 persen untuk transisi dari ENSO-netral ke El Nino selama Mei-Juli 2023, dan ini akan meningkat menjadi sekitar 70 persen pada Juni-Agustus dan 80 persen antara Juli dan September,” sebut WMO.
Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas mengingatkan, El Nino kemungkinan besar menyebabkan lonjakan baru dalam pemanasan global dan meningkatkan peluang untuk memecahkan rekor suhu. Karena itu, dia meminta dunia untuk bersiap menghadapi perkembangan El Nino, yang bisa berbeda di tiap wilayah.
Tanpa adanya La Nina yang terjadi sejak 2020, situasi pemanasan global bisa menjadi lebih buruk. La Nina telah bertindak sebagai rem sementara pada kenaikan suhu global, tetapi kini pendinginan alami itu telah berakhir.
WMO hingga saat ini belum bisa memprediksi seberapa kuat El Nino yang bakal terjadi pada 2023 ini, apakah akan sekuat pada 2015 atau dalam level moderat seperti 2019. Sementara itu, BMKG cenderung memperkirakan bahwa peluang El Nino mulai Juni 2023 lebih dari 70 persen dengan kategori lemah hingga moderat.
Baca juga: Periode Hujan Menjelang El Nino
Namun, studi pemodelan oleh Tao Lian, profesor iklim di Second Institute of Oceanography Ministry of Natural Resources di jurnal Ocean-Land-Atmosphere Research edisi April 2023, menyebutkan, ada peluang terjadinya El Nino yang kuat pada akhir 2023.
Siswanto mengatakan, selain faktor El Nino, yang juga harus diperhitungkan adalah kondisi perairan di Samudra Hindia, apakah bakal terjadi IOD+ yang kuat atau tidak. Kombinasi El Nino dengan IOD+, sebagaimana terjadi pada 2019, bakal berdampak pada kekeringan yang kuat di Indonesia.
Analisis terbaru BMKG bersama sejumlah lembaga lain seperti BRIN, ITB, dan IPB University pada Senin (8/5/2023) menunjukkan, IOD+ mulai terjadi pada Juni hingga Oktober 2023. Berdasarkan prediksi El Nino dan IOD+ tersebut, bisa diperkirakan bahwa curah hujan di Indonesia selama musim kemarau 2023 bakal lebih kering dibandingkan dengan tiga tahun sebelumnya, bahkan bisa lebih kering daripada rata-rata tahunannya.
Dengan prediksi ini, berbagai langkah pencegahan yang telah dilakukan sejak 2015 bakal mendapat ujian nyata. Selain menjaga lahan gambut agar tetap basah melalui sekat kanal, sejumlah sumur bor yang telah dibangun sebelumnya juga perlu dicek. Apalagi, meluasnya kebakaran tahun 2019 di antaranya juga karena banyak sumur bor yang ternyata dibuat asal-asalan, bahkan ada sumur bor fiktif, sebagaimana ditemukan di Kalimantan Tengah (Kompas.id, 6 September 2019).
Upaya pencegahan karhutla sejak 2015 juga telah mengorbankan kepentingan masyarakat untuk berladang, sebagaimana telah dialami masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Jangan sampai pengorbanan ini ditambah dengan kabut asap dari kebakaran lagi di tahun ini.