Teman Tuli Berjuang Mandiri
Teman tuli di Provinsi Aceh harus berjuang keras untuk menjadi mandiri. Mereka mengasah keterampilan dan buka usaha kecil-kecilan agar ada penghasilan. Di balik itu, mereka tetap perlu dukungan nyata dari masyarakat.
Rizky Adly (27) cekatan mengukur dan memotong besi batangan untuk dirakit menjadi gerobak. Teras rumah milik kakaknya di Desa Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, disulap menjadi bengkel las.
”Ini mau dibuat gerobak kopi,” ujar Rizky melalui tulisan saat ditemui Rabu (12/12/2022).
Rizky adalah teman tuli atau orang yang tidak dapat mendengar. Dia pemilik usaha bengkel las yang dirintis awal 2021 bermodal pas-pasan hasil tabungan dari penghasilan bekerja di bengkel temannya. Kini usaha bengkel las itu menjadi tempat dia bergantung hidup.
Baca juga: Suara Senyap Teman Tuli
Usaha bengkel las milik Rizky melayani pembuatan perlengkapan berbahan baku besi, seperti kanopi, pagar, teralis, gerobak, hingga meja. Semua dikerjakan sendiri, tetapi saat proses pemasangan dia mempekerjakan satu-dua orang.
”Gerobak ini harus siap seminggu, harganya Rp 5 juta,” ujar Rizky.
Rizky berkomunikasi melalui tulisan, tetapi sesekali menggunakan bahasa isyarat. Rizky pribadi yang ramah dan terbuka. Dia juga terlihat pemuda yang energik.
Rizky tuli sejak lahir, sedangkan tiga saudara kandungnya teman dengar atau tidak mengalami seperti dirinya. Ayahnya seorang pensiunan kantor pemerintahan. Lahir di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, namun dia pernah bersekolah di Kalimantan Timur, Bandung di Jawa Barat, dan Banda Aceh.
”Saya ikut ke mana papa dinas. Sekarang papa pensiun, tinggal di Aceh Barat. Saya mau mandiri dengan buka usaha las di sini,” kata Rizky.
Rizky menyadari pada akhirnya dia harus mandiri. Apalagi dia berencana untuk menikah. ”Dalam waktu dekat (nikah), kumpul uang dulu, (butuh) biayanya besar,” kata Rizky tertawa.
Baca juga: Penuhi Hak untuk Berkembang dan Akses Pekerjaan bagi Teman Tuli
Usaha bengkel las itu jadi tumpuan baginya. Rizky pemuda pintar karena dia bersekolah hingga menengah atas di sekolah luar biasa. Sebenarnya dia ingin kuliah, tetapi di Aceh tidak ada perguruan tinggi yang bisa diakses teman tuli. Tidak ada kampus yang menyediakan juru bahasa isyarat.
”Kalau kuliah ke Pulau Jawa biayanya mahal, papa tidak mampu membiayai,” kata Rizky.
Setelah mimpi kuliah dikubur dalam-dalam, pilihan paling realistis baginya meningkatkan keterampilan agar dia bisa mandiri. Tahun 2017, seorang teman sesama tuli mengajaknya untuk kerja di bengkel las. Rizky belajar dengan tekun hingga akhirnya dia merasa sudah bisa berdiri sendiri.
Rizky mengatakan, jumlah pelanggan masih minim, tetapi setiap bulan ada pemesanan. Dia optimistis usahanya akan terus berkembang.
Saya sudah diangkat jadi staf kontrak di Dinas Sosial. Tetapi saya pengin punya usaha sendiri, jualan kopi di gerobak. (Tari)
Di Cafe Hanasue Dinas Sosial Banda Aceh, optimisme juga disandang Tari Tiaralita Putri (25). Perempuan tuli yang mahir meracik kopi ini sedang menyeduh kopi dengan menggunakan mesin espreso. Kopi itu diantarkan sendiri olehnya. Seusai meletakkan di meja pelanggan, dengan menggunakan isyarat tangan Tari ramah mempersilakan pelanggan menikmati kopi.
Meracik kopi telah menjadi rutinitasnya. Setelah dilatih barista oleh Pemkot Banda Aceh, Tari diangkat sebagai staf kontrak di Dinas Sosial, tugasnya mengelola Cafe Hanasue.
Hana (tidak) sue (suara) atau tidak bersuara. Kafe itu dibuka untuk para teman tuli yang sebelumnya dilatih jadi barista. Sebelumnya beberapa teman tuli dipekerjakan di sana, tetapi kini yang tersisa dua orang, Tari salah satunya.
”Saya sudah diangkat jadi staf kontrak di Dinas Sosial. Tetapi saya pengin punya usaha sendiri, jualan kopi di gerobak,” kata Tari.
Tari sedang mengumpulkan modal untuk memulai usaha. Paling tidak dia butuh modal Rp 30 juta untuk membeli gerobak, mesin espreso, dan perlengkapan lain. Saban bulan dia menyisihkan gaji di Cafe Hanasue modal usaha. Tari termasuk teman tuli yang mandiri.
Banyak teman tuli di Aceh yang bekerja mandiri, seperti jadi fotografer, ojek daring, dan jualan barang pecah belah. Umumnya mereka bekerja di sektor informal. Belum ada teman tuli yang menjadi pegawai negeri sipil.
Pengembangan kapasitas
Di Aceh, jumlah teman tuli lebih dari 1.000 orang. Para teman tuli tidak semua mendapatkan hak pendidikan yang layak. Bahkan, sebagian teman tuli tidak bisa bahasa isyarat.
Ketua Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) Provinsi Aceh Mubaraq mengatakan, stigma terhadap teman tuli sebagai kelompok minoritas masih ditemukan. Teman tuli tidak diberi kesempatan untuk berkembang. Akses pelayanan publik juga sangat terbatas.
Mubaraq mengatakan, teman tuli perlu dukungan untuk dapat mandiri. Dukungan paling penting dari keluarga, lingkungan, dan pemerintah. Sebagian teman tuli tidak mendapatkan pendidikan layak. Sekolah luar biasa hanya terdapat di pusat-pusat kota.
”Hanya sedikit teman tuli mendapatkan pendidikan yang bagus. Sebagian teman tuli tidak bisa berbahasa isyarat,” ujar Mubaraq.
Melalui Gerkatin Aceh, Mubaraq dan anggota memperjuangkan hak teman tuli. ”Kita semua setara. Jangan ada lagi diskriminasi terhadap teman tuli,” kata Mubaraq.
Bukan hanya untuk tunarungu, untuk disabilitas lain juga rutin diadakan pelatihan.
Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Aceh Isnandar menuturkan, perlindungan dan pemenuhan hak bagi teman disabilitas bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan semua pihak.
Isnandar mengatakan, pemerintah melalui dinas sosial, balai latihan kerja, dan lainnya rutin mengadakan pelatihan keterampilan bagi penyandang disabilitas. ”Bukan hanya untuk tunarungu, melainkan untuk disabilitas lain juga rutin diadakan pelatihan,” kata Isnandar.
Saat ini sedang berlangsung pelatihan menjahit bagi tunadaksa. Pelatihan keterampilan upaya meningkatkan taraf ekonomi penyandang disabilitas. Dengan adanya keterampilan, mereka dapat membuka usaha. Isnandar berharap setelah memiliki skill, teman tuli mandiri secara ekonomi.
Baca juga: Mimpi Barista Tuli di Kupang