Menjaga Kohesi Sosial Masyarakat
Kohesi sosial masih menjadi pekerjaan rumah di negeri ini. Tingkat kesejahteraan memberikan insentif bagi bangunan kohesi sosial.
Kedamaian di sejumlah daerah di Indonesia timur terkoyak karena peristiwa penyerangan terhadap aparat keamanan dan bentrokan antarwarga. Kejadian beruntun yang terjadi pada awal tahun mengingatkan kembali kita semua untuk pentingnya menjaga kohesi sosial di tengah perjuangan bersama menangani Covid-19 dan memulihkan perekonomian.
Provinsi paling timur Indonesia tak sepi dari peristiwa penyerangan oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB). Tercatat sudah lima kali KKB menyerang aparat keamanan di Papua dan Papua Barat sejak awal tahun ini. (Kompas.id/28/1/2022)
Dua peristiwa terbaru terjadi pada 20 Januari 2022 dan 27 Januari 2022. Penyerangan terhadap prajurit TNI AD dari Batalyon Zeni Tempur 20/Pawbili Pelle Alang yang sedang membangun jembatan di Distrik Aifat Timur Tengah, Kabupaten Maybrat, Papua Barat, terjadi pada 20 Januari 2022.
Dalam peristiwa tersebut, seorang prajurit tewas dan tiga prajurit lainnya dalam kondisi kritis. Sebelumnya pada 2 September 2021, di kabupaten yang sama, sebuah pos koramil juga diserang yang menyebabkan empat anggota TNI AD gugur.
Insiden terakhir pada 27 Januari di Kabupaten Puncak di mana KKB dua kali menyerang anggota Satgas Kodim Yonif Raider 408/Suhbrastha. Akibat serangan itu, tiga prajurit TNI gugur dan satu prajurit lainnya luka berat.
Penyerangan oleh KKB di tanah Papua terus berulang. Tercatat sepanjang Januari-November 2021 terjadi 38 serangan KKB di Kabupaten Intan Jaya, Yahukimo, Nduga, Pegunungan Bintang, Puncak, dan Maybrat (Kompas, 21/1/2022). Akibat penyerangan tersebut, 17 aparat keamanan, termasuk empat prajurit TNI AD, gugur. Selain itu, 15 warga sipil juga meninggal.
Penyerangan oleh KKB juga mengakibatkan 23 aparat keamanan dan 11 warga terluka. Konflik bahkan menyasar siswa SMA karena dianggap oleh KKB sebagai informan bagi pemerintah/negara.
Seakan menjalar, bentrokan antarwarga terjadi secara beruntun di dua lokasi lain, masih di wilayah timur. Tanggal 24 Januari 2022, bentrokan dua kelompok terjadi di Distrik Double O, Kota Sorong, Papua Barat, yang menyebabkan 18 orang tewas.
Bentrokan dipicu oleh tewasnya seorang warga karena dibacok. Kelompok yang berseberangan melakukan pembalasan dan terjadi aksi pembakaran yang menyebabkan 17 orang tewas terperangkap di dalam diskotek.
Selang dua hari kemudian, pada 26 Januari 2022, di Pulau Haruku, Maluku, sekelompok orang menyerang dan membakar perkampungan Desa Kariuw yang menyebabkan tiga warga tewas. Warga Kariuw kemudian mengungsi ke tengah hutan atau desa-desa tetangga yang dianggap aman.
Meningkatnya ketegangan di tengah masyarakat ini tentu menambah pekerjaan pemerintah di tengah upaya menangani gelombang ketiga pandemi Covid-19 dari ancaman varian Omicron.
Baca juga : Bertambah Satu Orang, 3 Prajurit TNI Gugur dalam Serangan KKB Dievakuasi ke Mimika
Kohesivitas rapuh
Terjadinya penyerangan yang berkelanjutan di tanah Papua dan konflik horizontal di tengah masyarakat belakangan ini menyiratkan rapuhnya kohesivitas sosial masyarakat. Warga terpancing menyelesaikan sendiri persoalan yang muncul dengan kekerasan. Nilai-nilai kebersamaan yang dipupuk selama ini seakan tidak bermakna.
Kohesi sosial secara sederhana bisa diterangkan sebagai perekat atau ikatan yang menjaga masyarakat tetap bersatu atau terintegrasi. Ada nilai-nilai, keyakinan, atau tujuan bersama yang dibagi ke seluruh anggota masyarakat sebagai acuan moral. Hal itu kemudian menumbuhkan rasa saling percaya. Ketika perekat atau ikatan ini rusak, rapuh, atau berkurang, maka yang terjadi adalah erosi sosial (social erosion).
Emil Durkheim (1897) yang pada awalnya mengemukakan konsep kohesi sosial ini menerangkan bahwa kohesi sosial memiliki dua sisi koin. Di satu sisi, kohesi sosial berarti tidak adanya konflik sosial laten di tengah masyarakat, baik itu konflik karena ketimpangan kesejahteraan, konflik ras/etnis, agama, maupun yang lainnya.
Di sisi lain, kohesi sosial berarti juga adanya ikatan sosial yang kuat yang ditandai oleh kekuatan masyarakat sipil (civic society), demokrasi yang baik dan responsif (responsive democracy), serta penegakan hukum yang adil dan tidak memihak (impartial law enforcement).
Jika ditelisik dari dua sisi koin Emil Durkheim ini, kita bisa mengatakan bahwa kohesi sosial masyarakat Indonesia saat ini sedang dalam kondisi kritis. Di satu sisi, ada konflik laten yang siap muncul kapan saja, yang dipicu oleh banyak faktor mulai dari perselisihan kepemilikan lahan, perbedaan tingkat ekonomi, budaya, hingga politik.
Salah satu faktor pemicu yang perlu menjadi perhatian adalah ketimpangan kesejahteraan dan kemiskinan. Angka rasio gini Indonesia masih fluktuatif mendekati 0,4 persen.
Semakin menjauh dari angka nol dan mendekati angka satu berarti ketimpangan semakin lebar. Per September 2021 rasio gini Indonesia di angka 0,381, sudah cenderung turun dibandingkan dengan September 2020 yang di angka 0,385.
Dilihat dari indikator kemiskinan, persentase kemiskinan juga cenderung turun dalam setahun terakhir, dari 10,19 persen (September 2020) menjadi 9,71 persen (September 2021).
Meskipun demikian, persentase kemiskinan di wilayah Maluku dan Papua merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya, yakni mencapai 20,43 persen (September 2021). Artinya, 1 dari 5 penduduk di Maluku dan Papua hidup dalam kemiskinan.
Baca juga : Ada 92 Aksi KKB di Papua hingga Desember, 34 Orang Tewas
Demokrasi dan korupsi
Di sisi lain, demokrasi kita saat ini juga tidak sedang baik-baik saja. Indeks Demokrasi Indonesia dilihat dari laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) 2021 menunjukkan penurunan. Skor Indonesia pada indeks tahun 2020 tercatat 6,30. Dari skala 0-10, semakin tinggi skor, semakin baik kondisi demokrasi suatu negara.
Skor yang diraih Indonesia pada 2020 itu turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang di angka 6,48. Skor di tahun 2020 merupakan yang terendah sepanjang 14 tahun terakhir atau sejak indeks demokrasi disusun EIU pada 2006.
Indonesia menempati peringkat ke-64 dari 167 negara yang dikaji EIU. Di kawasan Asia Tenggara, skor yang menunjukkan kualitas demokrasi di Indonesia ini berada di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina. Sebagai pembanding, Indeks Demokrasi Indonesia versi Badan Pusat Statistik tahun 2020 juga turun dibandingkan dengan tahun 2019, yaitu menjadi 73,66 dari sebelumnya 74,92.
Dengan skor 6,30 versi EIU, demokrasi Indonesia tergolong demokrasi yang cacat (flawed democracy). Kondisi itu diperparah pula dengan tindak pidana korupsi yang terus bermunculan meski di masa pandemi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepanjang 2021 saja menangani sebanyak 107 perkara korupsi, lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2020 yang tercatat 91 perkara.
Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang diluncurkan oleh Transparency International Indonesia (TII) untuk tahun 2021 hanya naik 1 poin dibandingkan 2020 atau naik dari angka 37 menjadi 38. Belum tampak ada perubahan yang signifikan dalam mengikis budaya korupsi. Penegakan hukum terhadap koruptor masih dipersepsi publik belum adil dan memberikan efek jera.
Pandemi Covid-19 ikut memberi dampak yang kurang menguntungkan bagi pemerintah dalam memperbaiki baik kondisi ketimpangan kesejahteraan dan kemiskinan maupun budaya demokrasi dan korupsi di negeri ini.
Pandemi Covid-19 ikut memberi dampak yang kurang menguntungkan bagi pemerintah dalam memperbaiki baik kondisi ketimpangan kesejahteraan dan kemiskinan maupun budaya demokrasi dan korupsi di negeri ini. Kondisi itu semua menjadi pertaruhan karena tatkala kesejahteraan semakin timpang, kemiskinan semakin buruk, begitu pula dengan demokrasi dan perilaku korupsi yang juga memburuk, maka erosi sosial akan semakin parah.
Oleh sebab itu, mari kita jaga kohesi sosial dengan melakukan mitigasi, komunikasi, serta moderasi terhadap hal-hal yang bisa menjadi konflik sosial laten di tengah masyarakat. (LITBANG KOMPAS).
Baca juga : Kualitas Demokrasi Indonesia Menurun